Macet, macet, dan macet! Bagi yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, kemacetan di jalan bukanlah hal yang baru lagi. Sudah biasa, bahkan bagi yang tinggal atau sering melewati kawasan tertentu, kemacetan seakan sudah menjadi suguhan sehari-hari, hingga bila sekali saja tidak terjadi kemacetan, justru menimbulkan sebuah pertanyaan, ada apakah gerangan?
Kemacetan, kini bukan lagi ‘milik’ kota-kota besar saja. Di sepanjang jalan menuju tempat kerjaku yang berjarak lima kilometer saja, paling tidak ada tiga titik rawan kemacetan. Dan pagi tadi, aku terjebak di salah satunya. Jalan dua arah yang sempit, angkutan umum yang mangkal sembarangan, para pengendara motor yang tak sabar mengantri adalah faktor utama penyebab kemacetan sering terjadi. Hampir lima belas menit aku diam tak bergerak, di antara asap knalpot dan bunyi klakson yang memekakkan telinga. Kemacetan semakin parah ketika beberapa pengendara motor di depanku memilih berbalik arah. Hal serupa juga diikuti oleh beberapa pengguna jalan di belakangku. Aku dan beberapa pengguna jalan lainnya yang tetap bertahan semakin tak bisa bergerak. Maju tak bisa, mundur pun tak mungkin. Pemandangan ‘aneh’ kemudian terlihat. Meski berada di jalur yang benar, namun keberadaan kami seperti sedang melawan arus.
***
Di akhir jaman, berbagai tindak pelanggaran dan juga perbuatan maksiat tak hanya terjadi di kota-kota besar saja, tapi sudah menjalar ke pelosok-pelosok desa. Sesuatu yang benar dan lurus terkadang dianggap melawan arus. Seseorang yang tetap teguh memegang tuntunan agama harus siap-siap menghadapi derasnya arus jaman yang tak jarang membuat orang tertipu dan memilih berbalik arah, mengikuti hawa nafsunya, seolah lupa tujuan utama hidupnya. Dibelakanginya jalan menuju syurga, dan ditempuhnya jalan menuju neraka yang lebih sering terlihat mulus, lancar, dan tiada kendala. Cerita tentang Hasan, Nurul, dan Anjar (masing-masing bukan nama sebenarnya) adalah contohnya.
Hasan adalah pengurus sebuah organisasi. Ia menjabat sebagai seksi keuangan. Lima tahun sudah Hasan mengemban amanah ini dengan penuh tanggung jawab. Anggota dan pengurus lainnya merasa puas dengan hasil kerja Hasan yang jujur dan disiplin. Itulah sebabnya, pada rapat pemilihan pengurus periode berikutnya, Hasan diminta untuk kembali memangku jabatan lamanya. Namun, dengan halus dan santun Hasan menolak keinginan pengurus dan anggota tersebut.
Bagi Hasan, lima tahun menjalankan amanah ini adalah ujian yang cukup berat. Beberapa kali syaitan mencoba membujuknya untuk memanipulasi laporan, namun iman di dada masih menyelamatkan Hasan dari tindakan terkutuk itu. Hasan merasa, amanah yang dipercayakan kepadanya adalah hal yang tak boleh disalahgunakan, dan ia khawatir satu saat ia tak mampu lagi mengemban amanah itu dengan benar. Maka dari itu, berkali-kali Hasan memohon maaf dan pengertian kepada seluruh pengurus dan anggota, bahwa dengan diterimanya laporan yang dia sampaikan, maka dengan itu pula dia menyerahkan kembali jabatannya, dan berharap penggantinya akan mampu menjalankan amanah ini dengan lebih baik lagi. Sebuah tindakan yang terpuji dan patut diteladani, terutama di jaman sekarang ini dimana orang-orang berlomba-lomba mengejar jabatan, bahkan tak jarang dengan menghalalkan segala cara, bukan untuk mengabdikan kemampuannya, tapi untuk memenuhi ambisinya, mencari keuntungan sebanyak-banyaknya melalui jabatannya untuk kepentingan pribadinya. Keputusan Hasan tidaklah salah, namun di jaman sekarang memandang jabatan sebagai sebuah amanah seakan melawan arus.
“Dikasih jabatan strategis kok ndak mau. Apa dia ngga tahu caranya korupsi atau jangan-jangan sudah kenyang korupsi?” Astaghfirullah! Dugaan semacam ini jelas timbul dari orang-orang yang hatinya kotor, menganggap semua orang memandang jabatan sama seperti dirinya.
Kemudian si Nurul. Sebagai pengusaha, barangkali dia termasuk pengusaha yang kurang sukses. Bertahun-tahun dia menjalankan usahanya, namun sampai saat ini usahanya belumlah berkembang. Kalaupun ada perkembangan, itu tak seberapa dan berjalan sangat lambat. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena keterbatasan modal yang dimiliki Nurul. Sebenarnya, bisa saja Nurul mengembangkan usahanya dengan meminjam modal dari Bank, seperti yang dilakukan beberapa rekan bisnisnya, atau bahkan sebagian besar pengusaha pada umumnya. Namun, meminjam uang pada bank justru adalah hal yang sangat dihindari oleh Nurul. Apalagi kalau bukan riba yang menjadi penyebabnya. Sebagai pengusaha, Nurul jelas bercita-cita memajukan usahanya, namun jika itu dilakukan dengan jalan riba, bagi Nurul lebih baik mengelola usaha dengan kemampuan seadanya, asalkan halal dan barokah. Resikonya, usaha Nurul memang tak sepesat rekan-rekan bisnis lainnya. Prinsip Nurul adalah tepat, tapi di jaman sekarang, menghindari riba seakan melawan arus.
“Hari gini, ngomongin riba? Bagaimana mau maju?!” Astaghfirullah, pendapat ini juga jelas muncul dari orang-orang yang hatinya sudah dipenuhi dengan nafsu duniawi. Ketika ada orang yang berpikiran jauh ke depan (akhirat), justru dipandangnya ketinggalan jaman.
Juga si Anjar. Karyawan swasta sebuah perusahaan ini memang tidak memiliki jabatan tinggi di perusahaan. Tapi sang istri yang juga bekerja, membuat kebutuhan hidup sehari-hari mereka sangatlah tercukupi. Anjar kini telah dianugerahi seorang putra. Entah ujian atau memang sudah jalan hidup, Anjar bertemu dengan seorang gadis. Gayung bersambut, Anjar yang merasa jatuh cinta pada sang gadis, diterima sang gadis dengan tulus meski harus dijadikan istri kedua. Singkat cerita, untuk menghindari perzinahan, akhirnya Anjar menjadikan sang gadis sebagai istri keduanya, dengan pertimbangan ia mampu berbuat adil, baik secara ekonomi maupun dalam hal berbagi kasih sayang dan perhatian. Meski awalnya sang istri pertama menolak, namun demi buah hati dan keutuhan keluarga mereka, dan daripada sang suami terlibat perselingkuhan dan perzinahan, akhirnya dia mengizinkan sang suami untuk beristri lagi.
Terlepas dari konsekensi bagi setiap pelaku poligami, jelas keputusan Anjar untuk menikah lagi adalah hal yang sah dan dibenarkan oleh agama. Namun, di jaman sekarang, poligami justru dipandang terbalik. Jarang yang melihat poligami dari sudut positif dan keabsahannya di mata agama. Berbagai kecaman negatif karena telah menyakiti hati dan perasaan istri, hingga hanya menuruti nafsu birahi selalu diarahkan kepada lelaki pelaku poligami. Padahal tidak bisa disamaratakan demikian, ada pelaku poligami yang benar-benar bisa berbuat adil dan membina rumah tangga dengan baik bersama istri-istrinya. Dan kalau dibandingkan dengan mereka yang melakukan perselingkuhan atau kumpul kebo, apakah itu tidak lebih berdosa, karena telah menyakiti hati dan mengumbar nafsu birahi dengan melakukan perzinahan? Yang halal ditentang, tapi yang haram justru dibiarkan. Poligami dicaci maki, tapi perselingkuhan dan perzinahan justru dipandang sebagai hak azasi. Na’uzubillah!
“Kalau mau ‘makan sate’, kenapa mesti repot-repot melihara ‘kambingnya’? Tinggal ‘beli’ dan semua urusan selesai!” Astaghfirullah! Ungkapan ini jelas keluar dari mulut-mulut mereka yang hidupnya sudah diperbudak oleh nafsu syaitan. Mereka memandang perbuatan sesat mereka lebih mulia dari yang mengikuti aturan agama.
Astaghfirullah, betapa di akhir jaman seperti sekarang ini, sesuatu yang sudah berjalan dalam aturan yang benar, bukan saja seperti melawan arus, tapi justru sering dianggap salah.