Pak Darma ( bukan nama sebenarnya ) bukanlah orang kaya. Secara ekonomi, kehidupan keluarganya justru bisa dibilang pas-pasan. Pak Darma adalah karyawan sebuah perusahaan swasta, sedang sang istri hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Pak Darma tinggal bersama istri dan putri tunggalnya di sebuah rumah kontrakan yang ( juga ) sangat sederhana.
Meski kehidupan keluarga Pak Darma sangat sederhana, tetapi keluarga ini dikenal masyarakat sekitar sebagai keluarga yang murah hati. Setiap ada tetangga yang memerlukan bantuan, selalu saja ada yang mereka berikan. Setiap ada kegiatan amal, mereka tak pernah ketinggalan. Intinya, sekecil apapun mereka akan berusaha membantu, berbagi dengan tetangga-tetangganya.
Malam itu, Bu Darma sedang menyusun daftar kerabat dan tetangganya yang akan dia berikan bingkisan lebaran sebagaimana biasa mereka lakukan tiap tahunnya, ketika Pak Darma pulang dari tadarus di Mushola. Usai menjawab salam, sang istri langsung menyambut dan mencium tangan sang suami. Kebetulan daftar yang ia susun sudah selesai.
“ Pak, Ibu sudah menyusun daftar dan membuat anggaran untuk bingikisan lebaran nanti. Mulai tahun ini, Ibu tambahin satu ya Pak?”
“ Siapa Bu? “ tanya Pak Darma sambil duduk disebelah sang istri.
“ Ust. Rohman ( bukan nama sebenarnya ) “ jawab sang istri sambil menyodorkan selembar kertas kepada Pak Darma.
“ Ust. Rohman? “ tanya Pak Darma ragu, tapi memang dia mendapati nama itu di daftar yang disusun sang istri.
“ Iya, betul. Kenapa Pak, nda boleh? “ tanya sang istri, hatinya harap-harap cemas kalau-kalau sang suami tidak setuju dengan idenya.
“ Boleh, boleh saja. Tapi, ust. Rohman itu kan lebih kaya dari kita “
“ Memang nda boleh kita ngasih bingkisan ke orang kaya Pak?” bu Darma agak merasa lega karena sang suami sebenarnya mengizinkan, hanya belum paham dengan yang dia pikirkan. Kini tinggal bagaimana caranya dia menjelaskan idenya, dan dia yakin Pak Darma akan setuju. Dia tahu betul watak suami yang telah menikahinya selama 10 tahun.
“ Bukan, bukan begitu maksudku Bu. Apa nanti kita nda dianggap menghina, apalagi bingkisan kita itu kan cuman bingkisan sederhana, bukan parcel seperti yang biasa dikirim dari dan untuk orang-orang kaya dilingkungan sini. Atau takutnya kita malah dikira mengharapkan lebih dari yang kita berikan”
“ Bapak ini. Beliau ini kan seorang ustadz, nda mungkinlah beliau berpikiran seperti itu. Maksud ibu gini lho Pak. Selama ini bapak dan si Rahma ( bukan nama sebenarnya ) kan ngaji di tempat ust. Rohman. Selama ini Bapak kalau ngaji disana, jarang sekali membawa kue atau cemilan untuk teman minum kopi usai pengajian. Sedang si Rahma tiap bulan paling hanya membayar Rp. 10.000,00. Itupun sekedar untuk membantu membayar listrik. “
“ Iya juga sih, terus? “ jawab Pak Darma manggut-manggut. Sang istripun jadi semangat, ia yakin kalo sang suami kini akan mendukung idenya.
“ Nah, nda ada salahnya kan, kalau lebaran nanti kita memberikan sekedar bingkisan, itung-itung tanda terima kasih kita karena selama ini sudah mendapat banyak ilmu dari beliau. Bapak tahu kan, waktu pertama ngaji Rahma baru baca juz Ama ,tapi sekarang sudah Al Quran, malah sudah sampai juz ke 10. Belum lagi Bapak, sejak ngaji di tempat Ust. Rohman, pengetahuan agama Bapak jauh lebih luas, dan ibu bisa belajar dari Bapak“
“ Iya ya, kok aku nda kepikiran sampai ke situ ya. Malah gini Bu, bingkisan untuk ust. Rohman ibu tambahin kuenya lagi, kan yang ngaji di sana bukan cuma Rahma, tapi aku juga. Aku yakin kalau ust. Rohman nda bakal mikir macem-macem. Kalaupun beliau dan keluarganya tidak membutuhkan atau sudah memiliki kue yang cukup untuk lebaran, beliau lebih tahu kemana harus disalurkan. Makasih Bu, ibu sudah membukakan hati dan pikiran Bapak. Bagus bila kita bersedekah kepada yang miskin, tapi tak ada salahnya juga kita menunjukan rasa terima kasih kita kepada orang yang telah berjasa bagi kita, meskipun dia sudah kaya.”
“ Alhamdulillah, bapak sudah paham dengan yang ibu maksud. Makasih ya Pak. Sekarang, mana uang yang akan ibu belanjakan kue dan sirup untuk bingkisan, masa mau makai uang belanja Ibu.” Kata Bu Darma sambil tersenyum manja. Sang suamipun tersenyum, meraih pundak sang istri dan mencium keningnya dengan penuh cinta.
Begitulah, kehidupan keluarga pak Darma. Sederhana namun tak pernah lupa untuk bersedekah. Kehidupannnya yang pas-pasan tidak dijadikan alasan untuk tidak berbagi dengan sesama. Keluarga Pak Darma sadar betul, bahwa dibanding mereka, masih banyak keluarga-keluarga lain yang tidak seberuntung mereka. Bagi mereka, bukan seberapa banyak yang bisa mereka berikan, tapi seberapa banyak orang yang bisa mereka bantu. Selama ada yang bisa mereka bagi dengan orang lain, jangankan orang miskin, dengan orang yang lebih berkecukupanpun mereka mau berbagi, terlebih kepada mereka yang telah berjasa.
Sungguh keluarga yang dermawan. Kita bisa mengambil pelajaran bahwa sebuah pemberian tergantung dari niatnya. Tak selamanya memberi kepada yang miskin bisa disebut sedekah, kalau niatnya untuk riya. Juga, memberi kepada yang sudah mampu tidaklah selamanya disebut suap, tanda terima kasih jelas tidak ada salahnya. Semua tergantung niat dan keikhlasan kita berbagi.
Meski kehidupan keluarga Pak Darma sangat sederhana, tetapi keluarga ini dikenal masyarakat sekitar sebagai keluarga yang murah hati. Setiap ada tetangga yang memerlukan bantuan, selalu saja ada yang mereka berikan. Setiap ada kegiatan amal, mereka tak pernah ketinggalan. Intinya, sekecil apapun mereka akan berusaha membantu, berbagi dengan tetangga-tetangganya.
Malam itu, Bu Darma sedang menyusun daftar kerabat dan tetangganya yang akan dia berikan bingkisan lebaran sebagaimana biasa mereka lakukan tiap tahunnya, ketika Pak Darma pulang dari tadarus di Mushola. Usai menjawab salam, sang istri langsung menyambut dan mencium tangan sang suami. Kebetulan daftar yang ia susun sudah selesai.
“ Pak, Ibu sudah menyusun daftar dan membuat anggaran untuk bingikisan lebaran nanti. Mulai tahun ini, Ibu tambahin satu ya Pak?”
“ Siapa Bu? “ tanya Pak Darma sambil duduk disebelah sang istri.
“ Ust. Rohman ( bukan nama sebenarnya ) “ jawab sang istri sambil menyodorkan selembar kertas kepada Pak Darma.
“ Ust. Rohman? “ tanya Pak Darma ragu, tapi memang dia mendapati nama itu di daftar yang disusun sang istri.
“ Iya, betul. Kenapa Pak, nda boleh? “ tanya sang istri, hatinya harap-harap cemas kalau-kalau sang suami tidak setuju dengan idenya.
“ Boleh, boleh saja. Tapi, ust. Rohman itu kan lebih kaya dari kita “
“ Memang nda boleh kita ngasih bingkisan ke orang kaya Pak?” bu Darma agak merasa lega karena sang suami sebenarnya mengizinkan, hanya belum paham dengan yang dia pikirkan. Kini tinggal bagaimana caranya dia menjelaskan idenya, dan dia yakin Pak Darma akan setuju. Dia tahu betul watak suami yang telah menikahinya selama 10 tahun.
“ Bukan, bukan begitu maksudku Bu. Apa nanti kita nda dianggap menghina, apalagi bingkisan kita itu kan cuman bingkisan sederhana, bukan parcel seperti yang biasa dikirim dari dan untuk orang-orang kaya dilingkungan sini. Atau takutnya kita malah dikira mengharapkan lebih dari yang kita berikan”
“ Bapak ini. Beliau ini kan seorang ustadz, nda mungkinlah beliau berpikiran seperti itu. Maksud ibu gini lho Pak. Selama ini bapak dan si Rahma ( bukan nama sebenarnya ) kan ngaji di tempat ust. Rohman. Selama ini Bapak kalau ngaji disana, jarang sekali membawa kue atau cemilan untuk teman minum kopi usai pengajian. Sedang si Rahma tiap bulan paling hanya membayar Rp. 10.000,00. Itupun sekedar untuk membantu membayar listrik. “
“ Iya juga sih, terus? “ jawab Pak Darma manggut-manggut. Sang istripun jadi semangat, ia yakin kalo sang suami kini akan mendukung idenya.
“ Nah, nda ada salahnya kan, kalau lebaran nanti kita memberikan sekedar bingkisan, itung-itung tanda terima kasih kita karena selama ini sudah mendapat banyak ilmu dari beliau. Bapak tahu kan, waktu pertama ngaji Rahma baru baca juz Ama ,tapi sekarang sudah Al Quran, malah sudah sampai juz ke 10. Belum lagi Bapak, sejak ngaji di tempat Ust. Rohman, pengetahuan agama Bapak jauh lebih luas, dan ibu bisa belajar dari Bapak“
“ Iya ya, kok aku nda kepikiran sampai ke situ ya. Malah gini Bu, bingkisan untuk ust. Rohman ibu tambahin kuenya lagi, kan yang ngaji di sana bukan cuma Rahma, tapi aku juga. Aku yakin kalau ust. Rohman nda bakal mikir macem-macem. Kalaupun beliau dan keluarganya tidak membutuhkan atau sudah memiliki kue yang cukup untuk lebaran, beliau lebih tahu kemana harus disalurkan. Makasih Bu, ibu sudah membukakan hati dan pikiran Bapak. Bagus bila kita bersedekah kepada yang miskin, tapi tak ada salahnya juga kita menunjukan rasa terima kasih kita kepada orang yang telah berjasa bagi kita, meskipun dia sudah kaya.”
“ Alhamdulillah, bapak sudah paham dengan yang ibu maksud. Makasih ya Pak. Sekarang, mana uang yang akan ibu belanjakan kue dan sirup untuk bingkisan, masa mau makai uang belanja Ibu.” Kata Bu Darma sambil tersenyum manja. Sang suamipun tersenyum, meraih pundak sang istri dan mencium keningnya dengan penuh cinta.
Begitulah, kehidupan keluarga pak Darma. Sederhana namun tak pernah lupa untuk bersedekah. Kehidupannnya yang pas-pasan tidak dijadikan alasan untuk tidak berbagi dengan sesama. Keluarga Pak Darma sadar betul, bahwa dibanding mereka, masih banyak keluarga-keluarga lain yang tidak seberuntung mereka. Bagi mereka, bukan seberapa banyak yang bisa mereka berikan, tapi seberapa banyak orang yang bisa mereka bantu. Selama ada yang bisa mereka bagi dengan orang lain, jangankan orang miskin, dengan orang yang lebih berkecukupanpun mereka mau berbagi, terlebih kepada mereka yang telah berjasa.
Sungguh keluarga yang dermawan. Kita bisa mengambil pelajaran bahwa sebuah pemberian tergantung dari niatnya. Tak selamanya memberi kepada yang miskin bisa disebut sedekah, kalau niatnya untuk riya. Juga, memberi kepada yang sudah mampu tidaklah selamanya disebut suap, tanda terima kasih jelas tidak ada salahnya. Semua tergantung niat dan keikhlasan kita berbagi.