Aku baru saja masuk kantor usai sholat Zhuhur di Masjid ketika hp di sakuku berdering. Kuperiksa hp ku, ternyata dari salah seorang teman sekolahku dulu , sebut saja namanya Heru. Saat itu dia sedang berada di warnet, da kebetulan menemukan blog ku hingga kemudian ingin ngobrol denganku. Cukup lama kami tak bertemu, mungkin hampir setahun. Ya, benar hampir setahun. Aku ingat pertemuan terakhirku dengannya, saat menghadiri undangan pernikahan Andri bulan Haji tahun lalu.
Setelah saling menanyakan kabar, kami mulai ngobrol soal blog. Kebetulan kami sama-sama memiliki blog, bedanya dia sudah mulai lebih dulu sedang aku baru belajar bahkan belum sempat memberi tahu dia perihal blogku. Beberapa masukan dan sedikit kritikan dengan lancar dia berikan, dan semuanya aku dengarkan dengan baik. Maklum, dibanding aku, dia lebih dulu mengenal dunia maya, dan tentunya dunia blog seperti yang sedang kami bicarakan.
Dari sekian saran dan masukan yang dia berikan, ada satu yang aku tak sejalan. Dia mengkritik soal profil dan headshot ku yang menurutnya terlalu polos. Menurutnya, profil dan photoku, selain kurang menguntungkan, menurutnya juga membahayakan.
“ Memang mestinya gimana ?” aku belum pahan dengan yang dia maksudkan.
“ Ya, di dunia maya tidaklah semuanya harus di isi dengan jujur. Status perkawiannmu misalnya, kamu kan bisa mencantumkan status lajang di situ. Parahnya kamu malah menulis polos banget, sudah gitu kamu perparah lagi dengan photo kamu bersama anakmu” jawabnya bersemangat.
“ Salah dimananya, kan aku menulis apa adanya. Aku sudah mempunyai istri, dan satu orang anak. Photo yang kupasangpun photo aku dan anakku, masa iya aku pasang photomu ? “ jawabku sambil tertawa, mencoba membuat suasana lebih santai.
Panjang lebar temanku ini kemudian bercerita tentang segala kemungkinan yang bisa terjadi melalui dunia maya. Aku pikir dia bakal menceritakan kejadian-kejadian buruk yang berawal dari dunia internet. Tapi ternyata tebakanku salah, dia tidak menasihatiku dengan kemungkinan buruk dari sebuah blog, tapi menurutku malah dia yang berniat tidak baik melalui dunia maya ini.
“ Kalau kita mengaku lajang, akan banyak teman yang kita dapatkan. Dan, kita bisa lebih leluasa mencari kenalan “ kali ini dia yang tertawa.
“ Astaghfirulloh ………..! “ reflek aku menggelengkan kepala dan mengusap dada, seakan-akan temanku sedang duduk tepat di depanku, melihatku tak setuju dengan semua argumentasinya. Rupanya sahabatku yang satu ini masih belum berubah sifatnya. Dari dulu dia memang kukenal sebagai lelaki yang luas wawasan dan pergaulan, namun sayang seringkali kuanggap salah mengartikan sebuah pertemanan.
Aku baru paham, mengapa dia mengomentari profil juga photo yang kupasang diblogku. Rupanya pilihanku pada sebuah photo diriku bersama putri tunggalku yang menjadi penyebabnya. Dan ini berbeda prinsip denganku. Aku memang pernah membaca beberapa kejadian negatif yang terjadi berawal dari photo yang dipajang di internet, tapi toh tidak semuanya, tergantung materi foto dan juga tujuan publikasinya. Dan kalaupun saya memajang photo aku dengan anak atau istri, aku merasa tidak berlebihan karena memang aku sudah berkeluarga, memiliki istri dan seorang anak.
Soal teman atau sahabat, mungkin saja ada yang menjaga jarak dengan kita yang sudah berkeluarga, dan bagiku itu tidak masalah. Sebuah persahabatan ataupun sekedar pertemanan, menurutku tidak bisa dan tidak boleh dipaksakan. Prinsipku, sebisa mungkin aku berlaku jujur dan apa adanya, tentang bagaimana pendapat orang lain, apakah mereka mau berteman denganku atau justru menghindar lantaran status perkawinan dianggap sebagai penghalang, jelas aku tak bisa memaksakan dan tak mau menyalahkan. Menurutku, mudah saja menebak jenis pertemanan atau persahabatan seperti apa yang diinginkan, dan untuk mendapatkan teman tak perlu aku harus memalsukan status, mengaku masih bujangan dengan memajang photo jaman dulu yang masih imut atau bahkan memakai gambar orang lain. Bagiku melakukan semua itu adalah sebuah penghianatan terhadap keluarga, terhadap istri dan anak. Insya Allah, aku tak mungkin melakukan hal itu apalagi hanya untuk hal kecil seperti ini.
“ Halo…” teriakan sahabatku ini membuyarkan lamunanku.
“ Satu lagi, nama yang kau pakai itu lho, keliatannya kamu tuh udah tua banget! “ ia masih terus meledekku. Kudengar dia terpingkal-pingkal di seberang sana.
Aku hanya tersenyum, aku sama sekali tidak marah, tersinggungpun tidak. Aku tahu persis sifat humor dan kebiasaan sahabatku yang kini sudah memiliki dua orang anak ini. Kami memang akrab, sewaktu sekolah kami teman dekat. Kami memang terlihat kompak, tapi sebenarnya tidak dalam segala hal. Seperti contohnya masalah di dunia maya, dia lebih suka mencitrakan dirinya sebagai lelaki lajang, sedang aku dengan lugunya mengaku sebagai seorang suami yang sudah mempunyai satu anak. Tak apalah itu urusan dia, aku tak menuduhnya melakukan penghianatan, tapi bagiku, keluarga, istri dan anakku adalah salah satu anugerah terindah yang telah Allah berikan kepadaku. Mereka keluargaku, mereka amanah bagiku. Mereka kini bagian dari hidupku, tak mungkin aku menganggap mereka tidak ada hanya untuk kepentinganku. Aku bangga mengakui mereka, dan aku akan berusaha untuk tidak melakukan penghianatan sekecil apapun dan dalam bentuk bagaimanapun terhadap mereka.
Setelah saling menanyakan kabar, kami mulai ngobrol soal blog. Kebetulan kami sama-sama memiliki blog, bedanya dia sudah mulai lebih dulu sedang aku baru belajar bahkan belum sempat memberi tahu dia perihal blogku. Beberapa masukan dan sedikit kritikan dengan lancar dia berikan, dan semuanya aku dengarkan dengan baik. Maklum, dibanding aku, dia lebih dulu mengenal dunia maya, dan tentunya dunia blog seperti yang sedang kami bicarakan.
Dari sekian saran dan masukan yang dia berikan, ada satu yang aku tak sejalan. Dia mengkritik soal profil dan headshot ku yang menurutnya terlalu polos. Menurutnya, profil dan photoku, selain kurang menguntungkan, menurutnya juga membahayakan.
“ Memang mestinya gimana ?” aku belum pahan dengan yang dia maksudkan.
“ Ya, di dunia maya tidaklah semuanya harus di isi dengan jujur. Status perkawiannmu misalnya, kamu kan bisa mencantumkan status lajang di situ. Parahnya kamu malah menulis polos banget, sudah gitu kamu perparah lagi dengan photo kamu bersama anakmu” jawabnya bersemangat.
“ Salah dimananya, kan aku menulis apa adanya. Aku sudah mempunyai istri, dan satu orang anak. Photo yang kupasangpun photo aku dan anakku, masa iya aku pasang photomu ? “ jawabku sambil tertawa, mencoba membuat suasana lebih santai.
Panjang lebar temanku ini kemudian bercerita tentang segala kemungkinan yang bisa terjadi melalui dunia maya. Aku pikir dia bakal menceritakan kejadian-kejadian buruk yang berawal dari dunia internet. Tapi ternyata tebakanku salah, dia tidak menasihatiku dengan kemungkinan buruk dari sebuah blog, tapi menurutku malah dia yang berniat tidak baik melalui dunia maya ini.
“ Kalau kita mengaku lajang, akan banyak teman yang kita dapatkan. Dan, kita bisa lebih leluasa mencari kenalan “ kali ini dia yang tertawa.
“ Astaghfirulloh ………..! “ reflek aku menggelengkan kepala dan mengusap dada, seakan-akan temanku sedang duduk tepat di depanku, melihatku tak setuju dengan semua argumentasinya. Rupanya sahabatku yang satu ini masih belum berubah sifatnya. Dari dulu dia memang kukenal sebagai lelaki yang luas wawasan dan pergaulan, namun sayang seringkali kuanggap salah mengartikan sebuah pertemanan.
Aku baru paham, mengapa dia mengomentari profil juga photo yang kupasang diblogku. Rupanya pilihanku pada sebuah photo diriku bersama putri tunggalku yang menjadi penyebabnya. Dan ini berbeda prinsip denganku. Aku memang pernah membaca beberapa kejadian negatif yang terjadi berawal dari photo yang dipajang di internet, tapi toh tidak semuanya, tergantung materi foto dan juga tujuan publikasinya. Dan kalaupun saya memajang photo aku dengan anak atau istri, aku merasa tidak berlebihan karena memang aku sudah berkeluarga, memiliki istri dan seorang anak.
Soal teman atau sahabat, mungkin saja ada yang menjaga jarak dengan kita yang sudah berkeluarga, dan bagiku itu tidak masalah. Sebuah persahabatan ataupun sekedar pertemanan, menurutku tidak bisa dan tidak boleh dipaksakan. Prinsipku, sebisa mungkin aku berlaku jujur dan apa adanya, tentang bagaimana pendapat orang lain, apakah mereka mau berteman denganku atau justru menghindar lantaran status perkawinan dianggap sebagai penghalang, jelas aku tak bisa memaksakan dan tak mau menyalahkan. Menurutku, mudah saja menebak jenis pertemanan atau persahabatan seperti apa yang diinginkan, dan untuk mendapatkan teman tak perlu aku harus memalsukan status, mengaku masih bujangan dengan memajang photo jaman dulu yang masih imut atau bahkan memakai gambar orang lain. Bagiku melakukan semua itu adalah sebuah penghianatan terhadap keluarga, terhadap istri dan anak. Insya Allah, aku tak mungkin melakukan hal itu apalagi hanya untuk hal kecil seperti ini.
“ Halo…” teriakan sahabatku ini membuyarkan lamunanku.
“ Satu lagi, nama yang kau pakai itu lho, keliatannya kamu tuh udah tua banget! “ ia masih terus meledekku. Kudengar dia terpingkal-pingkal di seberang sana.
Aku hanya tersenyum, aku sama sekali tidak marah, tersinggungpun tidak. Aku tahu persis sifat humor dan kebiasaan sahabatku yang kini sudah memiliki dua orang anak ini. Kami memang akrab, sewaktu sekolah kami teman dekat. Kami memang terlihat kompak, tapi sebenarnya tidak dalam segala hal. Seperti contohnya masalah di dunia maya, dia lebih suka mencitrakan dirinya sebagai lelaki lajang, sedang aku dengan lugunya mengaku sebagai seorang suami yang sudah mempunyai satu anak. Tak apalah itu urusan dia, aku tak menuduhnya melakukan penghianatan, tapi bagiku, keluarga, istri dan anakku adalah salah satu anugerah terindah yang telah Allah berikan kepadaku. Mereka keluargaku, mereka amanah bagiku. Mereka kini bagian dari hidupku, tak mungkin aku menganggap mereka tidak ada hanya untuk kepentinganku. Aku bangga mengakui mereka, dan aku akan berusaha untuk tidak melakukan penghianatan sekecil apapun dan dalam bentuk bagaimanapun terhadap mereka.