Mushola Baiturrohiim adalah mushola kebanggaan kami, warga RW 06, tampat ‘favorit’ kedua setelah rumah kontrakanku. Jika sebagian tetanggaku melewati sore hari dengan menonton televisi atau berkumpul di teras rumah salah seorang tetangga hingga menjelang malam, maka aku lebih memilih berkumpul dengan saudara-saudaraku yang ada di mushola Baiturrahim ini.
Hampir setiap hari, selesai sholat Maghrib kami tidak langsung pulang ke rumah. Kami berkumpul untuk mengaji Al Quran. Selebihnya jika masih ada waktu, kami biasa saling berbagi cerita hingga waktu sholat Isya tiba.
Saudara-saudaraku ini adalah mereka para jamaah mushola yang tinggal di sekitar mushola. Mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda, ada yang dari Jawa, Sumatra namun sebagian besar adalah penduduk asli Tangerang. Umur mereka sebagian besar jauh diatasku, hanya beberapa yang seumuran denganku.
Dari jamaah musholla banyak sekali aku mendapat pelajaran berharga, yang memberiku semangat, inspirasi dan nasihat bijak dalam menjalani kehidupan. Juga pelajaran yang menggugah keimanan dan memberiku semangat untuk beribadah, mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Misalnya dari pak Didi, melalui rumus 90 langkahnya menuju musholla setiap pagi menjelang shubuh sebelum jamaah lainnya datang dalam kondisinya yang gelap gulita karena pengliatannya yang sudah tak berfungsi, menyadarkanku betapa besar nikmat yang Allah berikan melalui penglihatanku.
Juga dari pak Nana ( bukan nama sebenarnya ), banyak hal yang bisa aku jadikan untuk mengukur diri, seberapa besar rasa syukur yang sudah aku wujudkan, bukan sekedar syukur dalam lisan. Dan mengukur seberapa jauh ketekunanku beribadah, menjalankan segala perintah Nya dan menjauhi segala larangan Nya.
Pak Nana, lelaki kelahiran Bogor ini dimataku adalah jamah yang istimewa. Lelaki berumur 50 tahun ini berbeda dengan jamaah lainnya, beliau kini hanya memiliki satu kaki setelah kecelakaan lalu lintas memaksanya merelakan kaki kirinya di amputasi hingga batas lutut. Sungguh, bukan untuk membeberkan kekurangan fisik beliau, tapi justru dari situlah aku mendapat kekuatan dan semangat untuk lebih tegar menghadapi hidup dan berusaha lebih tekun beribadah dengan kondisiku yang alhamdulillah lebih beruntung dibanding dengannya.
Pak Nana adalah karyawan sebuah perusahaan produsen obat nyamuk, tak jauh dari tempat tinggal kami. Sampai saat ini sudah hampir 30 tahun beliau bekerja di sana. Dulu, sebelum tragedi kecelakaan menimpanya, beliau adalah kenek mobil box yang bertugas menemani sang sopir mengantar hasil produksi ke berbagai kota. Sebuah kecelakaan di jalan tol telah merenggut kaki kirinya, 22 tahun lalu ketika beliau masih lajang.
Diantara duka dan laranya, pak Nana muda ini melewati hari-harinya dengan penuh kepasrahan dan keikhlasan. Selain memberikan santunan, pihak perusahaan juga masih memperbolehkan pak Nana bekerja meski kondisinya berbeda dengan karyawan lainnya, sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya.
Adalah kebesaran Allah SWT, meski cacat, meski berbeda dengan lainnya, pak Nana muda ini akhirnya dipertemukan jodohnya dengan seorang gadis asal Pandegelang. Sang istri menerima pak Nana dan keadaan fisiknya dengan penuh keikhlasan. Mereka kini sudah dianugerahi empat orang anak, kesemuanya laki-laki. Mereka tinggal di rumah kontrakan yang sebagian mereka gunakan sebagai warung kecil-kecilan untuk menambah penghasilan pak Nana yang boleh dibilang tidaklah besar, cukup untuk menghidupi istri dan keempat anaknya secara sederhana.
Pak Nana adalah sosok lelaki tangguh, begitulah beliau dimataku. Beliau adalah lelaki yang penyayang, penuh tanggung jawab juga seorang hamba yang taat beribadah. Kegigihannya menghidupi keluarga beliau tunjukan dengan tetap bekerja meskipun kemana-mana beliau harus dibantu dengan penopang kayunya. Sebagai sesama jamaah musholla, aku tahu persis ketekunan beribadah beliau.
Satu yang selalu membuatku kagum, hingga menjadikan satu kekuatan yang mendorongku untuk berbuat lebih giat dalam beribadah, adalah ketika setiap kali aku melihat pak Nana mendatangi musholla dengan berjalan tertatih, dibantu penopang kayunya. Kemudian dengan kegigihannya, kulihat beliau berusaha untuk menyempurnakan wudhunya. Bukan perkara mudah untuk beliau bisa membasuh kakinya yang kini tinggal sebelah. Tapi beliau tak pernah menyerah, beliau punya cara sendiri untuk membasuh kakinya dengan bantuan penopang kayunya. Subhanallah, aku selalu berdecak kagum, terharu setiap melihat beliau berwudhu. Meski repot, meski harus bersiap jika terpeleset di lantai yang licin, namun beliu tak pernah menyerah, baginya adalah yang penting bisa sholat, bermunajat kepada Allah dalam keadaan suci.
Tak berhenti rasa haru ini, rasa kagum ini, aku semakin takjub setiap kali melihat pak Nana memasuki mushola dengan cara meloncat-loncat diatas satu kakinya. Bukannya tak ada jamaah yang peduli,tapi beliau lebih senang jika tak merepotkan orang lain. Tanpa bantuan penopang kayunya lagi, beliau memasuki mushola dengan lincah dan tak khawatir terpeleset. Subhanallah, hatiku selalu terharu melihat ini, meskipun ini bukan yang pertama kali, mungkin ratusan bahkan ribuan kali. Dan ketika sampai didalam musholla, pak Nana selalu sholat dengan berdiri, diatas satu kakinya. Subhanallah. Meski kondisinya memberikan keringanan bagi beliau untuk sholat dengan duduk, namun beliau tidak mau menjadi cengeng. Dengan kokoh beliau sholat diatas kaki kanannya. Subhanallah, hati yang mana yang tak tersentuh melihat seperti ini. Begitulah yang kulihat, dan juga jamaah lainnya, sebuah pelajaran berharga kami dapatkan deri pak Nana yang mungkin ia sendiri tak menyadarinya.
Sungguh, kami tiada mencela pak Nana dengan keterbatasannya, bagaimanapun kondisi yang kini beliau hadapi adalah kehendak Allah SWT. Justru kami merasa mendapatkan pelajaran berharga, pelajaran tentang keteguhan hati seorang yang memiliki kekurangan fisik serta ketekunannya beribadah dengan segala keterbatasan fisik yang ada padanya.
Pak Nana, maaf jika aku menulis ini dan berbagi dengan yang lain, sungguh tiada niat hati untuk merendahkanmu, justru aku ingin orang lain mengambil hikmah dan pelajaran darimu tentang nilai keikhlasan yang engkau tunjukan, juga ketekunan beribadah yang engkau jalankan.
Hampir setiap hari, selesai sholat Maghrib kami tidak langsung pulang ke rumah. Kami berkumpul untuk mengaji Al Quran. Selebihnya jika masih ada waktu, kami biasa saling berbagi cerita hingga waktu sholat Isya tiba.
Saudara-saudaraku ini adalah mereka para jamaah mushola yang tinggal di sekitar mushola. Mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda, ada yang dari Jawa, Sumatra namun sebagian besar adalah penduduk asli Tangerang. Umur mereka sebagian besar jauh diatasku, hanya beberapa yang seumuran denganku.
Dari jamaah musholla banyak sekali aku mendapat pelajaran berharga, yang memberiku semangat, inspirasi dan nasihat bijak dalam menjalani kehidupan. Juga pelajaran yang menggugah keimanan dan memberiku semangat untuk beribadah, mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Misalnya dari pak Didi, melalui rumus 90 langkahnya menuju musholla setiap pagi menjelang shubuh sebelum jamaah lainnya datang dalam kondisinya yang gelap gulita karena pengliatannya yang sudah tak berfungsi, menyadarkanku betapa besar nikmat yang Allah berikan melalui penglihatanku.
Juga dari pak Nana ( bukan nama sebenarnya ), banyak hal yang bisa aku jadikan untuk mengukur diri, seberapa besar rasa syukur yang sudah aku wujudkan, bukan sekedar syukur dalam lisan. Dan mengukur seberapa jauh ketekunanku beribadah, menjalankan segala perintah Nya dan menjauhi segala larangan Nya.
Pak Nana, lelaki kelahiran Bogor ini dimataku adalah jamah yang istimewa. Lelaki berumur 50 tahun ini berbeda dengan jamaah lainnya, beliau kini hanya memiliki satu kaki setelah kecelakaan lalu lintas memaksanya merelakan kaki kirinya di amputasi hingga batas lutut. Sungguh, bukan untuk membeberkan kekurangan fisik beliau, tapi justru dari situlah aku mendapat kekuatan dan semangat untuk lebih tegar menghadapi hidup dan berusaha lebih tekun beribadah dengan kondisiku yang alhamdulillah lebih beruntung dibanding dengannya.
Pak Nana adalah karyawan sebuah perusahaan produsen obat nyamuk, tak jauh dari tempat tinggal kami. Sampai saat ini sudah hampir 30 tahun beliau bekerja di sana. Dulu, sebelum tragedi kecelakaan menimpanya, beliau adalah kenek mobil box yang bertugas menemani sang sopir mengantar hasil produksi ke berbagai kota. Sebuah kecelakaan di jalan tol telah merenggut kaki kirinya, 22 tahun lalu ketika beliau masih lajang.
Diantara duka dan laranya, pak Nana muda ini melewati hari-harinya dengan penuh kepasrahan dan keikhlasan. Selain memberikan santunan, pihak perusahaan juga masih memperbolehkan pak Nana bekerja meski kondisinya berbeda dengan karyawan lainnya, sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya.
Adalah kebesaran Allah SWT, meski cacat, meski berbeda dengan lainnya, pak Nana muda ini akhirnya dipertemukan jodohnya dengan seorang gadis asal Pandegelang. Sang istri menerima pak Nana dan keadaan fisiknya dengan penuh keikhlasan. Mereka kini sudah dianugerahi empat orang anak, kesemuanya laki-laki. Mereka tinggal di rumah kontrakan yang sebagian mereka gunakan sebagai warung kecil-kecilan untuk menambah penghasilan pak Nana yang boleh dibilang tidaklah besar, cukup untuk menghidupi istri dan keempat anaknya secara sederhana.
Pak Nana adalah sosok lelaki tangguh, begitulah beliau dimataku. Beliau adalah lelaki yang penyayang, penuh tanggung jawab juga seorang hamba yang taat beribadah. Kegigihannya menghidupi keluarga beliau tunjukan dengan tetap bekerja meskipun kemana-mana beliau harus dibantu dengan penopang kayunya. Sebagai sesama jamaah musholla, aku tahu persis ketekunan beribadah beliau.
Satu yang selalu membuatku kagum, hingga menjadikan satu kekuatan yang mendorongku untuk berbuat lebih giat dalam beribadah, adalah ketika setiap kali aku melihat pak Nana mendatangi musholla dengan berjalan tertatih, dibantu penopang kayunya. Kemudian dengan kegigihannya, kulihat beliau berusaha untuk menyempurnakan wudhunya. Bukan perkara mudah untuk beliau bisa membasuh kakinya yang kini tinggal sebelah. Tapi beliau tak pernah menyerah, beliau punya cara sendiri untuk membasuh kakinya dengan bantuan penopang kayunya. Subhanallah, aku selalu berdecak kagum, terharu setiap melihat beliau berwudhu. Meski repot, meski harus bersiap jika terpeleset di lantai yang licin, namun beliu tak pernah menyerah, baginya adalah yang penting bisa sholat, bermunajat kepada Allah dalam keadaan suci.
Tak berhenti rasa haru ini, rasa kagum ini, aku semakin takjub setiap kali melihat pak Nana memasuki mushola dengan cara meloncat-loncat diatas satu kakinya. Bukannya tak ada jamaah yang peduli,tapi beliau lebih senang jika tak merepotkan orang lain. Tanpa bantuan penopang kayunya lagi, beliau memasuki mushola dengan lincah dan tak khawatir terpeleset. Subhanallah, hatiku selalu terharu melihat ini, meskipun ini bukan yang pertama kali, mungkin ratusan bahkan ribuan kali. Dan ketika sampai didalam musholla, pak Nana selalu sholat dengan berdiri, diatas satu kakinya. Subhanallah. Meski kondisinya memberikan keringanan bagi beliau untuk sholat dengan duduk, namun beliau tidak mau menjadi cengeng. Dengan kokoh beliau sholat diatas kaki kanannya. Subhanallah, hati yang mana yang tak tersentuh melihat seperti ini. Begitulah yang kulihat, dan juga jamaah lainnya, sebuah pelajaran berharga kami dapatkan deri pak Nana yang mungkin ia sendiri tak menyadarinya.
Sungguh, kami tiada mencela pak Nana dengan keterbatasannya, bagaimanapun kondisi yang kini beliau hadapi adalah kehendak Allah SWT. Justru kami merasa mendapatkan pelajaran berharga, pelajaran tentang keteguhan hati seorang yang memiliki kekurangan fisik serta ketekunannya beribadah dengan segala keterbatasan fisik yang ada padanya.
Pak Nana, maaf jika aku menulis ini dan berbagi dengan yang lain, sungguh tiada niat hati untuk merendahkanmu, justru aku ingin orang lain mengambil hikmah dan pelajaran darimu tentang nilai keikhlasan yang engkau tunjukan, juga ketekunan beribadah yang engkau jalankan.