Minggu depan anak-anak kita yang masih duduk di bangku sekolah dasar akan mengikuti ujian semester genap untuk menentukan apakah mereka akan naik kelas ataukah tinggal kelas. Di luar kesibukan belajar menghadapi ujian, ada beberapa anak yang justru sibuk memikirkan hadiah apa yang akan mereka minta kepada orang tua masing-masing, bila nanti nilai raportnya bagus. Terlebih bila ternyata mereka bisa meraih peringkat pertama. Barangkali dunia anak memang seperti itu. Disaat sebagian orang tua cemas dengan belajar anak-anaknya, justru mereka memikirkan hadiah atau merencanakan kegiatan selama liburan sekolah.
Aku teringat kejadian enam bulan yang lalu. Saat itu putri kami meminta hadiah yang ‘tak biasa’ jika dia bisa meraih ranking satu lagi.
“ Pak, kalau besok aku ranking satu lagi, beliin buku tulis yang isinya 58 lembar ya. Aku mau yang merknya Sinar Dunia. Nggak usah banyak-banyak, sepuluh saja, Nanti kalau masih kurang, beli yang tipis juga nggap apa-apa “ begitu dia merinci hadiah yang diinginkannya.
Mendengar permintaannya, aku malah menjadi terharu. Hanya sepuluh buku tulis yang dia minta, bukan yang lainnya. Padahal tanpa dimintapun, pasti kubelikan karena buku tulis adalah kebutuhan dasar dia sebagai pelajar. Barangkali dia perlu meminta ini secara khusus karena yang sudah-sudah aku cenderung ‘asal’ kalau membelikan buku tulis ( tak memperhatikan merk maupun jumlah halamannya ). Tapi begitulah Evi Sabila, putri semata wayang kami yang kini sudah duduk di kelas empat. Dia tidak meminta baju, boneka atau mainan lainnya sebagai hadiah atas prestasi belajarnya.
Aku teringat cerita salah seorang wali murid yang menjanjikan akan membelikan hp multimedia keluaran terbaru bila sang anak berhasil masuk lima besar. Bahkan salah satu saudaranya yang kebetulan cukup mampu, menjanjikan akan membelikan sebuah laptop bila sang anak berhasil mendapat ranking satu. Sementara untuk anakku, aku tak menjanjikan apa-apa, dan yang dia minta hanya sepuluh buku tulis berisi 58 lembar saja. Apakah mereka berlebihan? Ataukah aku yang keterlaluan? Tentu tidak, karena mereka memang memiliki kemampuan. Sedangkan kami harus pintar-pintar mendamaikan keinginan dengan kemampuan.
Hidup kami memang sederhana. Miskin sekali tidak, kayapun belum. Alhamdulillah, kami cukup makan, cukup pakaian dan meski tinggal di rumah kontrakan namun kami merasa nyaman. Sedari kecil, putri kami tidak suka minum susu dan sangat ‘membenci’ buah-buahan. Barangkali itu sebabnya mengapa badannya tak sesubur teman-teman sebayanya. Namun demikian, Allah menganugerahinya dengan kecerdasan dan daya tangkap yang lebih baik dibanding teman-teman sekelasnya. Sejak kelas satu, Alhamdulillah dia selalu ranking satu.
Perasaan bangga dan bahagia jelas berpihak pada kami setiap kali acara pembagian raport. Nama Evi Sabila selalu di sebut atau ditulis di papan tulis di urutan pertama. Tapi sudah sejak awal kami tanamkan kesadaran bahwa prestasi belajar memang sangat membanggakan, tapi bukan berarti kesempatan untuk menuruti segala keinginan. Kecerdasan itu anugerah dari Allah yang harus kita syukuri, bukan menjadikan kita tinggi hati.
Membaca adalah hoby yang menonjol dari putri kami. Tidak aneh memang karena aku dan istriku juga memiliki hoby yang sama. Pernah satu ketika, istriku dibuat panik karena dia menangis tanpa sebab yang kami ketahui. Setelah dibujuk, dia akhirnya mengaku bingung mau baca apalagi karena semua majalah anak-anak dan buku yang kami belikan sudah dibacanya berulang kali. Dia ingin membaca, tapi tak ada lagi buku bacaan, kecuali tinggal buku-buku pelajaran. Jika ingat kejadian ini, aku sering merasa geli sekaligus sedih. Seandainya kami berlebih rejeki, barangkali kini di rumah sudah ada perpustakaan pribadi.
Orang tua mana yang tak ingin melihat anaknya bahagia. Begitupun kami. Dalam kesederhanaan yang ada, kami tetap berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Membaca adalah hobynya, sebuah buku bisa menjadi hadiah teristimewa baginya. Untuk moment-moment tertentu, kadang kami membelikan buku sebagai hadiah untuknya. Toko buku Bina Insani adalah toko yang kerap kami kunjungi selain Gramedia. Berikut adalah beberapa buku yang kami belikan saat dia ulang tahun dan saat dia mendapat ranking satu.
Ah, menceritakan putri semata wayang kami memang kerapkali membuat mata ini berkaca-kaca. Di saat teman-teman sebayanya sering menuntut ini dan itu, dia justru jarang sekali. Aku yakin bukan karena dia terpaksa menahan semua keinginannya, tapi karena kesadarannya akan kondisi kedua orang tuanya. Alhamulillah, hidup sederhana telah membentuk karakter dan cara berfikirnya.
Beberapa hari lagi, tepatnya tanggal 7 Juni nanti, dia akan mengikuti ujian semester genap. Tapi sampai hari ini dia belum mengatakan apa-apa perihal apa yang diinginkan jika nanti dia rangking satu kembali. Entahlah, barangkali dia lupa karena terlalu sibuk dengan persiapan belajarnya, atau mungkin dia merasa ‘tak perlu’ meminta. Tapi mudah-mudahan bukan karena dia tak yakin bisa naik kelas dengan meraih peringkat pertama. Aku sendiri tak berani ‘menawarkan’ pilihan hadiah padanya. Aku masih merasa ‘malu’ karena gagal memenuhi janjiku untuk merubah penampilannya agar berjilbab saat usianya genap sepuluh tahun bulan April yang lalu. Biarlah, dia serius dengan belajarnya. Aku tak pernah memaksa dia rangking satu, tapi aku akan terus mendorong dan mendoakannya. Aku berharap dia akan kembali mempersembahkan ‘hadiah’ terbaiknya untuk kami seperti semester-semester yang lalu.
Selamat belajar sayang, semoga Allah memberikan kecerdasan dan pemahaman kepadamu. Percayalah, meski tak ada janji terucap, selalu ada ‘hadiah istimewa’ yang kami siapkan untukmu.
Aku teringat kejadian enam bulan yang lalu. Saat itu putri kami meminta hadiah yang ‘tak biasa’ jika dia bisa meraih ranking satu lagi.
“ Pak, kalau besok aku ranking satu lagi, beliin buku tulis yang isinya 58 lembar ya. Aku mau yang merknya Sinar Dunia. Nggak usah banyak-banyak, sepuluh saja, Nanti kalau masih kurang, beli yang tipis juga nggap apa-apa “ begitu dia merinci hadiah yang diinginkannya.
Mendengar permintaannya, aku malah menjadi terharu. Hanya sepuluh buku tulis yang dia minta, bukan yang lainnya. Padahal tanpa dimintapun, pasti kubelikan karena buku tulis adalah kebutuhan dasar dia sebagai pelajar. Barangkali dia perlu meminta ini secara khusus karena yang sudah-sudah aku cenderung ‘asal’ kalau membelikan buku tulis ( tak memperhatikan merk maupun jumlah halamannya ). Tapi begitulah Evi Sabila, putri semata wayang kami yang kini sudah duduk di kelas empat. Dia tidak meminta baju, boneka atau mainan lainnya sebagai hadiah atas prestasi belajarnya.
Aku teringat cerita salah seorang wali murid yang menjanjikan akan membelikan hp multimedia keluaran terbaru bila sang anak berhasil masuk lima besar. Bahkan salah satu saudaranya yang kebetulan cukup mampu, menjanjikan akan membelikan sebuah laptop bila sang anak berhasil mendapat ranking satu. Sementara untuk anakku, aku tak menjanjikan apa-apa, dan yang dia minta hanya sepuluh buku tulis berisi 58 lembar saja. Apakah mereka berlebihan? Ataukah aku yang keterlaluan? Tentu tidak, karena mereka memang memiliki kemampuan. Sedangkan kami harus pintar-pintar mendamaikan keinginan dengan kemampuan.
Hidup kami memang sederhana. Miskin sekali tidak, kayapun belum. Alhamdulillah, kami cukup makan, cukup pakaian dan meski tinggal di rumah kontrakan namun kami merasa nyaman. Sedari kecil, putri kami tidak suka minum susu dan sangat ‘membenci’ buah-buahan. Barangkali itu sebabnya mengapa badannya tak sesubur teman-teman sebayanya. Namun demikian, Allah menganugerahinya dengan kecerdasan dan daya tangkap yang lebih baik dibanding teman-teman sekelasnya. Sejak kelas satu, Alhamdulillah dia selalu ranking satu.
Perasaan bangga dan bahagia jelas berpihak pada kami setiap kali acara pembagian raport. Nama Evi Sabila selalu di sebut atau ditulis di papan tulis di urutan pertama. Tapi sudah sejak awal kami tanamkan kesadaran bahwa prestasi belajar memang sangat membanggakan, tapi bukan berarti kesempatan untuk menuruti segala keinginan. Kecerdasan itu anugerah dari Allah yang harus kita syukuri, bukan menjadikan kita tinggi hati.
Membaca adalah hoby yang menonjol dari putri kami. Tidak aneh memang karena aku dan istriku juga memiliki hoby yang sama. Pernah satu ketika, istriku dibuat panik karena dia menangis tanpa sebab yang kami ketahui. Setelah dibujuk, dia akhirnya mengaku bingung mau baca apalagi karena semua majalah anak-anak dan buku yang kami belikan sudah dibacanya berulang kali. Dia ingin membaca, tapi tak ada lagi buku bacaan, kecuali tinggal buku-buku pelajaran. Jika ingat kejadian ini, aku sering merasa geli sekaligus sedih. Seandainya kami berlebih rejeki, barangkali kini di rumah sudah ada perpustakaan pribadi.
Orang tua mana yang tak ingin melihat anaknya bahagia. Begitupun kami. Dalam kesederhanaan yang ada, kami tetap berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Membaca adalah hobynya, sebuah buku bisa menjadi hadiah teristimewa baginya. Untuk moment-moment tertentu, kadang kami membelikan buku sebagai hadiah untuknya. Toko buku Bina Insani adalah toko yang kerap kami kunjungi selain Gramedia. Berikut adalah beberapa buku yang kami belikan saat dia ulang tahun dan saat dia mendapat ranking satu.
Ah, menceritakan putri semata wayang kami memang kerapkali membuat mata ini berkaca-kaca. Di saat teman-teman sebayanya sering menuntut ini dan itu, dia justru jarang sekali. Aku yakin bukan karena dia terpaksa menahan semua keinginannya, tapi karena kesadarannya akan kondisi kedua orang tuanya. Alhamulillah, hidup sederhana telah membentuk karakter dan cara berfikirnya.
Beberapa hari lagi, tepatnya tanggal 7 Juni nanti, dia akan mengikuti ujian semester genap. Tapi sampai hari ini dia belum mengatakan apa-apa perihal apa yang diinginkan jika nanti dia rangking satu kembali. Entahlah, barangkali dia lupa karena terlalu sibuk dengan persiapan belajarnya, atau mungkin dia merasa ‘tak perlu’ meminta. Tapi mudah-mudahan bukan karena dia tak yakin bisa naik kelas dengan meraih peringkat pertama. Aku sendiri tak berani ‘menawarkan’ pilihan hadiah padanya. Aku masih merasa ‘malu’ karena gagal memenuhi janjiku untuk merubah penampilannya agar berjilbab saat usianya genap sepuluh tahun bulan April yang lalu. Biarlah, dia serius dengan belajarnya. Aku tak pernah memaksa dia rangking satu, tapi aku akan terus mendorong dan mendoakannya. Aku berharap dia akan kembali mempersembahkan ‘hadiah’ terbaiknya untuk kami seperti semester-semester yang lalu.
Selamat belajar sayang, semoga Allah memberikan kecerdasan dan pemahaman kepadamu. Percayalah, meski tak ada janji terucap, selalu ada ‘hadiah istimewa’ yang kami siapkan untukmu.
**
Tulisan ini dibuat selain sebagai catatan pribadi, juga mencoba untuk diikutkan dalam kontes yang diadakan oleh mbak Anazkia dan Denaihati . Sesuai temanya, Berbagi Kisah Sejati, aku hanya berharap ada hikmah atau manfaat yang bisa dipetik dari memoir ini. Soal menang tidaknya tulisan ini dalam kontes, itu bukan hal utama namun tidak munafik aku berharap bisa mendapatkan hadiahnya. Semoga.