Alarm tanda istirahat sudah berbunyi sepuluh menit yang
lalu, tapi bekal nasi yang kubawa masih utuh, belum kusentuh. Obrolan Ahmad
dengan rekan kerja di seberang mejalah yang menunda selera makanku.
“Ini bukan keputusan tiba-tiba, jauh-jauh hari kami telah
memikirkan dan mempertimbangkannya. Juga bukan langkah yang tergesa-gesa, kami
hanya ingin bersegera agar bisa saling menjaga dan terjaga.”
Itu jawaban Ahmad ketika ditanya tentang rencana pernikahannya
yang oleh sebagian rekan kerja dinilai mendadak, menimbulkan banyak tanda
tanya.
Tidak tergesa-gesa, tapi bersegera agar bisa saling menjaga
dan juga terjaga. Aku sepakat dan sependapat dengan Ahmad. Meski sekilas
terlihat sama, namun bersegera dan tergesa-gesa berbeda makna, pelaksanaan dan juga
hasil akhirnya. Bukan hanya dalam urusan pernikahan, tapi juga dalam
hal lainnya. Segera mengarah pada kebaikan, sedang tergesa-gesa justru
sebaliknya.
Dan segera menikah, setelah cukup persyaratannya, adalah hal
yang semestinya. Jangan tergesa-gesa, jangan pula ditunda-tunda karena keduanya
adalah kebiasaan dan tipu daya syetan untuk melalaikan dan menjerumuskan
manusia. Mereka tiada kehabisan cara, tidak pula berputus asa untuk menggoda
manusia, salah satunya dengan mengatasnamakan cinta.
Ucapan Ahmad juga mengingatkanku pada Fulan dan Fulanah.
Keduanya berikhtiar untuk menyatukan cinta dalam sebuah ikatan suci bernama
pernikahan. Layaknya orang yang sedang jatuh cinta, maka merekapun merasakan saat-saat
dimana orang biasa menyebutnya kasmaran. Selalu ingin bertemu adalah hal yang
mereka ingini, sekaligus mereka hindari. Maka tempat tinggal dan kerja yang
saling berjauhan adalah hal yang mereka sesali, sekaligus syukuri. Sebagai
manusia, mereka juga merasakan hal yang sama seperti orang umumnya jatuh cinta,
bedanya mereka tidaklah memperturutkan nafsu dan keinginannya. Mereka berusaha
untuk saling menjaga dan terjaga, salah satunya dengan membatasi frekuensi
bertemu dan berkomunikasi karena melalui dua hal ini pula setan seringkali menyusupkan
tipu dayanya.
“Siapa yang akhirnya beruntung mendapatkanmu?” tanya rekan
di sebelah kiri Ahmad.
“Kalau dibilang beruntung, barangkali aku yang lebih
beruntung,” jawab Ahmad sambil tersenyum. “Bukan soal untung rugi, kami sama-sama
mensyukuri telah dipertemukan kembali melalui jalan yang tak pernah kami duga
sebelumnya. Meski banyak perbedaan, tapi kami berusaha untuk saling mengerti,
memahami dan - insya Allah - melengkapi.”
“Dipertemukan kembali? Kalian sudah saling kenal sebelumnya?”
“Kenal dekat sih tidak. Waktu SMP kami satu sekolah, tapi
beda kelas.”
Dua rekan di samping Ahmad ber-o.. bareng.
“Kapan kalian akan mengundang kami?” kali ini rekan di sebelah
kanan Ahmad yang bertanya.
“Rencananya, acara tasyakuran di Tangerang akan dilaksanakan
setelah ijab qabul, tanggal 23 Desember 2012. Tiga minggu berikutnya rencananya
kami juga akan mengadakan tasyakuran di Jakarta, tanggal 13 Januari 2013.”
“Dua kali acara? Tanggal 13?”
“Ya, insya Allah. Hanya acara biasa, sederhana saja. Selain
sebagai perwujudan syukur kami atas anugerah yang indah ini, juga mudah-mudahan
bisa dijadikan sarana silaturahmi dengan keluarga dan teman-teman lama.
Alasan kami mengadakan tasyakuran di dua tempat dan waktu yang berbeda
sebenarnya lebih pada pertimbangan kemudahan bagi para tamu undangan. Kami
tak ingin merepotkan teman dan keluarga yang
di Jakarta untuk datang ke Tangerang, begitupun sebaliknya.” Ahmad
menjelaskan.
“Soal tanggal 13 kamu serius? Kamu lupa atau sengaja?”
“Ya!” jawab Ahmad mantap. “Kenapa? Kalian takut dengan
tanggal itu?” Ahmad balik bertanya.
Yang ditanya diam seribu bahasa.
“Kalau benar 13 adalah angka sial, mungkin ibu akan berusaha
keras untuk menunda atau mempercepat kelahiranku sehari agar aku tak terlahir
di tanggal 13. Tapi nyatanya tidak. Mereka juga tidak merekayasa atau
berkompromi dengan petugas kelurahan untuk mengganti tanggal kelahiranku, dari
13 ke tanggal lainnya, toh aku tidak tahu dan tidak akan protes kala itu." Ahmad tersenyum. "Bagiku angka atau tanggal 13 tidaklah
berbeda dengan angka dan tanggal-tanggal lainnya. Kalaupun ada kejadian tidak
menyenangkan terkait angka atau tanggal tersebut, sungguh bukan karena angka
dan tanggalnya tapi karena sudah menjadi ketetapan- Nya. Tangis dan tawa, suka
dan duka, bahagia ataupun derita adalah bagian dari hidup kita.”
Untuk sesaat suasana benar-benar hening, tak ada yang
bersuara.
“Begini, kami berharap sekali kalian bisa hadir, mendoakan semoga
cita –cita kami membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah , wa rahmah Allah
berkahi. Mohon doanya pula semoga dimudahkan setiap perkara, dilancarkan setiap
urusan sehingga apa yang kami rencanakan dan ikhtiarkan berjalan sesuai dengan yang
kami harapkan. Amin.”
“Insya Allah kami akan datang. Kalaupun tidak di dua-duanya,
kami usahakan datang di salah satunya. Tapi ngomong-ngomong, mana undangan resminya?”
Dua rekan di samping Ahmad terkekeh. Aku pelan mengikuti mereka.
“Undangan saat ini masih dalam proses pencetakan. Begitu
selesai, akan segera kami bagikan. Insya Allah.”