Kemarin sore kami berempat ( aku, kakak dan adik ipar serta seorang tetanggaku ) membezuk salah satu tetangga yang sedang dirawat di rumah sakit sejak dua hari lalu karena sakit cacar air. Alhamdulillah, sore itu kondisinya sudah membaik. Cacar air yang memenuhi wajah dan hampir seluruh badannya sudah pada pecah, bahkan banyak diantaranya yang sudah mulai mengering.
Pak Yudi, tetanggaku ini dirawat di ruang isolasi bersama satu orang pasien lainnya. Dalam ruang itu sebenarnya tersedia tiga tempat tidur, tapi hanya dua yang terisi. Layaknya ruang perawatan lainnya, ruang ini juga dilengkapi dengan sebuah televisi untuk memberikan hiburan bagi para pasien yang tentu saja jenuh harus berbaring di tempat tidur tanpa bisa berbuat banyak.
Secara kebetulan, sore itu televisi dihidupkan dan saluran yang dipilih adalah sebuah saluran televisi yang lebih sering menayangkan berita, tidak seperti saluran-saluran lain yang selalu mengunggulkan sinetron setiap harinya, membosankan!. Berita sore itu rupanya tentang kabar rencana kedatangan seorang artis film porno dari Jepang. Ah! mendengar namanya saja aku risih apalagi harus menyebut dan menulisnya disini. Rencana kedatangan ‘makhluk’ ini bukan untuk rekreasi layaknya turis-turis yang datang ke Indonesia, tapi atas sebuah kontrak untuk bermain film dengan sebuah rumah produksi di Indonesia. Astaghrfirulloh, sebuah ide murahan!
Kami yang semula sedang ngobrol santai dengan Pak Yudi, spontan langsung berpaling dan melihat ke televisi. Bukan untuk mengikuti beritanya, tapi tentu saja untuk melakukan penolakan layaknya mereka yang dalam berita itu melakukan demonstrasi, menolak kedatangan ‘makhluk’ itu ke Indonesia dengan alasan apapun. Berbagai komentar negatif muncul di ruangan itu. Kecaman tiba-tiba muncul dengan spontan. Aku yang sebelumnya tidak pernah mengetahui keberadaan ‘makhluk’ ini di bumi ini, baru tahu semenjak kegiatan demonstrasi penolakan kedatangannya banyak di siarkan di televisi. Seperti yang lain, geram juga rasanya dengan ide murahan seperti ini.
Memang, menurut pengakuan pihak rumah produksi yang mengontrak ‘makhluk’ itu dalam filmnya, mengatakan bahwa film yang bakal mereka buat bukanlah film porno, tapi siapa yang bisa menjamin kalau film ini bakal bersih dari ‘aroma neraka’. Jika hanya sebuah film komedi, apa tidak ada pemain-pemain film Indonesia yang bisa melawak lagi? Kenapa harus dia, yang tak merasa bersalah apalagi berdosa, risih saja tidak jika dicap sebagai pemain film porno?. Dia yang mungkin tak bisa menangkap kabar tentang surga dan neraka di akhirat, ataukah telinganya sudah tersumbat dengan uang. Nauzubillah!
Namanya sebuah film, tentu saja pemainnya tidaklah hanya satu, ada banyak pemain film lainnya, termasuk adalah pemain dari Indonesia. Dan diantara pemain itu, kemungkinan ada pemain film yang ‘mengaku’ seorang muslim. Lalu kemanakah akhlak mereka selama ini? Atau mereka sendiri telah kehilangan akal sehatnya terkena virus yang dengan angkuhnya mengatakan ‘ini sebuah seni!’ Seni macam mana yang ada dalam benak mereka, tentu saja seni yang bukan selayaknya apalagi seni yang bisa dibenarkan oleh agama, atau minimal tidak dilarang agama.
Makhluk itu memanglah belum datang, dan pembuatan filmpun belum dimulai, tapi demo penolakan terhadap rencana kedatangannya sudah terjadi dimana-mana. Mulai dari organisasi Islam sampai gerakan-gerakan anak sekolah, semua menolak keras kedatangannya apalagi sampai membuat film atas nama produksi Indonesia. Boleh jadi film-film bejat sang artis sudah banyak yang masuk di Indonesia dan dinikmati para ‘perindu neraka’, tapi jangan pernah sekalipun mengatas namakan Indonesia yang sebagian besar warganya beragama Islam. Atas nama Indonesia, jelas tidak rela apalagi atas nama Agama. Kalaupun seseorang datang untuk sebuah wisata, mungkin tidak menjadi masalah besar karena itu bagian dari hak asasi, tapi kalau untuk sebuah pekerjaan yang mengandung maksiat, hal itu jelas tidak bisa dibiarkan. Tanpa memproduksi karya-karya bejat saja, negeri ini sudah teracuni apalagi jika dibuat di negeri ini, oleh warga negeri dan tentunya untuk penduduk negeri ini. Nauzubillah!
Pak Yudi, tetanggaku ini dirawat di ruang isolasi bersama satu orang pasien lainnya. Dalam ruang itu sebenarnya tersedia tiga tempat tidur, tapi hanya dua yang terisi. Layaknya ruang perawatan lainnya, ruang ini juga dilengkapi dengan sebuah televisi untuk memberikan hiburan bagi para pasien yang tentu saja jenuh harus berbaring di tempat tidur tanpa bisa berbuat banyak.
Secara kebetulan, sore itu televisi dihidupkan dan saluran yang dipilih adalah sebuah saluran televisi yang lebih sering menayangkan berita, tidak seperti saluran-saluran lain yang selalu mengunggulkan sinetron setiap harinya, membosankan!. Berita sore itu rupanya tentang kabar rencana kedatangan seorang artis film porno dari Jepang. Ah! mendengar namanya saja aku risih apalagi harus menyebut dan menulisnya disini. Rencana kedatangan ‘makhluk’ ini bukan untuk rekreasi layaknya turis-turis yang datang ke Indonesia, tapi atas sebuah kontrak untuk bermain film dengan sebuah rumah produksi di Indonesia. Astaghrfirulloh, sebuah ide murahan!
Kami yang semula sedang ngobrol santai dengan Pak Yudi, spontan langsung berpaling dan melihat ke televisi. Bukan untuk mengikuti beritanya, tapi tentu saja untuk melakukan penolakan layaknya mereka yang dalam berita itu melakukan demonstrasi, menolak kedatangan ‘makhluk’ itu ke Indonesia dengan alasan apapun. Berbagai komentar negatif muncul di ruangan itu. Kecaman tiba-tiba muncul dengan spontan. Aku yang sebelumnya tidak pernah mengetahui keberadaan ‘makhluk’ ini di bumi ini, baru tahu semenjak kegiatan demonstrasi penolakan kedatangannya banyak di siarkan di televisi. Seperti yang lain, geram juga rasanya dengan ide murahan seperti ini.
Memang, menurut pengakuan pihak rumah produksi yang mengontrak ‘makhluk’ itu dalam filmnya, mengatakan bahwa film yang bakal mereka buat bukanlah film porno, tapi siapa yang bisa menjamin kalau film ini bakal bersih dari ‘aroma neraka’. Jika hanya sebuah film komedi, apa tidak ada pemain-pemain film Indonesia yang bisa melawak lagi? Kenapa harus dia, yang tak merasa bersalah apalagi berdosa, risih saja tidak jika dicap sebagai pemain film porno?. Dia yang mungkin tak bisa menangkap kabar tentang surga dan neraka di akhirat, ataukah telinganya sudah tersumbat dengan uang. Nauzubillah!
Namanya sebuah film, tentu saja pemainnya tidaklah hanya satu, ada banyak pemain film lainnya, termasuk adalah pemain dari Indonesia. Dan diantara pemain itu, kemungkinan ada pemain film yang ‘mengaku’ seorang muslim. Lalu kemanakah akhlak mereka selama ini? Atau mereka sendiri telah kehilangan akal sehatnya terkena virus yang dengan angkuhnya mengatakan ‘ini sebuah seni!’ Seni macam mana yang ada dalam benak mereka, tentu saja seni yang bukan selayaknya apalagi seni yang bisa dibenarkan oleh agama, atau minimal tidak dilarang agama.
Makhluk itu memanglah belum datang, dan pembuatan filmpun belum dimulai, tapi demo penolakan terhadap rencana kedatangannya sudah terjadi dimana-mana. Mulai dari organisasi Islam sampai gerakan-gerakan anak sekolah, semua menolak keras kedatangannya apalagi sampai membuat film atas nama produksi Indonesia. Boleh jadi film-film bejat sang artis sudah banyak yang masuk di Indonesia dan dinikmati para ‘perindu neraka’, tapi jangan pernah sekalipun mengatas namakan Indonesia yang sebagian besar warganya beragama Islam. Atas nama Indonesia, jelas tidak rela apalagi atas nama Agama. Kalaupun seseorang datang untuk sebuah wisata, mungkin tidak menjadi masalah besar karena itu bagian dari hak asasi, tapi kalau untuk sebuah pekerjaan yang mengandung maksiat, hal itu jelas tidak bisa dibiarkan. Tanpa memproduksi karya-karya bejat saja, negeri ini sudah teracuni apalagi jika dibuat di negeri ini, oleh warga negeri dan tentunya untuk penduduk negeri ini. Nauzubillah!