Sesungguhnya, ibarat audisi, kitalah sang juri. Ibarat dunia kerja, kitalah manager HRD nya. Sedang para caleg, merekalah peserta atau para pelamar, yang berharap kita mau menerimanya sebagai ‘karyawan’. Maka sudah semestinyalah, kita harus membuat satu keputusan tepat.
Mereka ( caleg ) yang ‘melamar pekerjaan’ pada kita, tak cuma satu, masing-masing berusaha meyakinkan kepada kita, bahwa mereka pantas, layak bahkan merasa sanggup mengemban amanah yang bakal kita percayakan padanya. Terkadang kita menjadi ‘bosan’ dengan cara mereka berpropaganda, risih dengan ‘ke pede an’ mereka, lalu kita menyamaratakan bahwa kebaikan yang mereka tawarkan terlalu dipaksakan. Tapi, yakinlah, diantara mereka ada yang baik. Di antara yang baik ada yang terbaik. Maka, yang terbaik itulah yang semestinya kita putuskan menjadi ‘karyawan’ kita, karena merekalah yang nantinya bekerja untuk kita. Merekalah nantinya yang akan kita ‘gaji’ atas tenaga dan pikiran mereka menjalankanl amanah kita. Jangan pertaruhkan masa depan kita, dengan sikap pasif atau ‘asal-asalan’.
Tak selamanya diam itu emas, karena ‘diam’ dalam pemilu bisa menjadi sebaliknya. Bungkamnya kita bisa saja menimbulkan peluang besar bagi mereka yang ‘kurang memenuhi syarat’ menjadi terangkat karena mereka yang layak dan memenuhi syarat tak mendapat dukungan dari kita.