Sebenernya tanpa harus bertanyapun, saya sudah tahu mengapa rekan kerja di seberang mejaku ini wajahnya murung, tak secerah kemarin. Saya tahu, saat ini dia sedang kecewa karena tim sepak bola yang ia jagokan di final piala Champions kalah. Tapi, sebenarnya dia kecewa bukan sekedar karena tim jagoannya kalah, lebih pastinya karena dia kalah dalam taruhan.
Bisa saja aku pura-pura tak melihat ‘penderitaan’ yang disengajanya itu, tapi karena setiap hari dia duduk manis di seberang mejaku, saya tidak enak juga kalau benar-benar menutup mata terhadapnya. Sekedar biar dia tahu kalau saya ada ( mengatahui keberadaanya juga kekecewaannya ) saya mencoba berbasa basi dengannya. Dan pertanyaanku yang sebenarnya tak membutuhkan jawaban, dia jawab dengan suara yang lemah, selemah benang yang sudah semalaman terendam air.
“ Saya kalah taruhan. Uang yang saya pakai taruhan, seharusnya untuk membayar cicilan rumah bulan ini. Istri saya tidak tahu, kalau dia tahu, pasti dia marah. Saya terpaksa membohonginya. Saya menyesal. Saya merasa berdosa sama istri saya” begitu dia bercerita dengan suara yang lebih mirip gaya bicara para caleg yang tidak lolos kemarin.
Aneh! Tiba-tiba saya jadi merasa aneh, mendengar ‘curhat’ nya.
Pertama, saya merasa aneh, mengapa melihat penderitaannya ( menderita?, paling tidak itu menurutnya ) hati saya sama sekali tidak merasa iba. Padahal biasanya hati ini paling gampang tersentuh dengan hal-hal yang menyedihkan semacam itu. Tapi untuk hal yang satu ini, sepertinya saya tidak merasakan keprihatinan sedikitpun akan nasibnya. Mungkin karena ‘penderitaan’ yang dia rasakan adalah hasil dari perbuatannya sendiri, sehingga hati saya seolah-olah menjadi batu.
Kedua, saya merasa aneh dengan ucapan dia yang merasa berdosa sama istri lantaran uang yang seharusnya untuk membayar cicilan rumah dia pakai untuk taruhan, dan akhirnya kalah. Yang menarik perhatianku adalah kalimat ‘saya merasa berdosa sama istri saya”.
Berdosa?! Mengapa dia merasa berdosa setelah dia kalah taruhan. Mengapa dari awal dia tidak merasa bahwa taruhan yang dia lakukan adalah sebuah dosa. Apakah dia pikir kalau menang taruhan kemudian judi tidak berdosa?.
Sama istri ?! Mengapa dia merasa berdosa hanya kepada istrinya? Apakah dia pikir, perbuatan haramnya itu tidak berdosa kepada Allah? Mengapa hanya yang terlihat mata saja yang ada dalam benaknya. Apakah Allah yang tak terlihat mata, dianggapnya tak melihat perbuatannya? Astaghfirulloh…..
Semula saya berharap, bahwa penyesalan yang dia ungkapkan itu merupakan awal baginya untuk bertobat dari segala bentuk perjudian. Tapi rupanya, rasa sesalnya itu hanya sesal sepedas sambal.
Bisa saja aku pura-pura tak melihat ‘penderitaan’ yang disengajanya itu, tapi karena setiap hari dia duduk manis di seberang mejaku, saya tidak enak juga kalau benar-benar menutup mata terhadapnya. Sekedar biar dia tahu kalau saya ada ( mengatahui keberadaanya juga kekecewaannya ) saya mencoba berbasa basi dengannya. Dan pertanyaanku yang sebenarnya tak membutuhkan jawaban, dia jawab dengan suara yang lemah, selemah benang yang sudah semalaman terendam air.
“ Saya kalah taruhan. Uang yang saya pakai taruhan, seharusnya untuk membayar cicilan rumah bulan ini. Istri saya tidak tahu, kalau dia tahu, pasti dia marah. Saya terpaksa membohonginya. Saya menyesal. Saya merasa berdosa sama istri saya” begitu dia bercerita dengan suara yang lebih mirip gaya bicara para caleg yang tidak lolos kemarin.
Aneh! Tiba-tiba saya jadi merasa aneh, mendengar ‘curhat’ nya.
Pertama, saya merasa aneh, mengapa melihat penderitaannya ( menderita?, paling tidak itu menurutnya ) hati saya sama sekali tidak merasa iba. Padahal biasanya hati ini paling gampang tersentuh dengan hal-hal yang menyedihkan semacam itu. Tapi untuk hal yang satu ini, sepertinya saya tidak merasakan keprihatinan sedikitpun akan nasibnya. Mungkin karena ‘penderitaan’ yang dia rasakan adalah hasil dari perbuatannya sendiri, sehingga hati saya seolah-olah menjadi batu.
Kedua, saya merasa aneh dengan ucapan dia yang merasa berdosa sama istri lantaran uang yang seharusnya untuk membayar cicilan rumah dia pakai untuk taruhan, dan akhirnya kalah. Yang menarik perhatianku adalah kalimat ‘saya merasa berdosa sama istri saya”.
Berdosa?! Mengapa dia merasa berdosa setelah dia kalah taruhan. Mengapa dari awal dia tidak merasa bahwa taruhan yang dia lakukan adalah sebuah dosa. Apakah dia pikir kalau menang taruhan kemudian judi tidak berdosa?.
Sama istri ?! Mengapa dia merasa berdosa hanya kepada istrinya? Apakah dia pikir, perbuatan haramnya itu tidak berdosa kepada Allah? Mengapa hanya yang terlihat mata saja yang ada dalam benaknya. Apakah Allah yang tak terlihat mata, dianggapnya tak melihat perbuatannya? Astaghfirulloh…..
Semula saya berharap, bahwa penyesalan yang dia ungkapkan itu merupakan awal baginya untuk bertobat dari segala bentuk perjudian. Tapi rupanya, rasa sesalnya itu hanya sesal sepedas sambal.