Ini bukan soal angka keberuntungan, ataupun sebaliknya, tapi
di kampus Dza Izza pondok pesantren modern Daar El Qolam 3, angka satu dan lima
ternyata cukup ‘istimewa’ bagi Sabila.
Dulu, di semester pertama, - alhamdulillah- nilai raport
Sabila menjadi yang terbaik di kelasnya, tapi di seluruh santri angkatannya, ia
hanya menempati peringkat ke lima. Raut kecewa sempat terlihat di wajahnya, namun kejora di matanya kembali cemerlang setelah kuyakinkan bahwa semua
itu tidak mengurangi rasa bahagia dan banggaku kepadanya. Terus terang, bukan
bermaksud meragukan kemampuannya, melemahkan semangat belajarnya, tapi aku menyadari
bahwa persaingan yang harus Sabila hadapi di ponpes modern ini cukup ketat, banyak
santri/wati yang mempunyai latar belakang pendidikan dari SDIT, hanya sebagian
kecil yang berasal dari SD umum, salah satunya dia.
Kemudian di semester kedua, ketika beberapa teman-temannya
yang di semester pertama menempati peringkat sepuluh besar mengalami
pergeseran, meski belum bisa meningkatkan prestasi, alhamdulillah Sabila masih bertahan
di posisinya. Nilai raportnya masih menjadi yang terbaik di kelas dan
di asramanya, tapi lagi-lagi masih di peringkat ke lima untuk seluruh santri/wati
angkatannya. Sebuah piagam dan pialapun layak ia terima. Mendung di wajahnyapun
perlahan sirna setelah kuingatkan, ”Ketika ada yang menurun peringkat dan nilainya,
kamu bisa bertahan di posisi semula, itu
juga sebuah prestasi yang harus tetap disyukuri!”.
Dan tadi pagi, ketika aku menyempatkan mampir ke pondok untuk mengantar beberapa pesanannya, selembar piagam berbahasa Inggris ia
sodorkan. Tak ada tulisan yang menyebutkan peringkat ataupun juara berapa, tapi
dari penjelasannya aku tahu bahwa ia baru saja mengikuti kompetisi Spelling Bee (
mengeja kata dalam bahasa Inggris ). Benar bahwa di piagam tersebut tidak
tercantum juara ke berapa karena meski dia juara pertama di babak penyisihan (
untuk peserta dari tahun angkatannya ), tapi di babak final ( untuk ketiga tahun angkatan ),
ia hanya berada di peringkat ke lima. Satu dan lima, sepertinya dua angka ini ‘masih’
akrab dengannya.
Berapapun nilainya, juara pertama ataupun kelima, tetap saja
aku bahagia dan bangga dengan hasil pencapaiannya. Aku menghargai ketekunan
belajarnya, kegigihan untuk mewujudkan menaranya. Dan dua hal yang paling sering kuingatkan padanya
adalah; jangan pernah tinggalkan kejujuran, lebih baik nilai bagus tapi dari
hasil usaha ( belajar ) murni, daripada nilai jelek tapi dari hasil mencontek,
jangan tinggi hati karena di atas langit masih ada langit lagi. Betul?