Lesu darah, tak lagi bergairah. Begitulah yang aku rasakan. Jika dulu
bisa seminggu dua kali, maka kini dua minggu sekali pun sudah terbilang bagus,
bahkan pernah hingga hitungan bulan baru bisa aku lakukan. Maaf sahabat dan
kerabatku, jangan berpikir negatif dulu, karena yang kumaksud bukan ‘gairah
yang itu’ melainkan gairah menulisku.
Lihatlah, tahun 2013 segera berakhir, namun hanya ada belasan
tulisan yang aku post di blog yang sederhana dan serba seadanya ini. Bukan
hanya di sini, tapi di beberapa website yang biasa kutitipi hasil belajar
menulisku pun tahun ini bisa dihitung dengan jari. Termasuk keinginan untuk
menerbitkan buku kedua, terhenti di tengah jalan. Delapan puluh persen tulisan
sudah disiapkan, sisanya masih dalam angan. Ide-ide sudah didapatkan, bahkan
judul yang diunggulkan juga sudah ditetapkan. Tapi mempersembahkannya sebagai
hadiah saat hari kelahiran istri, ataupun ulang tahun pernikahan kami, masih
sebatas mimpi.
Merubah tagline dari Remah-Remah Hikmah menjadi Mengeja kata,
itulah yang akhirnya kulakukan. Aku merasa benar-benar harus kembali belajar mengeja
kata demi kata untuk merangkainya menjadi sebuah tulisan yang bukan saja enak
dibaca tapi juga mengandung makna.
Berbagai kesempatan dan ajakan untuk menulis, praktis aku
lewatkan. Tawaran menggiurkan dari penerbit yang dulu mewujudkan mimpiku, aku
abaikan. Begitu juga giveaway dengan hadiah luar biasa yang disediakan oleh sahabat
blogger, tak kunjung memberiku energi untuk menulis lagi.
Kita berkeinginan, Allah memberi jalan, begitu yang pernah
kutuliskan, dan kini (kembali) aku rasakan. Bermula dari sebuah email seorang sahabat, perlahan aku mulai bersemangat. Sebuah antologi terbaru
berhasil menembus toko buku terkemuka dan sudah beredar di beberapa kota besar
di Indonesia. Juga ketika seorang dosen memberi tugas presentasi, tiga orang dalam kelompokku langsung sepakat mempercayakan padaku,
karena temanya sangat cocok dengan minatku, menulis. Terus terang ada rasa malu
terselip dalam hatiku. Bagaimanalah aku akan memberikan motivasi menulis kepada
tiga puluh enam mahasiswa lainnya jika aku sendiri justru merasakan yang sebaliknya. Aku
tak boleh jadi orang munafik, jika orang lain kuajak untuk menulis, maka aku
juga harus (kembali) menulis.
Tak hanya itu, seperti sebuah kebetulan, padahal tidak ada
satupun kejadian kecuali sebelumnya telah Allah tetapkan, Mas Budhi ( Insan
Robbani ) yang cukup lama tak saling berkomunikasi, tiba-tiba menyapaku. Pada
beliau, aku sempat curhat terkait penurunan semangat menulisku. Sementara Mas Budhi justru baru saja menerbitkan sebuah buku.
Subhanallah walhamdulillah.
Antologi, presentasi, obrolan dengan Mas Budhi, ketiganya
tak lepas dari menulis. Ini bukan semata kebetulan, melainkan sinyal yang Allah
berikan agar aku kembali membenahi keinginan, merubah mimpi jadi kenyataan.
Antologi memberiku kepercayaan, presentasi memberiku kesadaran, dan Mas Budhi
memberiku keyakinan bahwa menulis adalah memang yang ingin kulakukan.
Dengan mengucap Bismillah, berharap penuh mendapat kekuatan
dan keberkahan, kuniatkan dalam hati untuk ( kembali ) berbagi banyak hal melalui
tulisan. Di tahun 2014;
- aku harus kembali aktif ‘menyapa’ para pengunjung setia eramuslim, kotasantri dan dakwatuna.
- aku harus lebih bisa mengelola blog dengan maksimal agar
sewa domainnya tak menjadi sia-sia.
- sebelum hari kelahirannya, aku harus bisa menghadirkan
sebuah senyum penuh makna di wajah istri tercinta karena buku berjudul Satu
Kupinta, Seribu Kuterima memang aku tulis spesial untuknya.
Apa lagi yang harus kukata, bila
satu kupinta, seribu kuterima?
Apa lagi yang harus kuucap, bila
satu kuharap, seribu kudapat?
Terlalu lama paragraf pembuka ini terbiarkan, saatnya kini
diteruskan agar tahun depan bisa dibukukan. Seperti yang menjadi ide penulisan,
semoga menerbitkan buku kedua, ketiga dan seterusnya menjadi bagian dari beribu
keinginan yang Allah kabulkan. Amin.
Artikel ini diikutsertakan pada KontesUnggulan:Proyek Monumental Tahun 2014.