Kalau bukan karena seseorang
menyentuh pundakku, rasanya aku masih
akan berdiri lebih lama di sana, tertegun menatap bukit terjal di depanku.
“Bagaimana caranya?” pertanyaan yang sama, untuk
orang yang berbeda.
Dua jawaban berbeda, memberiku kesimpulan yang sama.
Sulit, tidak mudah.
***
Dari nadanya bercerita, aku bisa merasakan kekesalan
dan kekecewaan yang dirasakan Anisa. Siang sebelumnya, ia mendatangi salah satu
kantor instansi pemerintah untuk merevisi beberapa data yang keliru di buku
nikahnya.
Salah penulisan
nama orang tua, pekerjaan Anisa dan tahun lahir adik bungsu Anisa - yang
menjadi wali nikah karena sang ayah sudah meninggal dunia - menjadi alasan mengapa
Anisa mendatangi kantor instansi pemerintah tersebut. Sayangnya, alih-alih
mendapat pelayanan yang memuaskan, Anisa justru dipersulit dan juga diintimidasi.
Sejak awal, petugas yang melayani sudah menunjukkan
tanda-tanda kurang menyenangkan. Berdalih sibuk, urusannya panjang hingga harus
revisi sampai ke tingkat provinsi, sang petugas malah balik menyalahkan Anisa.
Mengapa baru sekarang, tidak dari awal? Pertanyaan yang sebenarnya lebih tepat
ditujukan kepadanya. Sebelum ditanda tangani pimpinan, apakah petugas yang
memasukkan data ke buku nikah tidak memeriksa kembali, mencocokkan kebenaran
dan kelengkapan datanya?
Anisa urung membalikkan pertanyaan. Ia justru
meminta maaf, menceritakan kejadian yang sebenarnya. Saat Pak penghulu
menyerahkan buku nikah, ia maupun suaminya tak sempat memeriksa secara detail.
Mereka baru menyadari ada kekeliruan data setelah acara resepsi selesai
digelar. Hingga dua hari berikutnya, mereka masih sibuk dengan berbagai urusan.
Barulah di hari ketiga, Anisa mendatangi kantor tersebut yang hanya berjarak
ratusan meter dari tempat tinggalnya untuk meminta revisi. Itupun ia lakukan
sendiri karena sang suami sudah mulai bekerja sehari sebelumnya.
Meski sang petugas terus berusaha mengelak dengan
berbagai alasan, ditambah sikap yang kurang menyenangkan, Anisa tetap bertahan.
Kebenaran data itu penting, harus direvisi. Tidak semestinya sang petugas menolak
apalagi emosi. Kalau mau jujur mengakui,
sebenarnya keselahan ada di pihaknya. Dari awal mendaftar, data yang Anisa
berikan sudah lengkap dan benar, tertulis jelas dengan ketikan komputer. Jadi
tak ada alasan lagi, kecuali sang petugas yang khilaf, dan itu bisa Anisa
maklumi.
Sang petugas baru terdiam saat Anisa bersikap tegas.
Tanpa perlu menyebutkan pendidikan dan di mana ia bekerja, Anisa menyadarkan
sang petugas bahwa tidak selalu perempuan itu bodoh, dan bisa dibodohi. Kalau
sekedar rupiah yang diharapkan, tak usahlah banyak berdalih. Tunaikan dulu
kewajiban, nanti orang juga tahu bagaimana caranya berterima kasih.
Dalam hitungan menit, buku nikah yang katanya baru
bisa direvisi setelah melalui tahapan yang panjang dan lama, sampai harus
melaporkan ke kantor provinsi segala, sudah kembali berada di tangan Anisa.
Sebelum berpamitan, Anisa memeriksa kembali apakah perbaikan yang telah dilakukan
sudah sesuai, tidak ada yang perlu direvisi lagi.
***
Tidak mudah mencapai puncak bukit yang terjal,
melewati jalan sempit berliku, sambil membawa jenazah. Itu kesimpulanku, atas
penjelasan dua orang yang ku tanya, persis seperti dugaanku sebelumnya. Ini
terjadi saat aku dan enam orang rekan kerja lainnya bertakziah ke daerah
Kuningan, Jawa Barat, beberapa bulan yang lalu.
Salah satu rekan kerja kami meninggal setelah kurang
lebih tiga bulan berjuang melawan penyakit yang menyerang organ bagian dalam
tubuhnya. Tapi bukan itu yang menjadi pembahasan tulisan ini. Dari lokasi
pemakaman almarhum yang berada di atas bukit, aku mendapatkan sebuah kesadaran
bahwa selain sebagai individu, kita adalah makhluk sosial yang membutuhkan
orang lain. Bahkan sampai kita telah meninggal dunia, kita masih ‘merepotkan’
orang lain. Karenanya, berbuat baik, membantu dan menolong sesama menjadi
kewajiban selama badan masih bernyawa.
Kalau bisa dipermudah, kenapa dipersulit? itu yang
sering kita dengar, dan semestinya memang demikian. Tapi sebagian orang - untuk
kepentingan pribadi - justru sengaja membaliknya, kalau bisa dipersulit, kenapa
dipermudah? Salah satunya adalah oknum pegawai seperti yang diceritakan di
atas. Demi menutupi kesalahan, ia justru memanfaatkan kesempatan dalam
kesempitan, coba mencari keuntungan dari kesusahan orang lain. Demi sedikit
keuntungan, sang oknum pegawai salah satu instansi pemerintah tersebut sengaja menciptakan
kesan sulit dan rumit atas sesuatu yang sebenarnya tidak demikian.
Dalam kejadian di atas, mengambil jalan pintas
bukanlah yang dimaksud. Anisa tidak meminta sang petugas untuk mengambil jalan pintas,
ikuti saja prosedur yang ada. Bukankah tidak dibuat sebuah prosedur kecuali
untuk memperjelas dan mempermudah sebuah urusan. Tapi sang oknumlah yang
sengaja mempersulit urusan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Janganlah mempersulit sesuatu yang sebenarnya mudah.
Ingat, siapapun kita, tak bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Ada saatnya
kita membutuhkan orang lain sehingga tolong menolong, bantu membantu hanyalah
soal waktu. Kita membutuhkan orang lain bukan saja ketika masih bernyawa,
setelah matipun kita membutuhkan mereka, untuk memakamkan jenazah kita.
Masih berfikir untuk mempersulit urusan orang lain?
Coba bayangkan, kita meninggal di satu tempat yang pemakamannya berada di atas
bukit yang jalan menuju ke sana begitu terjal dan sempit, bisakah jenazah kita
sampai di sana tanpa bantuan orang lain? Ingat, di tanah yang datar sekalipun,
tidaklah mungkin kita menguburkan mayat kita sendiri. Kita membutuhkan bantuan
orang lain. Jadi, jangan pernah berfikir untuk mempersulit urusan orang lain,
apalagi yang sebenarnya mudah dan sederhana. Kalau bisa dipermudah, kenapa
dipersulit? Jangan sebaliknya, kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah?