20 Jul 2010

Bukan Pilihan, Tapi Kewajiban

Pagi itu Pa’e dan Bu’e sedang menikmati sarapan pagi mereka berupa kopi, teh hijau dan pisang goreng hangat, ketika sebuah suara mengucapkan salam di depan rumah petaknya yang harus diperpanjang ijin tinggalnya setiap bulan.

“Assalamu’alaikum “ suara diluar tidak begitu keras tapi terdengar cukup jelas. Bila diperhatikan dari suaranya, tamu yang datang pagi itu adalah seorang anak kecil dan Bu’e hafal betul dengan suara itu.

“ Waalaikum salam “ jawab Bu’e sambil beranjak menuju pintu, membukanya lebih lebar lagi. Pa’e tetap asyik menyeruput kopi tubruk kesukaannya. Tak begitu jelas apa yang dibicarakan Bu’e diluar sana, tapi yang Pa’e lihat dengan sangat jelas adalah bahwa kemudian Bu’e masuk dengan membawa sebuah piring berisi empat potong brownies. Mm…yummi!, Pa’e membatin.


“ Siapa yang datang Bu’e, kok cuma piringnya yang diajak masuk. Kemana orangnya?” tanya Pa’e sambil terus melihat ke arah piring yang diletakan Bu’e di sebelah pisang goreng. Di mata Pa’e, pemandangan ini jarang sekali terlihat, barangkali masuk dalam delapan kejaiban dunia. Hihihi… Sepiring pisang goreng dan sepiring brownies dengan segelas kopi tubruk di tengahnya. Tanpa ditanyapun, Pa’e jelas menunjukan ketertarikannya pada pendatang baru nan legit ini.

“ Tadi itu si Putri, dia hanya mengantarkan brownies ini dan langsung pamit pulang. Katanya dia mau siap-siap ke sekolah. Hari ini kan hari pertama dia masuk sekolah lagi “ jawab Bu’e sambil mengambil sepotong brownies, beradu cepat dengan Pa’e yang lebh dulu berhasil meraih sepotong brownies. Kasihan nasib si pisang goreng, sebelum datang brownies, dialah primadona Pa’e dan Bu’e. Tapi kini melihat sebelah matapun belum – bukan tidak, sebab nanti setelah brownies itu kandas maka tak bia dipungkiri perhatian mereka akan kembali kepada sang pisang, persis seperti nasib istri tua yang kudu ekstra sabar menghadapi ulah sang suami yang sedang terbuai pesona istri muda. Ups! Kok jadi ngelantur.

“ Putri? Putri anak bapak dan ibunya? Maksudku, anaknya kang Dulah seberang lapangan ping pong eh, bulu tangkis?” tanya pa’e mencoba meyakinkan diri. Rupanya ada sesuatu yang membuat pa’e merasa wajib mengkonfirmasikan antara apa yang dilihatnya sekilas tadi dengan apa yang dikatakan Bu’e. Apakah itu? Tenang, karena tanpa harus menunggu bedug maghrib, pa’e sudah berinisiatif membeberkan mosi tidak percayanya. Hihihi..“ Sekilas tadi aku lihat anak itu berjilbab, apa memang Putri sekarang sudah mengenakan jilbab? Setahuku kemarin sore dia masih main sama teman-temannya, dan aku yakin tidak mengenakan jilbab. Selama ini kan kalau mau ngaji saja dia memakai jilbabnya “ Pa’e memborbardir Bu’e dengan pertanyaan yang tak sempat direkam Bu’e. Ditanya panjang lebar begitu, Bu’e anteng-anteng saja. Bahkan terlihat sangat menikmati suapan terakhir browniesnya. Setelah meneguk teh hijaunya, Bu’e baru menjawab pertanyaan Pa’e yang panjang kali lebar sama dengan luas itu. Bu’e jelas berharap tak ada satupun pertanyaan pa’e yang tak dijawabnya dengan nilai 100. Hihihi.

“ Iyo Pa’e, itu Putri anake kang Dulah. Lah, sopo meneh. Tetangga kita yang namanya Putri kan cuma anaknya kang Dulah. Kalau hari ini dia memakai jilbab, pa’e nda salah lihat. Juga yang kemarin sore pa’e lihat, itu juga Putri yang tadi kesini” jawab Bu’e muter-muter kayak komidi. Hihihi. “ Mulai hari ini, Putri akan mengenakan jilbab terus, baik ke sekolah, di rumah maupun bepergian kemana-mana” lanjut Bu’e.

“ Alhamdulillah, alhamdulillah “ jawab Pa’e dua kali. Pertama untuk tegukan kopi tubruknya yang terasa semakin pahit setelah memakan brownies. Kedua demi mendengar penuturan Bu’e bahwa Putri kini telah berjilbab. “ Akhirnya, bocah ayu itu berjilbab juga”

“ Sebenarnya pakne dan bune Putri sudah lama menyuruh Putri berjilbab, tapi Putrinya selalu merasa belum siap. Cukup lama bagi mereka untuk bisa meyakinkan Putri agar mau berjilbab, tentunya dengan penuh kesadaran bukan karena keterpaksaan. Akhirnya, hari pertama sekolah ini mereka sepakati untuk mengawali. Mestinya pas ulang tahun Putri yang ke sepuluh, tiga bulan lalu Putri akan memakai jilbab, tapi karena saat itu pakaian dan seragam Putri belum lengkap, akhirnya kang Dulah menundanya. Kang Dulah nda mau Putri memakai jilbab setengah-setengah. Pakai ketika akan sekolah, tapi dilepas ketika di rumah. Alhamdulillah, akhirnya hari pertama sekolah ini, keinginan mereka benar-benar benar-benar terkabul. Semoga Putri istiqomah dengan jilbabnya”

“ Syukurlah. Memang seharusnya perempuan itu menutup seluruh aruratnya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki kecuali wajah dan telapak tangannya. Ini kewajiban bagi muslimah, bukan sekedar pilihan. Sayangnya, beberapa muslimah beranggapan bahwa berhijab atau berjilbab itu seperti sebuah pilihan. Paling sering mereka beralasan belum siap, atau juga yang penting menjilbabkan hati dulu. Itu sih hanya alasan untuk membenarkan diri saja. Siap nda siap ya kudu dikenakan, namanya kewajiban. Apalagi muslimah yang sudah baligh. Menjilbabi hati, apa maksudnya?. Jilbab itu untuk menutup aurat yang terlihat. Kalau hati itu kan nda ada yang tahu kecuali Allah. Hati itu kaitannya dengan iman. Jika mengaku beriman, ya mestinya apa yang diwajibkan ya dijalankan. Menutup aurat, salah satunya. Nyaris tidak mungkin seseorang yang auratnya terbuka mengaku hatinya ‘berjilbab’ lah wong kewajiban dari Allah saja dia abaikan “.

Pak’e berhenti sejenak, menyerutut kopinya hingga kandas. Apa yang dilakukan pa’e selanjutnya sudah bisa di tebak. Seperti di episode yang lalu-lalu, Pa’e sibuk membersihkan serbuk kopi yang tak larut dari kumisnya yang aduhai.

“ Berjilbab itu juga jangan setengah-setengah. Jilbab itu bukan sekedar penutup rambut dan kepala, layaknya topi. Aneh jika ada orang mengenakan kerudung, tapi bajunya lengan pendek, celananyapun pendek. Sama anehnya dengan orang berkerudung tapi pakaiannya menunjukan lekuk-lekuk tubuhnya atau transparan sehingga terlihat apa yang ada dibaliknya. Juga jadi tidak benar jika seorang muslimah mengenakan jilbab secara rapi dan benar, tapi peri lakunya sama seperti wanita-wanita non muslim yang bercampur baur dengan lawan jenis non mahram, bercanda dan tertawa terbahak. Semoga Putri tidak seperti itu. Bune putri masih sering ngaji bareng Bu’e kan? Kalau ada kesempatan, sekali-sekali Bu’e mengingatkan juga sama Bune Putri. Aku terkadang nda sengaja lihat Bune putri itu masih mengutamakan mode ketimbang fungsi pakaiannya. Boleh modis, tapi harus tetap terjaga fungsi menutup auratnya dan juga ciri keIslamannya. Ajak ngobrol si Putri kalau ada kesempatan. Dan yang lebih penting, Bu’e harus menjaga pakaian Bu’e. Jadilah contoh nyata tanpa harus banyak berkata “ Pa’e menyelesaikan pesan-pesannya dengan kerlingan mata ke arah Bu’e. Diam-diam Pa’e kembali untuk yang kesekian kali mengagumi kecantikan Bu’e yang terbalut jilbab rapi.

“ Insya Allah” jawab Bu’e dengan ekspresi seorang istri sholehah sejati.

“ Ngomong-ngomong , kok Bu’e tahu semua tentang rencana Putri memakai jilbab. Apa hal seperti ini juga jadi bahan pembicaraan di warung sayurnya mbak Yem?” tanya Pa’e seakan baru menyadari dari mana Bu’e tahu semua rencana keluarga kang Dulah.

“ Yo ndak tho Pa’e. Bune Putri yang curhat kesaya. Katanya dia meyesal tidak membiasakan Putri berjilbab sejak kecil seperti anaknya teh Euis itu. Kalau saja Putri mereka biasakan berjilbab sejak kecil, tentu tidak akan sesusah sekarang menyuruhnya berjilbab“

“ Itulah salah satu kesalahan para orang tua. Terkadang mereka terlalu terpesona dengan kemolekan rupa putri kecilnya. Giliran sudah besar, jelas tidak mudah merubah penampilan mereka. Tapi yang sudah terjadi ya sudahlah, jangan jadikan alasan. Yang terpenting adalah sesegera mungkin untuk mengenakan jilbab. Dan yang perlu diluruskan, berjilbab itu bukan plihan, tapi kewajiban. Allah mewajibkan sesuatu pasti ada hikmah dan kebaikan untuk umat Nya. Jika semua muslimah menyadari ini, rasanya tak ada satupun dari mereka yang tak berjilbab. Tapi syetan memang sudah bersumpah untuk terus menggoda dan menyesatkan manusia. Salah satunya dengan mempengaruhi muslimah untuk menunda-nunda berjilbab, bahkan menggeser anggapan mereka seolah-olah berjilbab itu hanyalah sebuah pilihan, bukan kewajiban “

Bu’e mendengarkan Pa’e dengan seksama. Tak ada yang perlu dibantah, karena memang begitu pula yang ada dalam benak dan keyakinan Bu’e. Sesaat kemudian Bu’e merapikan piring dan gelas-gelas kosong, bekas sarapan pagi mereka. Sementara Bu’e membereskan piring dan gelas, Pa’e menyalakan televisi mungil yang ada di pojok ruang serba guna mereka.

Sesaat kemudian Bu’e terlihat terpaku melihat seseorang yang muncul di televisi yang baru di setel Pa’e. Siapakah seseorang itu,mengapa Bu’e sampai melihatnya seserius itu. Dan perbincangan apa lagi yang akan dilakukan Pa’e dan Bu’e, adakah kaitannya dengan sosok yang dilihat Bu’e di televisi? Temukan jawabannya dalam perbincangan berikutnya, insya Allah.


Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri