Repot!. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan mudik. Betapa tidak, jutaan orang secara hampir bersamaan mengadakan pulang kampung menjelang hari lebaran. Meski kampung atau kota yang dituju berbeda-beda, tetap saja jalur yang ditempuh itu-itu juga, sehingga kemacetan lalu lintas menjadi hal yang pasti terjadi saat musim mudik tiba. Setiap pemudik, baik menggunakan transportasi umum maupun kendaraan pribadi, akan dihadapkan pada kemacetan yang melelahkan bahkan terkadang menjengkelkan, terutama hari-hari terakhir menjelang lebaran.
Ancaman panjang dan lamanya kemacetan, tingginya biaya perjalanan, dan mepetnya waktu libur yang diberikan perusahaan terkadang memaksa sebagian orang menunda kepulangan hingga usai lebaran. Aku sendiri, sampai menjelang bulan Ramadhan kemarin masih berencana merayakan lebaran di Tangerang-kota dimana kami mencari penghidupan-sama seperti dua kali lebaran sebelumnya. Sebenarnya kalau sekedar macet, aku yang sudah terbisa kemana-mana menggunakan angkutan umum, bukanlah hal yang perlu ditakutkan, hidangan sehari-hari. Juga kalau soal libur, yang sudah-sudah perusahaan tempatku bekerja selalu memberikan waktu yang cukup untuk mudik. Tapi kalau soal keuangan, barangkali itulah yang ‘memaksa’ kami merubah jadwal kepulangan, mungkin saat lebaran Haji atau libur sekolah akhir tahun nanti.
Jauh-jauh hari, rencana ini sudah aku sampaikan kepada anak dan istri, juga ketika ayah dan ibu berkunjung ke Tangerang dua bulan yang lalu. Mereka bisa memaklumi, dan kembali mengizinkan kami berlebaran di Tangerang. Apalagi, tidak lama lagi mereka berencana akan ke sini lagi, menghadiri pernikahan salah satu keponakanku di Bekasi. Dan, seperti yang sudah-sudah pula, mertuakupun ‘manut’ saja dengan pilihan kami.
Tapi telepon ibu di hari terakhir bulan Sya’ban kemarin, serta merta merubah keputusanku. Ibu memang merestui kami berlebaran di Tangerang lagi, tapi aku merasa, ada perasaan tertahan dibalik suara ibu saat itu. Aku adalah anak bungsunya, keempat kakak-kakakku sudah bisa dipastikan tidak bisa pulang lebaran tahun ini. Bagaimana mungkin, ibu merayakan lebaran tanpa ada anak dan cucu-cucunya. Kalaupun ada kakakku yang tinggal di kampung jelas berbeda rasanya, karena mereka hampir setiap hari bertemu dan berkumpul. Aku bisa merasakan, betapa sedihnya hati ibu jika benar-benar harus berlebaran tanpa kehadiran anak dan cucunya yang di perantauan. Hanya saja, ketabahan seorang ibu yang membuatnya mampu menutupi perasaan sedihnya dariku.
Suara tertahan ibu terus terngiang di telingaku. Terlebih ketika di kantor aku ngobrol dengan temanku, Hunaeni yang asli dari Sulawesi. Dia berencana akan merayakan lebaran tahun ini dikampung halamannya. Aku semakin berfikir, dia yang lebih jauh dan sudah pasti membutuhkan biaya jauh lebih banyak dariku, berniat pulang kampung demi berkumpul dengan keluarga dan bersilaturahmi dengan kerabat. Aku semakin memikirkan ibuku. Dan sebelum sholat jum’at hari terakhir bulan Syaban, aku memutuskan untuk berlebaran dikampung halaman bersama ibu, bapak dan juga kerabat. Masalah biayanya, wallohu’alam, aku pasarahkan saja sama Allah, Yang Maha Kaya. Bukankah silaturahmi itu selain memperpanjang umur juga memudahkah rizki, itulah satu-satunya yang menjadi penyemangatku.
Menjelang berangkat sholat tarawih hari pertama di Musholla, aku sampaikan keinginanku untuk berlebaran dikampung kepada istri dan anakku. Anakku langsung melonjak kegirangan, kecuali istriku yang meskipun gembira mendengar rencanaku, tapi dia sempat bertanya mengenai biaya selama mudik.
“Tenang saja, Insya Allah nanti ada” begitu jawabku mantap, meskipun aku tahu pasti sampai saat itu kami tidak memiliki tabungan sama sekali.
Ketika aku menelpon ibu di sahur hari pertama puasa, aku masih belum memberitahu ibu kalau kami berencana mudik tahun ini. Baru hari kedua, kusampaikan kabar gembira itu. Aku sengaja memberitahu rencanaku ini pada ibu, agar ibu bahagia dan juga terutama untuk mendapatkan doa dan restunya. Bukankah doa dan restu orang tua akan membuka jalan kemudahan bagi kita, termasuk masalah keuangan yang saat itu masih masalah utama bagiku.
Dan Alhamdulillah, semenjak aku mengatakan niatku berlebaran di kampung, aku selalu mendapati suara ceria ibu di telpon saat sahur setiap hari. Dan, restu dari ibu juga ayah, aku rasa benar-benar telah membuka jalan kemudahan bagiku.
Diawali dengan pengumuman perusahaan yang memberikan libur lebih lama dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kalau biasanya libur hanya satu minggu, tahun ini perusahaan meliburkan seluruh karyawannya selama dua minggu, satu minggu sebelum dan satu minggu sesudah lebaran.
Kemudian, dari segi keuangan, Alhamdulillah beberapa kali aku merasakan ‘keajaiban’. Mulai dari datangnya rejeki dari sesoerang yang tak pernah kuduga sebelumnya, sampai kerja lembur yang sejak krisis global melanda di awal tahun 2009 menghilang, tiba-tiba aku mendapat kesempatan untuk kerja lembur. Juga soal biaya perjalanan mudik, libur perusahaan yang lebih awal dan terhitung masih jauh dari hari H, jelas menguntungkan karena harga tiket bus masih menggunakan harga biasa. Untuk keperluan balik, aku sudah meminta kakakku yang dikampung untuk memesankan tiket bus jauh-jauh hari di awal puasa. Alhamdulillah tiket untuk balik ke Tangerang kini sudah di tangan dengan harga yang sesuai dengan kantongku.
Alhamdulillah, segala kemudahan dan terbukanya pintu rizki itu benar-benar aku rasakan, semenjak aku putuskan untuk pulang kampung, merayakan lebaran dan bersilaturahmi dengan sanak keluarga. Aku makin percaya, bahwa silaturahmi bisa memanjangkan umur dan memudahkan rezeki. Repotnya mudik, tidak akan berarti apa-apa, semua akan lenyap tergantikan dengan indahnya silaturahmi.
Semoga Allah memudahkan perkaraku, dan melancarkan urusanku. Ayah, Ibu……kami akan pulang untukmu, menikmati indahnya silaturahmi bersamamu.
Tangerang, 19 Ramadhan 1430 H
Ancaman panjang dan lamanya kemacetan, tingginya biaya perjalanan, dan mepetnya waktu libur yang diberikan perusahaan terkadang memaksa sebagian orang menunda kepulangan hingga usai lebaran. Aku sendiri, sampai menjelang bulan Ramadhan kemarin masih berencana merayakan lebaran di Tangerang-kota dimana kami mencari penghidupan-sama seperti dua kali lebaran sebelumnya. Sebenarnya kalau sekedar macet, aku yang sudah terbisa kemana-mana menggunakan angkutan umum, bukanlah hal yang perlu ditakutkan, hidangan sehari-hari. Juga kalau soal libur, yang sudah-sudah perusahaan tempatku bekerja selalu memberikan waktu yang cukup untuk mudik. Tapi kalau soal keuangan, barangkali itulah yang ‘memaksa’ kami merubah jadwal kepulangan, mungkin saat lebaran Haji atau libur sekolah akhir tahun nanti.
Jauh-jauh hari, rencana ini sudah aku sampaikan kepada anak dan istri, juga ketika ayah dan ibu berkunjung ke Tangerang dua bulan yang lalu. Mereka bisa memaklumi, dan kembali mengizinkan kami berlebaran di Tangerang. Apalagi, tidak lama lagi mereka berencana akan ke sini lagi, menghadiri pernikahan salah satu keponakanku di Bekasi. Dan, seperti yang sudah-sudah pula, mertuakupun ‘manut’ saja dengan pilihan kami.
Tapi telepon ibu di hari terakhir bulan Sya’ban kemarin, serta merta merubah keputusanku. Ibu memang merestui kami berlebaran di Tangerang lagi, tapi aku merasa, ada perasaan tertahan dibalik suara ibu saat itu. Aku adalah anak bungsunya, keempat kakak-kakakku sudah bisa dipastikan tidak bisa pulang lebaran tahun ini. Bagaimana mungkin, ibu merayakan lebaran tanpa ada anak dan cucu-cucunya. Kalaupun ada kakakku yang tinggal di kampung jelas berbeda rasanya, karena mereka hampir setiap hari bertemu dan berkumpul. Aku bisa merasakan, betapa sedihnya hati ibu jika benar-benar harus berlebaran tanpa kehadiran anak dan cucunya yang di perantauan. Hanya saja, ketabahan seorang ibu yang membuatnya mampu menutupi perasaan sedihnya dariku.
Suara tertahan ibu terus terngiang di telingaku. Terlebih ketika di kantor aku ngobrol dengan temanku, Hunaeni yang asli dari Sulawesi. Dia berencana akan merayakan lebaran tahun ini dikampung halamannya. Aku semakin berfikir, dia yang lebih jauh dan sudah pasti membutuhkan biaya jauh lebih banyak dariku, berniat pulang kampung demi berkumpul dengan keluarga dan bersilaturahmi dengan kerabat. Aku semakin memikirkan ibuku. Dan sebelum sholat jum’at hari terakhir bulan Syaban, aku memutuskan untuk berlebaran dikampung halaman bersama ibu, bapak dan juga kerabat. Masalah biayanya, wallohu’alam, aku pasarahkan saja sama Allah, Yang Maha Kaya. Bukankah silaturahmi itu selain memperpanjang umur juga memudahkah rizki, itulah satu-satunya yang menjadi penyemangatku.
Menjelang berangkat sholat tarawih hari pertama di Musholla, aku sampaikan keinginanku untuk berlebaran dikampung kepada istri dan anakku. Anakku langsung melonjak kegirangan, kecuali istriku yang meskipun gembira mendengar rencanaku, tapi dia sempat bertanya mengenai biaya selama mudik.
“Tenang saja, Insya Allah nanti ada” begitu jawabku mantap, meskipun aku tahu pasti sampai saat itu kami tidak memiliki tabungan sama sekali.
Ketika aku menelpon ibu di sahur hari pertama puasa, aku masih belum memberitahu ibu kalau kami berencana mudik tahun ini. Baru hari kedua, kusampaikan kabar gembira itu. Aku sengaja memberitahu rencanaku ini pada ibu, agar ibu bahagia dan juga terutama untuk mendapatkan doa dan restunya. Bukankah doa dan restu orang tua akan membuka jalan kemudahan bagi kita, termasuk masalah keuangan yang saat itu masih masalah utama bagiku.
Dan Alhamdulillah, semenjak aku mengatakan niatku berlebaran di kampung, aku selalu mendapati suara ceria ibu di telpon saat sahur setiap hari. Dan, restu dari ibu juga ayah, aku rasa benar-benar telah membuka jalan kemudahan bagiku.
Diawali dengan pengumuman perusahaan yang memberikan libur lebih lama dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kalau biasanya libur hanya satu minggu, tahun ini perusahaan meliburkan seluruh karyawannya selama dua minggu, satu minggu sebelum dan satu minggu sesudah lebaran.
Kemudian, dari segi keuangan, Alhamdulillah beberapa kali aku merasakan ‘keajaiban’. Mulai dari datangnya rejeki dari sesoerang yang tak pernah kuduga sebelumnya, sampai kerja lembur yang sejak krisis global melanda di awal tahun 2009 menghilang, tiba-tiba aku mendapat kesempatan untuk kerja lembur. Juga soal biaya perjalanan mudik, libur perusahaan yang lebih awal dan terhitung masih jauh dari hari H, jelas menguntungkan karena harga tiket bus masih menggunakan harga biasa. Untuk keperluan balik, aku sudah meminta kakakku yang dikampung untuk memesankan tiket bus jauh-jauh hari di awal puasa. Alhamdulillah tiket untuk balik ke Tangerang kini sudah di tangan dengan harga yang sesuai dengan kantongku.
Alhamdulillah, segala kemudahan dan terbukanya pintu rizki itu benar-benar aku rasakan, semenjak aku putuskan untuk pulang kampung, merayakan lebaran dan bersilaturahmi dengan sanak keluarga. Aku makin percaya, bahwa silaturahmi bisa memanjangkan umur dan memudahkan rezeki. Repotnya mudik, tidak akan berarti apa-apa, semua akan lenyap tergantikan dengan indahnya silaturahmi.
Semoga Allah memudahkan perkaraku, dan melancarkan urusanku. Ayah, Ibu……kami akan pulang untukmu, menikmati indahnya silaturahmi bersamamu.
Tangerang, 19 Ramadhan 1430 H