Ahmad baru tiga hari bekerja di perusahaan yang memproduksi berbagai macam kabel di kawasan industri Tangerang. Sebagai karyawan baru, tentu saja Ahmad harus menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjanya, termasuk saat istirahat dan makan siang. Meski waktu istirahat sudah tiba dan catering untuk makan siang sudah disiapkan, Ahmad tetap menunggu rekan-rekan sekantornya istirahat dan makan siang bersama.
“ Nak Ahmad, silahkan nak Ahmad makan terlebih dahulu “ Pak Wawan yang meja kerjanya bersebelahan dengan Ahmad menyuruh Ahmad untuk makan siang lebih dulu karena masih ada sedikit pekerjaan yang harus segera diselesaikan.
“ Saya nunggu Bapak dan yang lainnya saja “ jawab Ahmad sopan.
“ Nak Ahmad mulai saja dulu, saya nanti menyusul. Ada laporan yang harus segera saya sampaikan kepada Pak Direktur “ pak Wawan tetap bersikeras agar Ahmad makan lebih dahulu, dia tahu kalau Ahmad sudah merasa lapar, sedang dia harus segera menyelesaikan laporan untuk bahan rapat usai istirahat nanti.
Ahmad masih diam di depan meja kerjanya. Dia tetap merasa sungkan jika harus makan siang terlebih dahulu sementara rekan-rekan sekantornya masih duduk di depan komputer masing-masing.
“ Sudahlah Mad, kamu makan siang dulu nanti kami menyusul“ Pak Hadi yang tahu kecanggungan Ahmad mencoba meyakinkan Ahmad agar makan siang terlebih dahulu.
Merasa tidak enak jika tidak menuruti saran mereka, ditambah karena rasa lapar yang memang sudah ditahannnya sejak tadi, akhirnya Ahmad mengambil satu rantang catering yang sudah disediakan pihak perusahaan. Di perusahaan ini memang untuk makan karyawannya, pihak manajemen memesan makanan dari catering diluar perusahaan. Tidak ada kantin perusahaan, makanan akan diantar ke kantor sebelum waktu istirahat tiba dan karyawan makan ditempat kerja masing-masing.
Setelah berbasa-basi, Ahmad pun menikmati makan siangnya dengan lahap. Tanpa ia sadari, pak Hadi yang mejanya berada tepat di depan meja Ahmad memperhatikan Ahmad yang begitu menikmati makan siangnya.
“ Kalau Ahmad mau, ambil saja jatah makan siang pak Ricky, Wendi atau Anto.. Mereka siang ini tidak makan dikantor, mereka sudah keluar kantor sejak catering datang “ ucapan pak Hadi mengagetkan Ahmad yang sedang menikmati makan siangnya.
Ahmad menghentikan suapannya,
“ Terima kasih pak, ini sudah cukup. Maaf, kalau boleh tahu mengapa mereka tidak makan siang di kantor Pak? “
“ Mereka mana mau makan siang dengan sayur lodeh, telor ceplok dan bakwan seperti itu “
“ Mereka tidak selera dengan menu seperti ini?”
“ Bukan lagi tidak selera, tapi mereka tidak doyan. Mereka selalu memilih makan di luar setiap kali ketemu menu seperti ini. Menurut mereka, makanan seperti ini hanya cocok untuk operator, bukan staff seperti mereka “ jawab pak Hadi tanpa bermaksud berghibah, tapi memang begitu kenyataannya.
Astaghfirulloh, apa yang baru saja dikatakan pak Hadi benar-benar membuat Ahmad terkejut. Hampir saja Ahmad tersedak, beruntung dia bisa menutupi kekagetannya. Tanpa bertanya lagi, Ahmad kemudian melanjutkan makan siangnya yang hanya tinggal sepertiganya. Tapi kali ini Ahmad tak lagi selahap sebelumnya. Ia terus memikirkan kata-kata pak Hadi soal ketiga rekan kerjanya. Berkali-kali ia beristighfar. Benarkah mereka memilih tidak makan siang di kantor hanya lantaran menunya yang menurut mereka tak pantas untuk pekerja kantoran? Diamatinya makanan didepannya, ia mencoba memastikan lagi dan tak ada yang salah, sepertinya semua makanan itu dimasak dengan bersih, rasanyapun lezat.
Kalau sekedar tidak selera, masih masih bisa ia maklumi. Ahmad sendiri sama sekali tidak berselera dengan masakan jengkol, meskipun banyak orang bilang kelezatannya sebanding dengan daging, paling tidak begitu pendapat mereka yang menyukai jenkol. Tapi ini bukan masalah selera, mereka benar-benar tak memandang sebelah matapun pada makanan itu. Astaghfirulloh, tidak sadarkah mereka bahwa apa yang tersaji untuk makan siang kali ini adalah juga rizki dari Allah. Tidak berpikirkah mereka bahwa meski hanya nasi, sayur lodeh, telor ceplok, sambal dan bakwan, tidak semua orang bisa menjumpainya siang itu, bahkan mungkin banyak orang yang tidak menjumpai makanan apapun sejak pagi tadi atau malah sejak sore kemarin.
Ahmad hampir menyelesaikan makannya, ketika dilihatnya pak Wawan dan pak Hadi sudah mulai makan siangnya. Dan di atas meja,di sudut kantor barunya itu, dia melihat tiga rantang katering yang ditinggal begitu saja oleh pemiliknya tanpa disentuh sedikitpun. Mubazir! Ahmad membatin, ia tak tahu harus berbuat apa terhadap ketiga rantang makanan itu. Dia makan jelas tidak mungkin, akan ia tawarkan kepada karyawan lain ia tak merasa berhak.
Akhirnya Ahmad berpamitan kepada pak Wawan dan pak Hadi yang masih lahap dengan makan siangnya untuk sholat zuhur berjamaah di masjid perusahaan. Sepanjang jalan menuju masjid, Ahmad masih terus memikirkan nasib ketiga rantang yang diacuhkan para pemiliknya. Kemana rasa syukur mereka, Ahmad membatin.
Catatan: semua nama tokoh bukanlah nama sebenarnya.
“ Nak Ahmad, silahkan nak Ahmad makan terlebih dahulu “ Pak Wawan yang meja kerjanya bersebelahan dengan Ahmad menyuruh Ahmad untuk makan siang lebih dulu karena masih ada sedikit pekerjaan yang harus segera diselesaikan.
“ Saya nunggu Bapak dan yang lainnya saja “ jawab Ahmad sopan.
“ Nak Ahmad mulai saja dulu, saya nanti menyusul. Ada laporan yang harus segera saya sampaikan kepada Pak Direktur “ pak Wawan tetap bersikeras agar Ahmad makan lebih dahulu, dia tahu kalau Ahmad sudah merasa lapar, sedang dia harus segera menyelesaikan laporan untuk bahan rapat usai istirahat nanti.
Ahmad masih diam di depan meja kerjanya. Dia tetap merasa sungkan jika harus makan siang terlebih dahulu sementara rekan-rekan sekantornya masih duduk di depan komputer masing-masing.
“ Sudahlah Mad, kamu makan siang dulu nanti kami menyusul“ Pak Hadi yang tahu kecanggungan Ahmad mencoba meyakinkan Ahmad agar makan siang terlebih dahulu.
Merasa tidak enak jika tidak menuruti saran mereka, ditambah karena rasa lapar yang memang sudah ditahannnya sejak tadi, akhirnya Ahmad mengambil satu rantang catering yang sudah disediakan pihak perusahaan. Di perusahaan ini memang untuk makan karyawannya, pihak manajemen memesan makanan dari catering diluar perusahaan. Tidak ada kantin perusahaan, makanan akan diantar ke kantor sebelum waktu istirahat tiba dan karyawan makan ditempat kerja masing-masing.
Setelah berbasa-basi, Ahmad pun menikmati makan siangnya dengan lahap. Tanpa ia sadari, pak Hadi yang mejanya berada tepat di depan meja Ahmad memperhatikan Ahmad yang begitu menikmati makan siangnya.
“ Kalau Ahmad mau, ambil saja jatah makan siang pak Ricky, Wendi atau Anto.. Mereka siang ini tidak makan dikantor, mereka sudah keluar kantor sejak catering datang “ ucapan pak Hadi mengagetkan Ahmad yang sedang menikmati makan siangnya.
Ahmad menghentikan suapannya,
“ Terima kasih pak, ini sudah cukup. Maaf, kalau boleh tahu mengapa mereka tidak makan siang di kantor Pak? “
“ Mereka mana mau makan siang dengan sayur lodeh, telor ceplok dan bakwan seperti itu “
“ Mereka tidak selera dengan menu seperti ini?”
“ Bukan lagi tidak selera, tapi mereka tidak doyan. Mereka selalu memilih makan di luar setiap kali ketemu menu seperti ini. Menurut mereka, makanan seperti ini hanya cocok untuk operator, bukan staff seperti mereka “ jawab pak Hadi tanpa bermaksud berghibah, tapi memang begitu kenyataannya.
Astaghfirulloh, apa yang baru saja dikatakan pak Hadi benar-benar membuat Ahmad terkejut. Hampir saja Ahmad tersedak, beruntung dia bisa menutupi kekagetannya. Tanpa bertanya lagi, Ahmad kemudian melanjutkan makan siangnya yang hanya tinggal sepertiganya. Tapi kali ini Ahmad tak lagi selahap sebelumnya. Ia terus memikirkan kata-kata pak Hadi soal ketiga rekan kerjanya. Berkali-kali ia beristighfar. Benarkah mereka memilih tidak makan siang di kantor hanya lantaran menunya yang menurut mereka tak pantas untuk pekerja kantoran? Diamatinya makanan didepannya, ia mencoba memastikan lagi dan tak ada yang salah, sepertinya semua makanan itu dimasak dengan bersih, rasanyapun lezat.
Kalau sekedar tidak selera, masih masih bisa ia maklumi. Ahmad sendiri sama sekali tidak berselera dengan masakan jengkol, meskipun banyak orang bilang kelezatannya sebanding dengan daging, paling tidak begitu pendapat mereka yang menyukai jenkol. Tapi ini bukan masalah selera, mereka benar-benar tak memandang sebelah matapun pada makanan itu. Astaghfirulloh, tidak sadarkah mereka bahwa apa yang tersaji untuk makan siang kali ini adalah juga rizki dari Allah. Tidak berpikirkah mereka bahwa meski hanya nasi, sayur lodeh, telor ceplok, sambal dan bakwan, tidak semua orang bisa menjumpainya siang itu, bahkan mungkin banyak orang yang tidak menjumpai makanan apapun sejak pagi tadi atau malah sejak sore kemarin.
Ahmad hampir menyelesaikan makannya, ketika dilihatnya pak Wawan dan pak Hadi sudah mulai makan siangnya. Dan di atas meja,di sudut kantor barunya itu, dia melihat tiga rantang katering yang ditinggal begitu saja oleh pemiliknya tanpa disentuh sedikitpun. Mubazir! Ahmad membatin, ia tak tahu harus berbuat apa terhadap ketiga rantang makanan itu. Dia makan jelas tidak mungkin, akan ia tawarkan kepada karyawan lain ia tak merasa berhak.
Akhirnya Ahmad berpamitan kepada pak Wawan dan pak Hadi yang masih lahap dengan makan siangnya untuk sholat zuhur berjamaah di masjid perusahaan. Sepanjang jalan menuju masjid, Ahmad masih terus memikirkan nasib ketiga rantang yang diacuhkan para pemiliknya. Kemana rasa syukur mereka, Ahmad membatin.
Catatan: semua nama tokoh bukanlah nama sebenarnya.