Dari Abu Hurairah RA, Sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda : Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga, dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. (HR. Bukhari/Muslim).
Memuliakan tamu, aku rasa kita semua tahu apa maksudnya. Bukan melulu berurusan dengan makanan dan minuman sebagai suguhan, tapi yang tak kalah penting adalah sambutan dan pelayanan terbaik yang kita berikan, agar sang tamu merasa senang, nyaman, dan silaturahmi menjadi lebih berkesan. Memuliakan tamu, semestinya tidak pilih-pilih, tua muda, miskin kaya, pejabat ataupun rakyat biasa, apalagi bila kedatangan mereka memang sengaja kita yang mengundangnya.
Namun terkadang niat memuliakan (menyenangkan) tamu dilakukan dengan cara-cara yang keliru. Seperti kejadian yang kutemui saat mendatangi sebuah undangan resepsi pernikahan beberapa waktu yang lalu. Karena istri sedang ada keperluan lain, maka aku mendatangi undangan resepsi pernikahan itu seorang diri.
Siang itu para tamu yang hadir cukup banyak, meski tak satupun dari mereka yang kukenal. Beberapa pria berseragam batik tersenyum ramah menyambut setiap tamu yang datang. Melihat keramahan mereka, rasa canggungku sedikit berkurang. Namun sayang, untuk acara resepsi pernikahan yang menurutku cukup mewah dan meriah ini tidak dipisahkan antara tamu pria dan wanita, sama seperti acara resepsi pada umumnya (menyedihkan, tapi begitulah adanya dan biasanya). Kulihat memang ada dua pintu masuk menuju lokasi, tapi bukan untuk membedakan pintu masuk pria maupun wanita, melainkan sekedar pintu bagi para tamu yang datang dari sebelah kiri dan kanan saja.
Memasuki lokasi resepsi, kulihat di sebelah kanan terdapat panggung utama, tempat sang pengantin dan juga keluarga dari kedua belah pihak menerima para tamu yang datang memberikan ucapan selamat. Di tengah-tengah, terdapat dua baris meja panjang dengan berbagai menu makanan yang menggugah selera tersaji di sana. Dan, di sebelah kiri, kulihat sebuah panggung berukuran sedang yang kalau dilihat isi dan spanduk yang terbentang di bagian belakang, kutahu itu adalah panggung hiburan, sebagai pelengkap suguhan shahibul hajat kepada para tamu undangan. Saat itu suasana panggung sepi, entah sedang istirahat atau malah belum mulai sama sekali.
Aku berjalan menuju panggung utama, antri bersama dengan tamu undangan lainnya yang ingin mengucapkan selamat kepada kedua mempelai dan juga pihak keluarga. Agak risih juga ketika harus berdiri di tengah-tengah undangan pria dan wanita yang mengenakan pakaian dan dandanan beraneka rupa. Aku coba alihkan perhatian kepada kedua mempelai yang terlihat sangat bahagia. Usai mengucapkan selamat kepada kedua mempelai dan juga keluarga, semua undangan diarahkan untuk segera mencicipi hidangan yang telah tersedia. Aku mengambil nasi dan lauk kesukaanku dan duduk tak jauh dari panggung hiburan.
Bukan, bukan maksud agar bisa melihat jelas para artis yang nantinya akan menghibur, tapi karena tempat itulah yang kurasa paling aman, tak bercampur dengan tamu undangan wanita. Namun rupanya, inilah awal ‘penderitaanku’ yang mendasari tulisan ini. Saat aku datang sampai mengambil makanan, suasana panggung hiburan sepi, hanya ada satu orang duduk di belakang keyboard, sang artis entah ke mana tak aku pedulikan. Tapi saat aku baru menghabiskan separuh nasiku, tiba-tiba dua orang wanita tampil di atas panggung dengan dandanan yang, Astaghfirullah!, sungguh, menyesal aku telah mendongakan pandanganku.
Aku tak menghiraukan kehadiran dua artis di atas panggung itu dan mencoba menikmati sisa makanku. Namun sayang, selera makanku telah terlanjur menguap, hilang bersama dengan hadirnya dua penyanyi di atas panggung. Aku benar-benar tak bisa meneruskan makanku, ketika salah satu dari mereka menyanyikan sebuah lagu. Bukan lagunya yang membuatku tak tertelan makan, tapi cara dia menyanyikannya, suara, dan gerak tubuhnya. Tak ada keindahan, kecuali sekedar mengundang nafsu rendahan.
Aku tak mau mempermasalahkan adanya hiburan di acara resepsi pernikahan yang kuhadiri siang itu. Ini bukan yang pertama kali, bahkan hampir di setiap acara seperti ini, musik hiburan selalu jadi bagian yang seakan tak bisa dihilangkan. Paling tidak, suara musik dari tape atau vcd player selalu memeriahkan acara yang katanya sebuah syukuran. Tapi, bila hiburan yang disuguhkan adalah hiburan yang mengundang nafsu rendahan, aku jadi berfikir, apakah ini yang dimaksud memuliakan ataukah justru memalukan? Astaghfirullah, aku tak mau menghakimi meskipun itu yang nyata terlihat. Barangkali, maksud tuan rumah adalah untuk memeriahkan suasana, menyenangkan hari para tamu yang datang, namun caranya saja yang keliru.
Aku batalkan niatku untuk menikmati buah segar yang tersedia di meja tak jauh dari tempat dudukku. Juga ketika kulihat beberapa orang yang kukenal datang, aku urungkan niatku untuk menyapa dan berbincang dengan mereka. Nyanyian dan tarian sang biduan sudah memberikan alasan bagiku untuk segera meninggalkan tempat itu, secepatnya! Usai memasukan angpao, aku segera berpamitan kepada kedua mempelai dan segera berlalu dengan sebuah tanda tanya besar. Benarkah setiap tamu yang datang menginginkan adanya hiburan, ataukah ini hanya prasangka dan tanpa sadar mengikuti perangkap setan belaka?