Dulu, setiap kita melihat atau berjumpa dengan muslimah yang berjilbab, maka hati akan merasa sejuk, tentram dan nyaman, tapi belakangan bukan perasaan itu yang muncul, melainkan rasa prihatin yang meresahkan. Betapa tidak, masih banyak muslimah yang sepertinya belum ‘paham’ dan belum ‘sadar’ dengan cara ‘berjilbab’ mereka.
Seringkali kita dapati muslimah-muslimah yang pakaiannya sih jilbab, tapi tingkah lakunya sama sekali ngga ngelink dengan pakaian yang dikenakannya. Atau mereka seolah-olah berjilbab, tapi tutur sapanya bukan tutur kata seorang muslimah.
Beberapa kali ( sering malah ), saat berangkat kerja aku bertemu atau melihat para siswi sekolah yang ‘terpaksa berseragam ala jilbab’ membonceng motor teman laki-lakinya dengan posisi menghadap ke depan ( seperti laki-laki ). Saya katakan terpaksa, sebab seandainya mereka mengenakan jilbab itu dengan penuh kesadaran dan ketaatan, maka tidak mungkin mereka bertindak seperti itu.
Juga pakaian-pakaian ‘seperti’ jilbab yang ketika dipakai maka warna kulit pemakainya akan terlihat, kini banyak digemari kaum hawa hanya karena alasan modis. Atau juga pakaian-pakain ‘menyerupai’ jilbab yang malah lebih menunjukan lekuk tubuh ketimbang pakaian biasa yang nyata-nyata tidak mengaku sebagai jilbab.
Lalu, haruskah jilbab itu ditanggalkan, dan lebih baik sama sekali tidak memakai pakaian yang bisa dikatakan jilbab? Bukan, bukan itu yang diinginkan. Berjilbab cara ini ( seolah jilbab ) boleh saja, jika itu dijadikan masa transisi ( karena untuk sebagian muslimah masih merasa malu dan tidak pede untuk merubah penampilannya secara total dan drastis ). Lebih baik memakai pakain ‘ala jilbab’ jika itu dijadikan penghantar untuk membiasakan diri memakai jilbab yang syari. Tapi jangan keterusan dong…. Yang dikhawatirkan ( dan sepertinya memang mengarah kesana ) bahwa makna jilbab itu akan berubah. Yang ditakutkan adalah bahwa kerudung ( jilbab ) tak lebih dari variasi tutup kepala, dimana atas di tutup tapi tengah ke bawah dibiarkan terbuka.
Seringkali kita dapati muslimah-muslimah yang pakaiannya sih jilbab, tapi tingkah lakunya sama sekali ngga ngelink dengan pakaian yang dikenakannya. Atau mereka seolah-olah berjilbab, tapi tutur sapanya bukan tutur kata seorang muslimah.
Beberapa kali ( sering malah ), saat berangkat kerja aku bertemu atau melihat para siswi sekolah yang ‘terpaksa berseragam ala jilbab’ membonceng motor teman laki-lakinya dengan posisi menghadap ke depan ( seperti laki-laki ). Saya katakan terpaksa, sebab seandainya mereka mengenakan jilbab itu dengan penuh kesadaran dan ketaatan, maka tidak mungkin mereka bertindak seperti itu.
Juga pakaian-pakaian ‘seperti’ jilbab yang ketika dipakai maka warna kulit pemakainya akan terlihat, kini banyak digemari kaum hawa hanya karena alasan modis. Atau juga pakaian-pakain ‘menyerupai’ jilbab yang malah lebih menunjukan lekuk tubuh ketimbang pakaian biasa yang nyata-nyata tidak mengaku sebagai jilbab.
Lalu, haruskah jilbab itu ditanggalkan, dan lebih baik sama sekali tidak memakai pakaian yang bisa dikatakan jilbab? Bukan, bukan itu yang diinginkan. Berjilbab cara ini ( seolah jilbab ) boleh saja, jika itu dijadikan masa transisi ( karena untuk sebagian muslimah masih merasa malu dan tidak pede untuk merubah penampilannya secara total dan drastis ). Lebih baik memakai pakain ‘ala jilbab’ jika itu dijadikan penghantar untuk membiasakan diri memakai jilbab yang syari. Tapi jangan keterusan dong…. Yang dikhawatirkan ( dan sepertinya memang mengarah kesana ) bahwa makna jilbab itu akan berubah. Yang ditakutkan adalah bahwa kerudung ( jilbab ) tak lebih dari variasi tutup kepala, dimana atas di tutup tapi tengah ke bawah dibiarkan terbuka.
Jadi, jika berjilbab sudah menjadi kewajiban muslimah, mengapa masih saja ragu untuk menjalankannya. Tak takutkah dengan resiko jika kewajiban itu sengaja dilanggar? Dan jika sudah menyadari kewajiban, mengapa masih setengah-setengah, bukankah berjilbab membawa kebaikan? Lalu alasan apa lagi untuk tidak mengenakan pakaian jilbab yang sebenarnya sesuai tuntunan agama?