20 Jun 2011

Antara Kebutuhan dan Keinginan

GENDUK baru saja mengambil handphone ketika samar-samar terdengar suara motor Pa’e. Suara itu semakin mendekat, dan Genduk tak perlu lagi menelpon karena yang ia tunggu telah datang.

“ Aku ranking berapa, Pa’e? “ tanya Genduk usai menjawab salam dan mencium tangan Pa’e.

Genduk sangat optimis bakal naik kelas, tapi ia agak ragu apakah masih bisa mempertahankan peringkatnya atau tidak. Ada Denok dan Thole yang bersaing ketat, ingin mencicipi peringkat yang tak pernah lepas darinya. 

“ Alhamdulillah, selamat ya! “ jawab Pa’e sumringah.

Pa’e menyodorkan raport yang baru saja diambilnya. Genduk terlihat lega, wajahnya begitu ceria. Ia cukup puas nilai yang tertera di sana. 

“ Siapa saja yang masuk sepuluh besar, Pa’e?” 


Pa’e sudah menduga kalau Genduk bakal menanyakan ini, karena itu Pa’e tak lupa mencatat nama-nama yang masuk peringkat sepuluh besar. Tidak seperti jaman Pa’e sekolah dulu, kini ranking tidak ditulis di raport, tapi diumumkan atau dicatat di papan tulis sesaat sebelum raport dibagikan. Itupun hanya untuk sepuluh siswa yang menduduki peringkat teratas. 

Pa’e membuka catatan di handphone dan memberikannya pada Genduk.

“ Kasihan si Denok, dia belum bisa ranking satu “ gumam Genduk setelah membaca nama teman-temannya yang masuk sepuluh besar. 

“ Lho, ranking dua kan sudah bagus. Apa kamu mau bertukar tempat dengan dia ?” tanya Pa’e heran.

Nda ngono, Pa’e! Kemarin, sebelum tes Denok bilang kalau bapak dan ibunya berjanji akan membelikan sepeda motor baru jika dia bisa ranking satu !”

“ Sepeda motor?” Pa’e terkejut. Pa’e tahu Genduk tidak berbohong, setidaknya itulah yang dikatakan Denok, temannya. Tapi Pa’e bingung, apakah perlu sejauh itu memberikan rangsangan kepada anak agar lebih semangat belajar? Barangkali orang tua Denok memang mampu, bahkan lebih dari itu. Tapi bagi anak kelas lima, sepeda motor belumlah ia butuhkan, meskipun itu yang ia inginkan.

“ Tadi Denok ikut mengambil raport nda, Pa’e?” pertanyaan Genduk membuyarkan lamunan Pa’e.

“ Ya, dia datang bersama ibunya. Pantas saja ia terlihat kecewa, Pa’e pikir hanya karena belum bisa ranking satu, bukan karena kehilangan harapannya dibelikan sepeda motor baru. Memangnya teman-temanmu sampai segitunya dijanjikan akan diberikan hadiah jika bisa dapat ranking satu? Menurut Pa’e kok kurang tepat ya, bahkan sedikit berlebihan.” 

“ Iyo, Pa’e. Si Denok memang dijanjikan akan dibelikan sepeda motor jika dia bisa ranking satu. Karena itulah sejak awal semester dia sudah ikut berbagai les, termasuk les privat dengan bu guru. Kalau si Putri lain lagi, dia akan dibelikan Blackberry kalau bisa ranking satu, sedang si Thole yang doyan ngegame akan dibelikan PS 3. Pokoknya, kemarin pada heboh nyritain hadiah yang bakal mereka terima bila target ranking satu tercapai “

“ Tapi sayang, tak pernah mereka dapatkan. Iya, kan?” potong Pa’e. “ Yang ada mereka justru lebih kecewa, sudah ranking tak dapat, hadiahpun lewat. “

Nggih, betul Pa’e !”

“ Boleh saja orang tua merangsang semangat belajar anak-anaknya dengan menjanjikan hadiah ini dan itu, tapi semestinya jangan sekedar menuruti apa yang mereka inginkan, harus dipertimbangkan apakah benar itu yang mereka butuhkan. Jangan sampai juga, anak-anak terpacu semangat belajarnya hanya karena mengejar hadiahnya saja. Iya kalau berhasil, kalau gagal? Pa’e khawatir mereka akan sangat kecewa dan ujung-ujungnya mereka jadi malas belajar .“

Tak ada tanggapan dari Genduk. Genduk bisa mengerti mengapa Pa’e tak pernah menjanjikan hadiah yang muluk-muluk. Tapi meski begitu, Pa’e selalu punya hadiah kejutan. Pa’e tahu apa yang ia butuhkan, selain yang ia inginkan.

“ Atau diam-diam kamu juga ingin hadiah seperti mereka? “ Pa’e khawatir, jangan-jangan cerita teman-temannya telah mempengarui pola pikir si Genduk.

“ Ndak kok, Pa’e! Seperti yang Genduk bilang kemarin, aku minta dibelikan buku cerita saja .”

“ Pink Berry, maksudmu?”

“ Nggih, Pa’e. Dua, ya!” Genduk nyengir.

Belakangan selera baca Genduk memang mulai berubah. Seiring usianya, ia mulai senang membaca cerita bergenre remaja, salah satunya Pink Berry club. Awalnya Pa’e agak ragu, apakah buku semacam ini cocok untuk Genduk. Tapi setelah membaca sekilas, Genduk sudah layak untuk membaca buku seperti ini, dengan satu syarat harus lulus sensor Pa’e dulu sebelum membeli dan boleh membaca asal tidak mengganggu kegiatan belajar maupun ngajinya.

“ Menurut Pa’e, ada satu yang kamu butuhkan, tapi Pa’e nda tahu apakah kamu menginginkannya atau tidak “

“ Ya, kalau buku, tas, sepatu dan alat-alat tulis kan sudah kewajiban, Pa’e “ Genduk kembali nyengir.

“ Bukan! Bukan itu maksudku “

“ Lha, opo meneh tho Pa’e! “ Genduk bingung.

“ Mm….” Pa’e berhenti sebentar, sengaja agar Genduk penasaran. “ Selain buku dan perlengkapan sekolah, apa kamu tidak butuh ibu baru ?” 

“ Gimana ya? Aku memang membutuhkan, tapi sepertinya saat ini aku belum menginginkan “ jawab Genduk diplomatis.

“ Hahaha….kamu bisa saja! Ya sudah,lupakan! Lagian Pa’e juga cuma bercanda saja “ Pa’e terbahak.

“ Kapan kita ke toko buku?” Genduk mengalihkan pembicaraan.

“ Inysa Allah besok, sekalian kita ke perpustakaan, mengembalikan buku-buku yang kemarin kamu pinjam. Tapi untuk sementara jangan pinjam lagi, minggu depan Pa’e masuk pagi, nda ada waktu untuk mengembalikan ke perpustakaan. Sebaiknya kamu gunakan liburanmu untuk melengkapi rangkuman pelajaran kelas lima yang belum selesai kamu kerjakan. Jadi, pas masuk sekolah nanti kamu sudah siap untuk merima pelajaran kelas enam. Ok?”

“ OK! “

Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri