10 Feb 2012

Bukan Merayakan, Tapi Memperingati

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di blog Om Trainer, kemudian beberapa hari yang lalu dipublikasikan di eramuslim.com dan insya Allah menyusul di kotasantri.com, dan sengaja hari ini saya publish kembali di sini tiada maksud lain semoga bisa dipetik hikmah di baliknya. Dan bila di eramuslim tulisan ini ternyata memancing berbagi komentar, mari kita 'belajar bersama' dari tulisan yang saya sadari tiada lepas dari salah dan khilaf ini. Silahkan berpendapat, dengan dewasa.

“Bunda…Bunda! Di depan mushola aku lihat ada tenda, memangnya ada yang mau hajatan, Bunda?” tanya Ade yang baru pulang dari sekolah.

“O…itu bukan tenda untuk hajatan, Sayang! Tapi untuk pengajian nanti malam.” jawab Bunda yang sedang menyiangi tanaman hias di halaman.

“O, iya. Ade lupa! Nanti malam kan kita akan merayakan hari kelahiran nabi Muhammad saw. Benar kan, Bunda?”

“Bukan merayakan, tapi memperingati.” Bunda mengoreksi.


“Apa bedanya, Bunda?”

“Ya jelas beda, Sayang. Dalam Islam hanya ada dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Di luar itu tidak ada lagi perayaan. Yang ada peringatan, seperti maulid nabi dan isro mi’roj.” Bunda yang sudah selesai menyiangi tanaman menghampiri bungsunya yang duduk di teras, melepas sepatu.

“Pengajian nanti malam diadakan bukan untuk merayakan hari kelahiran nabi, karena hal ini tidak pernah dicontohkan apalagi diperintahkan oleh nabi. Yang kita lakukan adalah mengadakan pengajian umum dengan menjadikan kelahiran nabi sebagai tema dan topik pembicaraan. Meski secara khusus hal ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, tapi tidak ada salahnya jika kita menjadikan momen bersejarah ini untuk mengadakan satu kegiatan yang bermanfaat, dan tentu saja bernilai ibadah. Memperingati bertujuan agar kita ingat. Ingat akan sesuatu yang penting, terlebih sejarah nabi Muhammad saw yang kita cintai. Aneh bila kita mengaku cinta nabi, tapi sejarah hidup beliau, mulai dari lahir hingga wafat, kita tak tahu. Profil selebritis saja banyak yang hafal, masa' nabi sendiri malah tidak tahu atau justru tidak mau tahu. Astaghfirulloh!” panjang lebar Bunda menjelaskan.

“Nanti malam kita datang ke pengajian di mushola kan, Bunda?”

“Insya Allah. Ayah dan Kakak juga.”

“Aku nda bisa, Bunda. Ada banyak PR yang harus secepatnya dikumpulkan." Merasa dirinya disebut-sebut, Kakak yang sedang asyik membaca buletin olah raga, spontan menyela.

“Kakak…sekarang baru jam tiga, masih banyak waktu untuk menyelesaikan PR mu. Kerjakan sekarang, biar nanti malam kita bisa sama-sama datang ke pangajian!”

“Nanti malam aku juga harus belajar, Bunda” Kakak kembali beralasan.

“Seingat Bunda kamu tidak pernah belajar kalau malam Minggu. Khusus di malam Minggu, Ayah selalu membebaskan kalian untuk istirahat dari kegiatan belajar. Jangan cari-cari alasan lagi!”

Mendengar Kakak dimarahi Bunda, Ade cekikikan. Menjulurkan lidah ke arah Kakak lalu sembunyi di balik Bunda. Dalam situasi lain, Kakak pasti akan mengejar Ade dan mengitik-itik pinggangnya sampai teriak minta ampun, kegelian. Tapi kali ini Kakak hanya bisa geram, bahkan sekedar melototpun ia tak berani. Otaknya kembali bekerja, sibuk mencari-cari alasan.

“Kita hanya mau mendengarkan pengajian kan, Bunda? Kalau begitu aku ndengerin dari rumah saja. Rumah kita kan dekat, tak lebih dari seratus meter, pasti kedengeran. Malah enakan di rumah, bisa sambil tiduran dan nonton tv. Ups!” Kakak keceplosan. Buru-buru ia menutup mulutnya, berharap Bunda tidak mendengar alasan terakhirnya. Sayangnya Bunda sangat jelas mendengar apa yang baru saja ia ucapkan.

Ade kembali cekikikan, menertawakan alasan Kakak yang justru membuat Bunda melotot. Kakak tersenyum kecut, menyesali keceplosannya.

“Kakak ini bagaimana, masa ikut pengajian sambil tiduran, malah nonton tivi segala. Suara pengajian memang bakal sampai ke rumah ini, tapi jika kita hanya mendengarkan dari rumah, kita akan melewatkan banyak kesempatan, kehilangan banyak keuntungan.”

Ade berhenti cekikikan, menatap Bunda, menunggu penjelasan.

Pertama, setiap langkah menuju majelis ilmu dan pengajian akan dihitung sebagai ibadah, dibalas dengan satu pahala kebaikan, dihapus satu keburukan. Kedua, dengan mendatangi majelis ilmu dan pengajian, kita dapat bersilaturahim dengan saudara dan tetangga kita. Kesibukan sehari-hari sering menjadi kendala untuk saling mengunjungi. Di majelis inilah saat dan tempat yang tepat untuk bersilaturahim. Ketiga, selama kita duduk di majelis ilmu dan pengajian, malaikat akan mendoakan dan Allah akan merahmati kita. Keempat, dengan mengikuti majelis ilmu dan pengajian, rejeki kita akan bertambah. Kalian bisa lihat kan, banyak makanan yang dihidangkan untuk para jamaah yang datang? Tentu saja ini jangan dijadikan tujuan utama. Tapi yang jelas keberkahan rejeki akan lebih terasa jika dinikmati bersama-sama. Dan masih banyak keuntungan serta keutamaan lainnya. Masihkah Kakak akan melewatkan kesempatan berharga ini?”

“Iya deh, Bunda. Insya Allah nanti Kakak ikut.” akhirnya Kakak nyerah. Bukan nyerah, tapi Kakak sadar bahwa apa yang Bunda jelaskan adalah benar.

Yes!” Ade berteriak girang.

“Nah, begitu dong! Ayah dan Bunda tidak mau anak-anak Bunda kelak terpisah dari kami di surga.” Bunda tersenyum, mengemasi gunting dan sapu untuk disimpan kembali di gudang.

Masih agak kesal, Kakak hanya mengangguk menanggapi Ade yang langsung rusuh, sibuk mengajak Kakak pakai sarung dan baju koko kembar, lupa bahwa badan Kakak tak lagi sekecil tahun lalu. Bila dilihat dari fisiknya, Kakak dan Ayah terlihat seperti saudara, adik kakak.


Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri