Bulan Dzulhijjah, ada yang menyebutnya bulan haji karena di bulan inilah dilaksanakannya ibadah haji. Namun ada pula sebagian orang yang mengistilahkan bulan Dzulhijjah sebagai bulan perkawinan atau hajatan. Hal ini bisa diterima secara nalar karena memang di bulan Dzulhijjah banyak pasangan yang melangsungkan pernikahan sekaligus hajatan. Sampai pertengahan bulan saja, tak kurang dari lima undangan walimahan datang kepadaku. Alhamdulillah, banyak orang yang mengikuti sunnah nabi, menggenapkan separuh agamanya. Semoga mereka dijadikan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rohmah. Dan kepada keluarganya yang telah bekerja keras mengadakan resepsi pernikahan semoga Allah memberikan keberkahan. Amin ya Allah ya robbal alamin.
Adalah para pengusaha sewa tenda, sound system, peƱata rias dan juga pengusaha hiburan yang ikut mendapat berkah dari banyaknya orang yang mengadakan hajatan di bulan Dzulhijjah. Hampir sepanjang bulan jasa mereka selalu dipakai dalam berbagai acara hajatan, hingga terkadang ada beberapa permintaan yang tak mereka terima karena waktunya yang bersamaan. Selain para penyedia jasa tersebut, ada sebuah tim kepanitiaan yang berperan penting dalam sukses tidaknya sebuah hajatan. Shohibul hajat biasanya menyerahkan sepenuhnya kepada panitia hajatan yang sudah dibentuknya jauh-jauh hari. Di luar semua itu, ada juga yang tidak tercantum dalam daftar kepanitiaan namun keberadaanya dianggap penting oleh sohibul hajat maupun panitia hajat itu sendiri. Dialah ‘pawang hujan’. Keberadaan pawang hujan bagi beberapa orang yang hendak menyelenggarakan hajatan dirasa penting mengingat bulan Dzulhijjah tahun ini bertepatan dengan datangnya musim hujan.
“ Apa tuan rumah tidak minta bantuan sama Ki xxx agar tidak turun hujan sepanjang hari ini ?” tanya seorang laki-laki separuh baya yang berdiri disamping kananku kepada salah satu anggota panitia hajatan, saat kami berteduh di teras rumah tetangga sohibul hajat. Sore itu hujan turun dengan derasnya, malah disertai kilat dan petir yang menggelegar. Tenda mewah warna putih dan merah memang mampu menghalangi air hujan bagi para tamu undangan, namun tak mampu mengatasi air yang menggenang di bawahnya. Aku dan beberapa tamu yang datang sore itu terpaksa harus berdiri berdesakan di teras salah satu rumah kerabat shohibul hajat.
Kembali pada pertanyaan lelaki separuh baya tadi, sepertinya dia menyebut nama seseorang yang sudah dikenal luas sebagai pawang hujan. Aku berharap, panitia berseragam batik lengan panjang di sebelahnya menjawab dengan tegas bahwa hajatan yang digelar hari itu tanpa campur tangan segala macam pawang. Namun, aku harus kecewa karena sepertinya pihak panitia menggunakan jasa orang yang dimaksudkan tadi.
“ Sudah Pak, kami sudah meminta bantuan pada beliau. Shohibul hajat juga sudah dikasih tahu agar tidak mandi sepanjang hari ini, dan ( maaf ) pakaian dalam shohibul hajat juga sudah dibuang ke atap rumah, tapi kok tetap hujan juga ya ?” jawab anggota panitia itu memupuskan harapanku.
Astaghfirulloh! Aku tidak menuduh seratus persen bahwa panitia maupun shohibul hajat telah melakukan perbatan syirik dengan meminta bantuan seorang dukun , pawang atau apapun sebutannya untuk menyukseskan hajatan mereka hari itu. Bagaimanapun mereka pasti berasalan itu hanyalah sebuah ikhtiar atau usaha mereka. Namun, ketika dia mengatakan adanya ‘ritual’ yang mereka lakukan yaitu dengan melarang shohibul hajat untuk mandi sepanjang hari, juga membuang pakaian dalam shohibul hajat ke atap rumah, rasanya sulit untuk mengatakan kalau yang mereka lakukan tidak masuk ke dalam perbuatan syirik. Shohibul hajat, adalah orang yang mengundang tamunya untuk datang, apakah dengan tidak mandi merupakan satu bentuk penghormatan?. Tamu boleh jadi tidak tahu apakah tuan rumah mandi atau tidak, tapi bukankah Islam mencintai kebersihan hingga rosululloh pernah bersabda bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman?. Dan, melempar pakaian dalam ke atap rumah, apakah ada kaitannya dengan hujan? Entahlah, mungkin karena keterbatasan ilmu yang kumiliki, sampai saat ini aku tak pernah bisa mengerti akan hal ini.
Semestinya, apabila sesorang memiliki hajat, maksud dan tujuan, hanya kepada Allahlah dia meminta bantuan dan pertolongan. Meminta tolong dan bantuan kepada Allah jelas memiliki aturan dan tata cara yang sudah dicontohkan oleh nabi kita, Muhammad SAW. Kita harus berdoa dengan sungguh-sungguh dan dari jauh-jauh hari serta persiapan secara menyeluruh. Kita tidak bisa meminta secara instant, hari ini hajatan maka baru kemarin kita berdoa. Kita juga harus memastikan bahwa acara yang akan kita selenggarakan tidaklah mengandung perbuatan maksiat atau sesuatu yang dilarang agama. Jangan sebuah hajatan yang dimaksudkan sebagai bentuk syukuran malah diwarnai dengan acara-acara yang justru sama sekali tidak menunjukan rasa syukur kecuali perbuatan kufur. Ini yang sering terjadi di masyarakat kita, kita maunya serba instant atau kita melakukan bentuk syukuran namun didalamnya ada kemaksiatan.
Kembali ke soal pawang hujan, apa yang terjadi sore itu sebenarnya adalah jawaban ‘blak-blakan’ atas ketidakberdayaan sang pawang melawan kekuasaan Allah. Memang, terkadang keampuhan pawang ini seolah menjadi benar lantaran hajatan bisa digelar tanpa turun hujan sepanjang hari, meski hajatan diadakan di musim penghujan sekalipun. Hal seperti inilah yang kemudian memancing orang untuk percaya. Namun siapa yang bisa memastikan bahwa tidak turunnya hujan sepanjang hari itu adalah murni hasil ‘munajat’ sang pawang?.
Musim hujan bukan berarti sepanjang hari sepanjang bulan hujan terus turun tiada henti. Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemurah. Allah Maha Rahmat, Allah menurunkan hujan kapan dan di mana dengan rahmat Nya. Hal lain adalah, sangat mungkin tidak turunnya hujan sepanjang hari itu adalah ‘campur tangan’ jin yang membantu kerja sang pawang sehingga dengan demikian sukseslah mereka memperdaya orang-orang yang keimanannya masih lemah. Tipu daya setan adalah jika hari itu mereka berhasil membuat hajatan berlangsung tanpa hujan, maka selanjutnya jika akan melaksanakan hajatan, kembali sang pawang ( dan juga mereka para jin ) akan diminta bantuannya. Astaghfirulloh!
Percakapan antara tamu dan panitia hajatan sore itu bukanlah yang pertama kali kudengar. Telah berkali-kali bahkan sering kali kudengar. Satu hal yang tak kumengerti, mengapa hal ini seolah menjadi hal tak terpisahkan dari sebuah hajatan. Tidak semua, tapi kenyataannya masih ada yang melakukannya. Sangat disayangkan jika sebuah hajatan yang tujuannya sebagai wujud syukuran, ternyata didalamnya terdapat acara maksiat bahkan sampai menggadaikan keimanan dengan melakukan perbuatan yang mengarah pada kemusyrikan.
Pawang hujan yang dimaksud disini adalah mereka yang sesungguhnya adalah seorang dukun yang bekerja sama dengan jin dalam setiap pekerjaannya. Tidak mungkin jika seorang yang suci menyebut dirinya sebagai pawang. Ada perbedaan nyata antara orang suci dan seorang dukun dalam setiap tindakannya. Seorang yang suci melakukan usaha dengan jalan dan tata cara yang diatur oleh agama dan hanya bersandar kepada Allah swt, sedang para dukun melakukan pekerjaannya dengan bantuan jin dan tak jarang melalui sebuah prosesi yang ‘nyeleneh’.
Aku tak pernah menyalahkan shohibul hajat ataupun panitia jika hujan tiba-tiba turun ditengah hajatan, termasuk hujan yang mengguyur deras sore itu dan membuat celana panjang baruku kotor. Dan semua tamu undanganpun akan memakluminya. Sangat wajar jika turun hujan karena memang sedang musim hujan. Tak mungkin kita menyalahkan hujan, karena dengan begitu sama artinya kita menyalahkan Allah, sang pembuat hujan.
Saudaraku, masihkah kau akan berfikir untuk meminta selain kepada Allah untuk menyukseskan hajatanmu? Wahai yang mengaku mampu mengendalikan hujan, apa yang bisa kau katakan jika hujan tiba-tiba turun dengan lebat ditengah meriahnya sebuah hajatan? Semua terjadi atas kehendak Allah. Hanya kepada Allahlah seharusnya kita menyembah dan meminta pertolongan.