14 Jun 2010

Hafalan Pak Didi

Selamat datang di mushala kami, mushala Baiturrahiim. Silahkan anda pilih tempat shalat di mana anda suka, asal jangan di ujung kiri shaf pertama. Tempat itu sudah dibooking secara eksklusif oleh pak Didi.”

Sambutan di atas sebenarnya hanyalah candaan saja. Jelas, aku hanya bergurau meskipun ada benarnya juga. Tentu saja di mushala kami -dan juga mushala mana pun-, siapa pun bebas beribadah di sebelah mana pun tak peduli jama'ah tetap ataupun yang kebetulan singgah. Sedangkan benar yang aku maksudkan adalah bahwa di mushala kami, tempat di ujung kiri shaf pertama hampir tak pernah ditempati oleh jama'ah lain (selalu lebih dulu di tempati oleh pak Didi), seakan tempat itu sudah ‘di-booking’ secara ekslusif oleh pak Didi.

Pak Didi, lelaki berusia lebih dari 60 tahun yang nikmat penglihatannya kini sudah diambil kembali oleh Sang Pemilik Sejati ini, memang selalu menempati tempat tersebut. Wajar jika pak Didi mendapatkan shaf pertama karena beliau selalu (sering) menjadi orang pertama yang hadir di mushala. Terlebih jika shalat subuh, beliaulah yang selalu melantunkan shalawat, membangunkan jama'ah lain yang masih terlelap dalam tidurnya. Dan ujung kiri adalah tempat yang paling mudah dijangkau olehnya yang selalu datang dari pintu sebelah kiri, berjalan meraba tembok dan berhenti ketika jangkauan tangannya menyentuh dinding bagian depan.

Pak Didi, pria santun yang beberapa waktu lalu pernah aku tulis kisahnya lantaran rumus  90 Langkah Menuju Mushola-nya. Pak Didi yang tetap istiqamah shalat berjama'ah di mushala, meskipun untuk sampai di sana beliau harus meraba dan menghitung langkah kakinya karena kedua mata fisiknya tak mampu lagi membedakan gelap dan terang. Bukan, bukan karena tak ada keluarga yang mengantarkan, tapi karena pak Didi lebih senang berangkat ke mushala sendiri (khususnya untuk shalat Subuh, sedang untuk shalat-shalat lainnya pak Didi sering diantar oleh istri atau cucunya). Pak Didi yang telah membukakan kesadaranku, memberiku semangat untuk terus shalat berjama'ah di mushala. Dan jika kini aku mencoba kembali menulis tentangnya, semua karena ‘hobi’ barunya.

Seminggu terakhir, pak Didi sedang rajin menghafalkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Kalau surah Yaasiin sudah lama beliau hafal. Yang sekarang sedang menarik minatnya untuk dihafalkan adalah surat An-Nisaa’ ayat 59–60. Pernah aku bertanya ada apa dengan ayat ini, sehingga beliau tergerak untuk menghafalkannya, apakah ayat-ayat sebelumnya sudah hafal semua ataukah ada pengalaman khusus dengan ayat ini? Dengan tersenyum ramah (salah satu ciri khasnya), beliau katakan bahwa sebenarnya ayat-ayat lainnya belum hafal, tapi beliau tertarik untuk menghafal ayat tersebut lantaran beliau pernah mengikuti sebuah pengajian yang kebetulan membahas ayat tersebut.

Bagaimana pak Didi belajar menghafal, sedangkan membaca pun beliau tak bisa? Adalah Haji Sidik atau terkadang pak Minong yang sering mendampingi pak Didi menghafal, sambil menunggu datangnya waktu Isya. Dan meski sudah tergolong ‘sepuh’, daya ingat pak Didi ternyata masih cukup kuat. Itu kuketahui ketika kemarin malam aku dimintanya untuk mendampingi beliau menghafal surat An-Nisa ayat ke-59 dan 60. Kebetulan malam itu hanya ada aku dan pak Didi, jama'ah lainnya yang biasa mengaji sudah pada pulang, barangkali ada satu keperluan sehingga mereka baru datang kembali beberapa saat sebelum adzan Isya berkumandang. Dua ayat yang cukup panjang ini mampu dihafal pak Didi dengan baik. Aku menyimak hafalan pak Didi sambil membuka Al-Qur'an. Hampir semuanya betul, hanya ada beberapa yang tajwidnya kurang pas (menurutku).

Selanjutnya pak Didi meminta agar aku membacakan ayat selanjutnya. Dan subhanallah, hanya beberapa kali kubacakan, pak Didi langsung bisa menghafalnya. Bahkan, secara tak sengaja aku pun jadi ikut menghafalkan, meskipun baru satu ayat. Alhamdulillah.

Satu hal yang kudapat dari belajar menghafal bersama pak Didi malam itu. Semangat pak Didi yang menggebu, dan ini membuatku merasa malu. Aku teringat masa kecil di kampung dulu, almarhum Romelan mengajari kami menghafal juz Ama. Hampir semua surat-surat di juz ke-30 berhasil kami hafalkan meskipun baru sebatas hafalan tanpa mengerti arti dan kandungannya. Tapi kini, astaghfirullah! Tinggal beberapa surat yang masih kuingat, itupun terbatas pada surat-surat yang biasa kubaca di setiap shalat.

Pernah beberapa waktu yang lalu, aku mencoba menghafalkan kembali surat-surat pendek ditambah dengan artinya. Namun sayang, hafalanku terhenti di surat Al-‘Ashr. ‘Kesibukan’ duniawiku menjadi alasannya. Astaghfirullah, ampuni aku ya Allah.

Dan malam itu, ketika pak Didi meminta (tepatnya mengajakku) menghafal bersama, muncul sebuah keinginan untuk kembali membenahi hafalanku yang dulu. Bukan hanya hafal bacaannya, tapi juga artinya. Dengan mengerti artinya, mudah-mudahan ke depannya bisa memahami kandungannya, insya Allah. Terima kasih pak Didi, kembali untuk kedua kalinya engkau telah membukakan kesadaran sekaligus memberikan semangat padaku. Semoga Allah menetapkan hidayah itu padamu, juga kepadaku. Amin.

***

Kudedikasikan tulisan ini untuk pak Didi, semoga engkau adalah orang yang dimaksudkan oleh Rasulullah dalam sabdanya berikut ini.

Dari Anas RA, katanya : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah 'Azza wa jalla berfirman : Jikalau Aku memberi cobaan kepada hambaKu dengan melenyapkan kedua matanya -yakni menjadi buta-, kemudian ia bersabar, maka untuknya akan Kuberi ganti syurga karena kehilangan keduanya, yakni kedua matanya itu." (Riwayat Bukhari).

* Tulisan ini sebelumnya pernah saya publikasikan di  eramuslim  dan kotasantri





Gambar diambil dari : sini

Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri