6 Oct 2012

Jangan Biarkan Laut Biru Pasang Bergelombang

Seperti yang telah disepakati sebelumnya, malam itu bertiga kami akan pergi bersama. Dipilih rumah Fulan sebagai tempat berkumpul karena letaknya yang paling dekat dengan lokasi acara. Tak ada ketentuan jam berapa berangkat dari rumah, yang terpenting sebelum adzan Isya berkumandang kami harus sudah berkumpul di rumah Fulan. Bada’ sholat Isya di mushola Baiturrohman, dekat rumah Fulan, kami langsung menuju ke tempat acara diadakan. Jika tak salah perhitungan, kami akan tiba di lokasi beberapa menit sebelum acara dimulai.



Seperti sebuah kebetulan – padahal tidak ada satupun yang terjadi secara kebetulan, semua telah Allah atur dan tetapkan – aku bertemu temanku di depan gang. Hanya berselang detik kami turun dari angkot yang kami tumpangi. Bahkan, sejak belok dari pertigaan kantor kecamatan, angkot yang kami tumpangi melaju beriringan. 


Tiba di depan pintu rumah Fulan, sebelum kami sempat mengucap salam, kami mendengar suara seperti orang sedang marah dari dalam rumah Fulan. Sepengetahuan kami, Fulan hanya tinggal bertiga bersama istri dan anak tunggalnya, tak ada orang lain lagi yang tinggal di rumah sederhananya. Meski tidak setiap hari kami datang ke rumah Fulan, kami cukup hafal dengan suara yang baru saja kami dengar. Tak salah lagi, itu suara istri Fulan, yang entah karena ada persoalan apa, sepertinya dia sedang marah terhadap Fulan. Tapi selama kami berdiri terpaku di depan pintu - layaknya orang linglung tak tahu harus berbuat apa, mengetuk pintu atau sebaiknya balik kanan saja, membatalkan rencana - tak sekalipun terdengar suara Fulan.

Kami tak bisa menyembunyikan salah tingkah saat Fulan membuka pintu, meminta kami menunggu sebentar. Dia melambaikan tangan, menyuruh kami tak terus-terusan  meminta maaf. 

Perasaan tak enak tetap membayangi meski setengah jam berikutnya kami telah berjalan bersisian menuju tempat acara diadakan. Kami baru merasa lega setelah Fulan menceritakan duduk persoalan, mengapa sang istri marah padanya. 

“Kasihan istriku. Sehari-harinya ia mengurus anak, rumah dan menyiapkan segala keperluanku seorang diri. Sedikit sekali pekerjaan yang bisa kubantu. Sebagian besar waktuku tersita untuk pekerjaan di kantor. Barangkali rasa capeklah yang memicu emosinya tadi. Karenanya aku mengalah, memilih diam tak membantah. Terlebih sebenarnya ada faktor kesalahanku juga. Aku lupa memberi tahu rencana kita.”

“Kalian tenang sajalah, semua sudah bisa diselesaikan dengan baik. . Alhamdulillah. Setelah kujelaskan, ia bisa mengerti dan mengijinkan aku pergi. Kalian lihat sendiri bukan, istriku tadi mengantar sampai di depan pintu?. Dan maaf apabila adegan cium tangan dan kening tadi membuat kalian iri hati!.” Fulan terkekeh, sengaja menggoda kami yang memang terlihat sedikit bengong melihat adegan seperti yang Fulan sebutkan. Jika tak melihat sendiri, sulit rasanya kami percaya. Beberapa menit sebelumnya masih bertengkar, secepat itu sudah akur kembali bahkan terlihat mesra sekali. 

Ingatanku membawa pada sebuah kisah seseorang yang mendatangi rumah Khalifah Umar bin Khathab untuk mengadukan perihal sang istri yang marah-marah padanya. Namun niat itu akhirnya ia urungkan. Bagaimanalah ia akan mengadukan perihal rumah tangganya pada sang Khalifah bila beliau sendiri sedang dimarahi sang istri. Satu yang pasti, tak terdengar sekalipun suara sang Khalifah menjawab omelan sang istri. Itu pula yang kudapati pada Fulan. Hampir bisa kupastikan, Fulan meneladani pribadi sang Khalifah dalam mengatasi problematika rumah tangganya. Seorang laki-laki, suami, dengan segala kelebihannya bukan berarti ia harus selalu menang terhadap istri, wanita yang dengan tulus hati berusaha memenuhi tugasnya, melayani suami sebaik-baiknya.

“Apakah setiap ada masalah, secepat itu bisa kalian selesaikan?” aku tertarik untuk bertanya.

Fulan tersenyum sebelum menjawab. “Terus terang tidak. Ada kalanya kami saling berdiam diri, tapi tetap tak pernah lebih dari tiga hari. Dan bila terpaksa terjadi, kami sudah saling berjanji untuk tidak membawanya keluar rumah, ke tempatku bekerja. Meski  emosi masih tinggi, masalah belum bisa diatasi, saya selalu pamit sebelum berangkat kerja ataupun pergi kemana. Begitupun istri, walau marahnya belum habis, ia akan menjawab salamku, mengantar sampai di depan pintu, mencium tangan dan menungguku mencium keningnya.”

Subhanallah! Aku memang tak melihat sendiri apa yang barusan Fulan katakan, tapi aku tak meragukan kebenarannya. Sesungguhnya yang demikian bukanlah hal yang mustahil. Juga bukan hal yang sulit seandainya kita mau mengusahakana. Jangan biarkan masalah berlarut-larut. Kalaupun belum tuntas diselesaikan, jangan dibawa keluar rumah, sampai mengganggu pekerjaan. Tinggalkan sementara persoalan, gunakan waktu jedanya untuk saling berinterospeksi. Bukan tidak mungkin, ketika kembali ke rumah, masalah bisa langsung diselesaikan karena masing-masing telah menyadari, mengerti dan juga memahami.

Ada satu kalimat dari Fulan yang akan terus kuingat. Barangkali Fulan mencupliknya dari judul atau syair sebuah lagu, tapi apapun itu menurutku sangatlah bijak. Fulan katakan, ketika perselisihan suami istri terjadi, pertengkaran tak bisa dihindari, jangan biarkan laut biru pasang bergelombang. Jangan sampai emosi semakin meninggi karena masing-masing tak mau mengalah, mengerti atau setidaknya mendengarkan. Pasti akan ada waktu untuk menjelaskan. Jangan maunya didengarkan, sediakan waktu pada untuk mendengar penjelasan. Banyak masalah menjadi jauh lebih besar  dari semestinya karena masing-masing maunya didengarkan, tak mau mendengarkan sehingga penjelasan yang semestinya bisa menyelesaikan justru memperparah keadaan.

Satu kesadaran, sekaligus pelajaran kudapatkan dari  ( rumah tangga ) Fulan. Sama, setiap rumah tangga tiada lepas dari permasalahan. Berbeda pandangan hingga berselisih dan bertengkar adalah bumbu-bumbu dalam berumah tangga. Tapi apa yang menjadi penyebab dan bagaimana mengatasinya, itu yang berbeda. Dan satu nasihat bijak , jangan biarkan laut biru pasang bergelombang, yang selama ini Fulan terapkan dalam rumah tangganya patut kiranya diterapkan dalam rumah tangga kita. Bagaimanapun, marah tak akan menyelesaikan masalah. Masalah lebih mudah diselesaikan bila salah satu pihak mau mengalah, jangan terpancing emosi walau sebenarnya berada di posisi yang benar. 


Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri