14 Feb 2011

Bude

Bude. Begitu anakku memanggil perempuan itu. Perempuan paling hebat di keluargaku, setelah ibu.

Bude. Kini panggilan itu bukan saja dipakai oleh sepuluh keponakanku, tapi juga dipakai puluhan tetanggaku, pelanggan warung nasi milik perempuan itu.

Dia koki yang handal. Soal masakan, dia yang terhebat. Maaf, ibu, tak ada yang menyamai sedapnya sop buatanmu, tapi kita semua sepakat bahwa secara umum hasil olahannyalah yang terlezat. Bahan boleh sama, bumbu boleh serupa, tapi di tangannya semua terasa lebih istimewa.

Tak aneh bila warung nasi sederhananya tak pernah sepi dari pembeli. Alhamdulillah, apapun yang dia masak, kapanpun aku bisa ikut menikmatinya. Sejak 'kejadian' Oktober tahun lalu, urusan makanku dan putriku kupercayakan padanya. Entah sampai kapan, mungkin sampai Allah mengirimkan seorang ummi baru untuk putriku.

Dia satu di antara lima kakakku yang paling dekat denganku. Aku memang bukanlah adik satu-satunya, tapi akulah satu-satunya yang paling sering dia bela, paling sering dia bantu. Masih jelas dalam ingatanku, dialah yang selalu mendamaikan saat aku dan kakak-kakakku (terutama kakak pas di atasku) bertengkar gara-gara berebut mainan atau hal sepele lainnya.

Aku tak mudah lupa, bila libur sekolah tiba, ia atau suaminya (kakak iparku) selalu menjemputku. Tak ada yang lebih menyenangkan selain menghabiskan waktu liburan bersama mereka, meski tinggal di rumah kontrakan yang sempit dan sederhana. Tangerang, selalu saja aku senang menyebutnya, mendengarnya, apalagi mendatanginya karena di sanalah perempuan hebat itu berada.

Setelah lulus sekolah, tak ada keinginan lain kecuali segera menyusulnya. Dialah yang selalu menyiapkan bekal, nasi bungkus, saat aku pertama kali bekerja di pabrik plastik dulu. Dia pula yang rela mengundurkan diri agar aku bisa bekerja di perusahaan farmasi yang tak mengijinkan kakak-adik sama-sama bekerja di sana.

Setelah aku berkeluarga, perhatiannya kepadaku sedikitpun tak berubah. Dia yang meminta salah satu penghuni kontrakannya untuk pindah agar tak ada alasan lagi aku menolak tinggal bersamanya. Terlalu berlebihan memang, tapi aku tahu, dia melakukan semua itu karena dia ingin membantuku. Dia selalu dan terlalu tahu dengan kesulitanku.

Perempuan itu, kebaikannya sulit sekali kutandingi. Ibarat kuberi seribu, maka ia akan membalasnya seribu lima ratus, terkadang malah dua ribu. Bahkan, ketika tak ada sesuatupun yang bisa kuberikan, 'kantong ajaibnya' tak pernah kehabisan untukku. Tak heran bila kedua anaknya terkadang merasa iri padaku. Sebenarnya siapa yang jadi anaknya, kira-kira begitu protes mereka.

Dalam kesulitan, dia selalu ada dan membantuku. Dalam kesedihan, dia selalu berusaha menghiburku. Saat aku terpuruk, dia yang membangkitkan semangatku. Saat aku tertatih, dia yang memapahku. Saat serangkaian ujian datang, dialah yang pertama hadir dan mendukungku. Dan ketika satu per satu ujian dapat kulalui, ketegaran, ketabahan ini bisa bertahan juga tak lepas dari keberadaannya, perempuan paling hebat di keluargaku, setelah ibu.

***

Untuk kakakku, perempuan paling hebat dalam keluargaku, setelah ibu. Jika selama ini, hanya ada tiga perempuan yang mendapat tempat istimewa di hatiku, maka dialah yang keempat, setelah ibuku, almarhumah istriku, dan terakhir anakku.

Aku tak pernah pandai mengungkapkan perasaan secara lisan, maka melalui tulisan ini aku ingin dia tahu, betapa aku mencintainya, menyayanginya. Aku sangat berterima kasih padanya. Ya Allah, kasihilah dia, berikan yang terbaik untuknya, lebih dari semua yang ia berikan padaku.

Februari 2011
Terinspirasi dari panggilan khas putriku, tadi pagi. “Bude, aku berangkat sekolah dulu!” Panggilan inilah yang kini sering kudengar setelah 'kepergian' umminya, Oktober tahun lalu.

Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri