Di perusahaan ini, aku bukanlah satu-satunya karyawan yang sama-sama berasal dari Kebumen. Ada belasan karyawan lain yang juga berasal dari sana. Tapi entah mengapa, sejak pertama dia masuk kerja di perusahaan ini empat tahun silam, seolah dia hanya akrab denganku.
Semula aku mengira sebagai karyawan baru dia hanya butuh sosok seorang teman sedaerah sebelum akhirnya dia bisa menyesuaikan diri dengan pekerjaannya, lingkungan dan rekan-rekan kerja lainnya. Tapi kenyataannya tidak, dia menganggapku sebagai kakak bukan saja di awal bekerja atau di lisan saja.
Dua tahun yang lalu, sahabatku ini akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan tempat kami bekerja karena ada tawaran kerja di daerah Cikarang dengan tawaran gaji dua kali lipat. Sebagai sahabat, aku mendukung penuh meskipun ada perasaan sedih juga harus berpisah dengannya. Ada banyak kenangan indah dan mengharukan yang telah kami lalui bersama.
Ketika kami dari pengurus DKM perusahaan mengadakan undangan pengajian yang rencananya diakanan setiap hari Jum’at sore dua kali dalam sebulan, dialah satu-satunya operator dari departemenku yang datang. Dia pulalah yang dulu sering pulang kerja berboncengan sepeda denganku. Meski banyak yang menawarinya membonceng motor, namun dia lebih memilih membonceng sepeda ontelku. Ini yang membuatku terkadang merasa menyesal, ketika aku berganti kendaraan, justru jadwal kerja kami berubah. Kami tak lagi bisa pulang kerja bareng, dan tentunya dia tak sempat merasakan empuknya boncengan motorku.
Setelah dia berpindah kerja di Cikarang, persahabatan kami tidak menjadi putus karenanya. Kami terus berkomunikasi. Ketika ada uneg-uneg, dia kerap berbagi denganku, lebih sering dibanding dia berbagi dengan ketiga kakaknya yang tinggal di Tangerang. Kami memang jadi jarang bertemu karena di tempat kerjanya yang baru dia sering kerja lembur. Alhamdulillah, aku ikut senang mendengarnya. Jangan lupa jaga kesehatan, selalu kuselipkan pesan itu setiap kali kami berbicara melalui telepon.
Sahabatku ini secara fisik memang memiliki ukuran lebih kecil dariku, namun semangat dan kegigihannya jauh melebihiku. Sejak awal merantau dia selalu berusaha untuk mandiri. Sebagai anak bungsu, dia tak pernah mengandalkan kakak-kakak ataupun ayahnya yang juga bekerja sebagai satpam di Jakarta. Sebagai sahabat, dia memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Sangat tinggi malah. Salah satu bentuknya adalah aku seringkali mendapat bantuan dan juga pinjaman uang darinya. Di saat-saat aku mengalami kesulitan keuangan, diluar saudara dialah yang paling sering menjadi rujukan utama. Tak pernah mengecewakan, begitulah setiap kali aku membutuhkan bantuan darinya. Semangatnya membantu melebihi aku yang justru datang dengan perasaan malu. “ Jangan malu, pokoknya selagi saya ada rejeki pasti saya akan bantu. Butuh berapa, mau ta transfer sekarang? “ itulah kalimat standardnya ketika aku mulai menunjukan bahwa saat itu aku membutuhkan bantuan. Dan kenyataannya, bukan hanya sebatas omongan. Dalam waktu singkat, rekening tabungankupun kembali terisi dan senyum lega kembali bisa menghias wajahku. Senyum bahagia sekaligus malu.
Tahun lalu, dia mencoba mengajak membuka usaha kecil-kecilan bersamaku. Aku yang sebelumnya sama sekali tak memiliki pengalaman di dunia usaha, jelas tak langsung mengiyakan ajakannya. Terlebih aku tak memiliki modal untuk itu. Namun dia tetap ‘ngotot’ mengajak berbisnis denganku. Semua modal dia yang tanggung, selebihnya dia pasrahkan sepenuhnya padaku. Dan soal keuntungan, berapapun hasilnya akan dibagi dua, fifty-fifty. Kalau sampai rugi, dia sama-sekali tak akan menyalahkan aku sebagai pelaksana usaha. Subhanallah, sebuah kepercayaan yang tak mudah didapatkan dari sembarang orang dan sangat sayang untuk dilewatkan. Bismillah, akhirnya usaha pertama kamipun dimulai.
Allah sudah menyiapkan rejeki kita, tinggal bagaimana kita menjemputnya. Tanpa kami sangka, usaha pertama kami mendapat respon cukup baik. Keraguanku saat mencoba memulai usaha ini terhapus sudah. Usaha yang kami jalani saat itu memang masih untuk jangka pendek, namun alhamdulillah kami mendapat keuntungan yang lumayan besar menurut ukuran kami. Sesuai kesepakatan, maka keuntungan yang didapat dibagi dua.
Sebenarnya, setelah usaha pertama kami berjalan, sahabatku ini berkeinginan melanjutkan usaha ini untuk jangka panjang. Namun karena ada hal lain yang perlu aku tangani, akhirnya usaha kami sempat terhenti. Dan baru beberapa bulan ini kami mencoba untuk memulai kembali usaha kecil-kecilan kami. Dengan format yang sama. Dia penyandang dananya, sementara pelaksanaan sepenuhnya dipercayakan kepadaku. Dan, Alhamdulillah pula, awal usaha kami yang kedua ini cukup baik. Mudah-mudahan semua berjalan sesuai rencana. Ada tanggung jawab besar dan kepercayaan yang harus ku jaga.
Semua yang berlaku di dunia ini adalah atas kehendak dan ketetapan Allah. Tak ada sesuatupun yang terjadi tanpa sepengetahuan dan seizin Allah. Tadi pagi, disaat aku hampir menyelesaikan pekerjaan pertamaku, sahabatku ini menelpon. Dia mengatakan bahwa untuk sementara usaha yang baru kami rintis kembali ini kemungkinan akan ditunda dulu. Dia meminta pendapatku bagaimana caranya dia mengatakan pada atasannya. Dia ingin meminta cuti dari pekerjaan selama dua sampai tiga bulan. Dia butuh istirahat total untuk penyembuhan penyakitnya. Begitulah saran yang disampaikan sang dokter beberapa saat sebelum dia akhrinya menelponku.
Tanganku gemetar menggenggam handphone, untuk beberapa saat lamanya aku tak bisa menjawab apa-apa. Aku kaget, aku shock. Bukan soal tertundanya bisnis yang sedang kami rintis, tapi kabar bahwa dia dirawat di rumah sakit itulah yang membuatku tersentak. Aku masih menyimpan smsnya ketika aku mengabarkan mengenai usaha yang kami jalankan juga meminta saran dan pendapatnya. Tak ada satupun yang menyinggung bahwa dia sedang sakit, bahkan harus di rawat inap.
Ah, saudaraku. Mengapa kau melakukan semua itu. Jika kau menganggapku sebagai kakak, mengapa tak kau beri aku kesempatan memperlakukanmu sebagai adik. Mengapa kesusahanku kau jadikan tanggunganmu, tapi sebaliknya kau sembunyikan sakitmu dariku. Sahabatku, apa yang membuatmu merasa malu, aku tak pernah merasa direpotkan jika seandainya dari awal kau memberitahuku perihal sakitmu. Sahabatku, aku malu. Malu pada diriku, terlebih padamu. Aku malu, meski kau tak bermaksud membuatku begitu. Rupanya denganku kau hanya ingin berbagi suka, bukan duka.
Sahabatku, barangkali kehadiran fisikku tak mampu mengobati sakitmu namun aku berharap doaku dikabulkan Allah swt, agar kau segera diberikan kesembuhan. Tetaplah sabar dan sadar adikku, apapun sakit yang kini kau derita, semua atas kehendak Allah. Terimalah dengan ikhlas, tetaplah semangat dan berpikir positif. Allah menyayangimu, Allah mencintaimu. Dia berikan sakit pada tubuhmu, karena Dia ingin menghapus salah dan khilafmu. Allah Maha Tahu, mana yang terbaik untukmu. Allah menginginkan kau berhenti sejenak dari segala kesibukanmu, kau butuh mengistirahatkan tubuhmu.
Saranku untukmu adikku, sama seperti yang disampaikan dokter dan keluargamu. Utamakan kesehatanmu, karena dengan sehatmu kau bisa berbuat banyak. Dengan sehatmu kau bisa beribadah dengan lebih khusyuk. Dengan sehatmu, kau bisa menjemput rizki yang telah Allah persiapkan untukmu.
Untuk ‘adik’ ku yang kini tengah istirahat di Kebumen. Cepat sembuh adikku, aku selalu mendo’akanmu……………