22 May 2018

Istighfar Melapangkan Kesulitan

Mengantar istri terlebih dulu ke stasiun Tangerang, baru melanjutkan perjalanan ke Serang, adalah rutinitas pagiku. Sudah begitu, sejak dua tahun yang lalu. Tapi hari ini berbeda. Bukan hanya karena istriku harus mengikuti upacara dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional di STIP Pasar Minggu sehingga harus berangkat lebih pagi dari biasanya, tapi karena ada ‘drama’ yang mewarnainya.

Adalah drama sakit perut jadi pembuka cerita. Kalau ditelusur sepuluh jam ke belakang, tak ada yang istimewa dari menu kami berbuka, sederhana saja, seperti hari-hari sebelumnya. Juga tak ada yang layak dijadikan ‘tersangka’, kecuali pepes ikan mas yang kami beli di dekat minimarket, tak jauh dari gerbang perumahan. Istriku tahu betul kalau perutku tak bersahabat dengan rasa pedas, yang dia tidak tahu adalah pepes ikan yang dipilihnya memiliki kandungan cabai yang melebihi batas toleransi yang dapat diterima oleh perutku. Jika putriku saja bilang pedas, itu berarti sudah berkali lipat dari standar pedas versiku. Namun karena tak ada pilihan lain, dan sesungguhnya pepes ikan adalah salah satu makanan favoritku, aku ‘memberanikan diri’ untuk tetap memakannya dengan tambahan doa semoga kali ini perutku bisa berdamai dengannya. Bismillah.

Tapi apa yang kemudian terjadi, tak jauh dari yang aku prediksi. Meski sudah dua kali ke kamar mandi, dua tablet sakit perut sudah aku konsumsi, tetap saja rasa sakit dan melilit tak juga berhenti, bahkan datang dan pergi berkali-kali.

Situasi mulai rumit ketika waktu terus berlalu, menit demi menit. Dihadapkan pada pilihan sulit, mengantar istri sambil menahan perut melilit, atau menuruti rasa dengan risiko istri terlambat mengikuti upacara, akhirnya aku memilih mengabaikan rasa sakit. Butuh waktu sekitar 70 menit dari stasiun Tangerang sampai stasiun Pasar Minggu, ditambah 5 hingga 10 menit baru bisa sampai ke lokasi, setidaknya istriku harus ikut kereta yang jam 05.30 WIB. Itu artinya paling lambat jam 05.00 kami harus sudah berangkat dari rumah.

Usai shalat Subuh, tanpa memperpanjang dzikir, kami bergegas menuju stasiun. Jika kupacu sepeda motorku lebih kencang dari biasanya, sungguh bukan semata karena kami takut terlambat tiba di sana, tapi lebih karena melilit di perutku kembali terasa ketika perjalanan belum sampai seperempatnya. Di sepertiga perjalanan, di antara rasa mulas yang makin menguat, aku mulai memikirkan bagaimana caranya agar istriku tidak terlambat. Ide pertama, aku minta istri melanjutkan perjalanan dengan menggunakan jasa ojek online, namun saat itu tidak memungkinkan. Tak cukup waktu untuk memesan dan menunggu. Ide kedua, aku berhenti sebentar menumpang ke kamar mandi di salah satu masjid yang kami lewati, tapi itu juga tak memungkinkan. Tak banyak waktu, juga pilihan yang kami miliki. Astaghfirullah! Aku beristighfar berkali-kali. Tak ada ide yang lebih masuk akal kecuali aku tetap melanjutkan perjalanan dan akan kuselesaikan semua urusan perutku nanti setelah tiba di stasiun.

Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin ‘Ammar] telah menceritakan kepada kami [Al Walid bin Muslim] telah menceritakan kepada kami [Al Hakam bin Mush’ab] dari [Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas] bahwa dia menceritakan kepadanya dari [Abdullah bin ‘Abbas] dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang menekuni istighfar, Allah akan menjadikan dari setiap kesedihan kelonggaran, dan dari setiap kesempitan jalan keluar dan memberi rizki kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangka.” (Hadist Sunan Ibnu Majah No. 3809 : Istighfar).

Hadist di atas dipilih Ustadz Abdul Somad dalam tausyiahnya di program Indahnya Ramadhan salah satu stasiun tv yang kami ikuti sambil bersantap sahur malam tadi. “Siapa yang kontinyu, melakukan, mengucapkan, merenungkan, mengamalkan istighfar secara terus menerus, Allah berikan tiga, segala kesusahan, kesulitannya diberikan kelapangan…” kalimat itulah yang kuingat, dan kemudian aku praktikkan sepanjang perjalanan dengan penuh pengharapan dan keyakinan bahwa Allah akan memberikan pertolongan.

Aku beristighfar, memohon ampun atas ketidaknyamanan yang dirasakan istriku. Saat terburu-buru, mengejar waktu, jangankan ketidaknyamanan, keselamatan sering dinomorduakan. Aku beristighfar, memohon pertolongan Allah agar rasa mulas dapat kutahan. Aku beristighfar, berharap dan berkeyakinan lebih dari yang biasa kulakukan.

Subhanallah! Jika di setengah perjalanan keringat dingin mulai keluar akibat rasa sakit yang kutahan, di sepertiga perjalanan terakhir, rasa sakitku sudah jauh berkurang. Alhamdulillah, akhirnya kami sampai di stasiun beberapa menit sebelum kereta berangkat. Meski rasa mulas belum sepenuhnya hilang, masih bisa kutahan hingga dapat kuselesaikan urusannya di SPBU terdekat.

Saudaraku, barangkali istighfar sudah sering kita ucapkan, berkali-kali, setiap hari, tapi apakah dilandasi dengan pengharapan dan keyakinan yang penuh kepada Allah swt atau hanya ucapan semata, itu yang membedakannya. Satu yang kujadikan pelajaran hari ini, aku bersyukur bahwasanya diri yang tiada suci hari ini Allah lapangkan dari kesusahan, kesulitan, salah satunya karena istighfar sebagaimana yang nabi Muhammad saw sampaikan. Mari kita geser kebiasaan beristighfar kita dari yang sekedar lisan menjadi sebuah pengakuan atas lemah dan kotornya diri kita, sebuah pengharapan atas ampunan serta keyakinan atas pertolongan dan rizki Allah yang Mahaluas.




Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan di dakwatuna  

Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri