Angkutan umum jurusan Depok
– Pasar Minggu ini hanya membawa lima penumpang, satu duduk di depan, empat
lainnya di belakang, dan tetap demikian hingga kami sampai di tujuan. Maklum saja,
jam tiga pagi, siapa pula yang rela memutus mimpi, meninggalkan selimut
hangatnya kecuali orang-orang yang karena kebutuhan, pekerjaan atau terpaksa
oleh keadaan.
Duduk di hadapanku dua
perempuan setengah baya yang kalau dilihat dari tas plastik yang dibawanya, aku
berkesimpulan keduanya hendak ke pasar, berbelanja sayuran dan aneka kebutuhan
rumah tangga lainnya. Entah apa yang terjadi sebelum meninggalkan rumah, sepanjang
perjalanan salah satu dari mereka terlihat kesal dan sebal. Beberapa kali ia
mengumpat ketika sang sopir melajukan mobilnya dengan perlahan, berhenti di depan
gang, menunggu calon penumpang.
“Mobil kok kayak siput!”,
itu yang pertama ku dengar. Tapi tak lama kemudian, sang perempuan meralat
ucapannya. “Mobil kok kaya undur-undur, jalannya maju mundur!”. Perempuan
setengah baya itu terus saja menggerutu,
menularkan ketidaknyamanan pada empat penumpang lainnya. Entah dengan sang sopir,
apakah ia juga mendengar atau menganggapnya biasa-biasa saja, salah satu resiko
dari pekerjaannya.
Aku dan istriku saling
berpandangan, menahan senyum, enggan berkomentar. Sebenarnya kegelisahan sang
perempuan akibat sang sopir yang melajukan mobilnya dengan kecepatan rendah
juga kami rasakan. Kami harus tiba di terminal Pasar Minggu sebelum jam tiga
lewat tiga puluh atau kami harus menunggu bus Damri setengah jam lagi dengan
resiko istriku akan telat sampai di bandara, ketinggalan pesawat yang akan
menerbangkannya ke Bengkulu. Tapi kesal dan marah-marah tidaklah menyelesaikan
masalah. Naik angkutan ini adalah pilihan kami, bukan paksaan sang sopir, ia hanya
berhenti menawarkan jasa, lantas kami
naik ke dalam mobilnya. Sebelumnya, lebih dari sepuluh menit kami
mengunggu tak ada satupun taksi yang melintas, maka kami putuskan untuk ikut mobil
bernomor trayek 04 yang oleh sang perempuan di juluki siput dan undur-undur.
Jujur, laju mobil carry
yang kami naiki memang tidak segesit ketika siang hari. Tapi bisa kami maklumi,
sang sopir bukan sedang bermalas-malasan, tapi ia berhitung dengan jumlah
setoran yang harus dikumpulkan. Jika ia melajukan mobilnya dengan kecepatan
tinggi, manalah penumpang yang akan dibawanya, masih jam tiga pagi, hari belum
sepenuhnya dimulai. Bisa dimengerti ketika sesekali sang sopir berhenti di depan
gang, menunggu dan melajukan kembali mobilnya,
atau terkadang berhenti memundurkan mobilnya ketika sekilas ia melihat ada
orang berjalan dari dalam gang, walaupun kenyataannya pil pahit harus kembali
ia telan, sejak kami naik jumlah penumpangnya tidak berubah, tidak berkurang
tidak juga bertambah. Menurut penilaianku, apa yang dilakukan sang sopir wajar
dan biasa, sebagaimana angkutan umum lainnya.
Jika cepat sampai tujuan
plus rasa nyaman yang diinginkan, tentunya bukan jenis angkutan umum ini yang
harus kami naiki. Apa daya, belum ada kendaraan pribadi, taksi yang ditunggupun
tak satupun yang melintas selama sepuluh menit kami berdiri. Benar bahwa naik
angkutan umum ini tidak gratis, tapi sejumlah rupiah yang dibayarkan pada
sopir, bukan membolehkan kita untuk marah-marah. Masih ada cara yang lebih baik
dan santun untuk mengingatkan agar sopir jangan terlalu sering berhenti,
terlalu lama menunggu karena jika ia
butuh uang setoran, maka sebagai penumpang kita juga butuh waktu. Pernah dalam
satu kesempatan aku terpaksa menegur sopir yang terlalu lama berhenti menunggu calon
penumpang hingga membuat penumpang yang ada di dalam mobilnya menjadi gelisah. Tanpa
emosi dan amarah, aku hanya bertanya apakah ia masih akan berhenti lama, tapi
sang sopir segera paham dengan pertanyaan yang kuajukan. Tak ingin ada lagi penumpang
yang turun dan berpindah ke mobil lain, akhirnya ia melajukan mobilnya dan
alhamdulillah, baik sang sopir maupun penumpang lainnya sama-sama lega, tak ada
marah-marah.
Maka, jika ada yang
beranggapan bahwa dengan membayar sejumlah rupiah, lantas kita boleh dan bebas
marah-marah, menurutku itu salah. Sejumlah rupiah yang kita berikan adalah
pengganti jasa bagi sang sopir yang
telah mengantarkan kita dengan selamat sampai tujuan. Kalaupun kadangkala ada
sopir-sopir yang kurang peduli dengan keinginan penumpang, mengabaikan
kenyamanan bahkan keselamatan penumpang, kita bisa menegur, mengingatkannya
dengan baik-baik, tanpa harus marah dan emosi. Jika sudah diingatkan masih saja
demikian, aku pribadi memilih untuk berpindah ke lain angkutan, jika memungkinkan, jika tidak maka berdoa lebih
diutamakan, bukan emosi yang dikedepankan. Sekali lagi, sejumlah rupiah yang
kita bayarkan bukan untuk membebaskan kita emosi dan marah-marah.