Pertemuan tak sengajaku dengan seorang kawan
lama menghadirkan kembali sepenggal cerita saat kami masih menjemput rejeki di
tempat yang sama. Bukan untuk mengungkit rasa sakit, atau mengabadikan kenangan
pahit, tapi untuk mengingatkan diri bahwa tidak selamanya perbedaan itu salah
dan harus dipermasalahkan.
Hari masih pagi, bahkan aktifitas di ruang
berukuran empat kali delapan meter itu belumlah dimulai. Tapi tanpa pernah aku
merasa memesan, Fulan datang membawa ‘kopi pahit’ untukku. Entah apa yang terjadi
sebelumnya, tapi kata-katanya yang nyaris tanpa jeda sempurna membuatku bungkam,
terdiam.
“Kenapa kamu tidak bersama kami?” itu inti
dari semua ‘pidato’nya. Melihat bagaimana ia membawakan, sepertinya konsepnya
telah jauh-jauh hari ia siapkan.
Pertanyaan sebaliknya, kenapa kalian tak
bersamaku, urung aku lontarkan. Jelas itu bukan jawaban sekaligus pertanyaan
yang tepat untuk diberikan pada saat emosinya mulai memuncak. Sampai ia pergi,
tak banyak yang aku ucapkan. Aku akan memberikan jawaban, penjelasan tapi tidak
dalam situasi seperti ini, penuh emosi.
Aku akui, Fulan bukan satu-satunya orang yang
mempertanyakan keputusanku. Sudah kujawab dengan sejujurnya tapi mereka tetap
tak percaya, terlanjur curiga. Sepertinya bukan jawaban yang diinginkan, mereka
terlanjur diliputi kekhawatiran yang berlebihan dan prasangka yang tak
beralasan. Aku bukanlah satu-satunya, bukan pula yang pertama, sebelumnya telah
ada orang lain yang mengambil keputusan sama.
Sebelum mengambil keputusan ‘kontroversial’
itu, aku sudah berhari-hari mempertimbangkan, berkali-kali memperhitungkan,
tapi keyakinan di hati tak memberiku alasan untuk tetap bersama mereka.
Dingin. Itu yang terasa pada hubungan kami
selanjutnya. Aku berusaha untuk bersikap senormal yang aku bisa. Menyelesaikan
tugas dan pekerjaan seperti biasa, bersosialisasi, tak terkecuali dengan Fulan,
aku terus mencoba membangun komunikasi meski – tentu saja – lebih banyak
diabaikan ketimbang mendapatkan tanggapan. Dinginnya hubungan kami ternyata tak
serta merta menurunkan suhu di hatinya.
Adalah waktu yang selalu bisa diandalkan untuk
membawa jawaban, memberi penjelasan, menghadirkan pemahaman. Perlahan, kebekuan
hubungan kami mulai mencair. Satu dua kali komunikasi di luar pekerjaan mulai
terjadi. Bahkan sebulan kemudian, kami sudah melupakan 'kopi pahit' yang membuat
lambung dan hatiku melilit dan perih.
Dan pagi itu, saat aku dipaksa berolah raga (
menuntun sepeda motor karena ban belakangnya bocor ) seseorang dari arah
berlawanan memperlambat laju motornya dan berhenti satu meter di depanku. Sebuah
senyum ramah menjadi suguhan pertama saat ia membuka helm yang dikenakannya.
Subhanallah! Hampir setahun kami tak bertemu, pagi itu Fulan muncul di depanku.
Obrolan hangatpun segera tercipta. Saling bertanya kabar keluarga, pekerjaan
dan juga rencana-rencana masa depan.
Jangan bedakan yang sama, jangan samakan yangbeda itu yang pernah kutuliskan. Ada kalanya kesamaan sangat dibutuhkan, tapi
ada saatnya perbedaan justru diperlukan. Sabar mengupayakan kesamaan, sadar
menyikapi perbedaan semestinya diutamakan. Bagaimanapun, perbedaan adalah
sebuah keniscayaan, bahkan sebuah anugerah agar kita bisa mengambil hikmah dan
pelajaran. Seperti yang kami alami, berbeda pandangan memang sempat membuat
hubungan kerja merenggang, tapi seiring hadirnya pemahaman, perbedaan yang ada
justru membuat kami semakin dewasa. Perbedaan bukanlah sesuatu yang salah, atau perlu dipermasalahkan. Bukankah pelangiterlihat indah karena warnanya yang berbeda? Jadi, meski terkadang kita tak
bisa duduk bersama, aku di sini dan kau di sana, biarkan
saja. Tak usah dipermasalahkan, karena perbedaan itu tidak selamanya salah dan
menjadi masalah.