30 Aug 2012

Membangun 'Menara' Sabila #4


Dua puluh hari bersamamu, berpuluh-puluh pelajaran dan kenangan kudapat darimu, Sabila.


Aku percaya  bahwa bulan dan matahari beredar pada garis edarnya, sesuai dengan yang ditetapkan penciptaNya, tiada yang satu mendahului yang lainnya. Tapi aku merasa dua puluh hari terakhir  ini berjalan lebih cepat dari biasanya. Dan salah satu penyebabnya adalah kehadiran Sabila yang mendapatkan libur lebaran selama dua puluh hari sekolahnya, ponpes modern Daar El Qolam 3.

Banyak kejadian tak terlupakan yang tercipta selama libur lebaran bersamanya. Ada haru, lucu, dan entah apa kata yang tepat untuk menggambarkannya.


Ada kalanya aku terkekeh bahkan terpingkal-pingkal saat Sabila bercerita polah tingkah teman-teman asramanya. Salah satunya cerita tentang Bila dan Febri yang terlihat pucat pasi karena mengira jejak kaki yang mereka lihat di kamar mandi salah satu asrama yang belum ditempati adalah tapak kaki anak jin penunggu asrama. Seperti teman-teman Sabila lainnya, akupun tak kuasa menahan tawa mendengar penjelasan Sabila bahwa jejak itu adalah jejak kakinya yang sebelumnya mandi di sana karena kamar mandi di asramanya terlalu antri. Hal ini sebenarnya sudah biasa, kamar mandi di asrama kosong itu menjadi kamar mandi umum bagi siapapun yang tak mau kehabisan waktu hanya untuk antri. Entah apa yang ada dalam benak keduanya, yang jelas mereka memilih balik kanan, tak jadi mandi gara-gara melihat 'jejak kaki anak jin' yang sebenarnya adalah bekas jejak kaki Sabila. Hahaha….

Pernah juga aku harus berjuang menahan air mata saat Sabila bercerita bahwa lima hari terakhir sebelum kujemput, ia tak memegang uang serupiahpun karena ada satu kejadian yang tak diinginkan. Ada yang tanpa permisi mambantu ‘menyimpan’ atau ‘menghabiskan’ bekal uangnya. Atau rasa haru saat kudapati perubahan positif pada diri Sabila yang meski kecil dan sederhana, namun memberiku kesadaran bahwa bukan hal-hal besar yang diinginkan orang tua dari anaknya, cukuplah hal kecil yang dilandasi kepatuhan, maka yang seperti ini sungguh menyentuh perasaan. Juga keharuan yang tak bisa disembunyikan ketika ia mengangguk, tak sedikitpun protes saat kukatakan bahwalebaran kali ini kami rayakan di Tangerang, jauh dari keramaian, berkumpul dengan belasan sepupunya.

Kejadian 'tak biasa' juga sempat kami alami di lebaran hari kelima. Pagi itu kami terpaksa sarapan pagi dengan nasi setengah hangus karena rice cooker yang setiap hari kugunakan untuk menanak nasi tutupnya terbuka sendiri sehingga beras yang kumasak tak sempurna menjadi nasi. Coba kumasak ulang dengan menambahkan air, ternyata gagal. Penasaran, coba kumatangkan secara manual, meminjam panci Budenya Sabila, justru akhirnya si panci malah terbakar karena air yang kumasukan terlalu sedikit. Aku hanya bisa menyeringai saat Sabila bertanya mengapa nasi yang kami makan aromanya berbeda dari biasanya.  “Sekali-kali kita perlu berinovasi, termasuk mencoba sarapan dengan nasi setengah hangus.”

Hal lain yang tak terduga adalah insiden kecil di Pantai Tanjung Pasir, salah satu objek wisata di pantai utara kabupaten Tangerang. Seorang awak perahu penyebarangan ke Pulau Untung Jawa di Kepulauan Seribu tak sengaja merusak suasana hati Sabila, mengacaukan acara rekreasi kami dengan prasangkanya. Tentang hal ini insya Allah akan kuceritakan nanti, di postingan tersendiri.

Dan hari ini, 30 Agustus 2012 adalah saatnya Sabila kembali masuk asrama, meneruskan pembangunan 'menara'nya. Jika saat pertama mengantar Sabila dua bulan yang lalu hatiku terasa ringan, maka kali ini sebaliknya. Ada rasa berat walau Sabila justru terlihat ceria karena bertemu kembali dengan teman-temannya.

Bersama kakak, Budenya Sabila, bada dzuhur kami antar Sabila kembali ke asramanya. Tak seperti saat kujemput dua puluh hari yang lalu, sepanjang perjalanan siang ini minim sekali obrolan. Aku yang belum sempat tidur sekejappun setelah kerja malam, mencoba berkonsentrasi di jalanan yang nyaris tak ada jeda dari kemacetan. Rangkaian kejadian dan kenangan selama dua puluh hari terakhir berputar kembali dalam ingatan, bergantian. Tepat ketika adzan Ashar berkumandang, kami kembali memasuki area Kampus Dzar Izza di ponpes Daar El Qolam. Alhamdulillah, kami sampai dengan selamat dan yang kami datangipun masih seperti terakhir kami mengunjunginya. Beberapa orang teman yang melihat kedatangan Sabila menyambutnya dengan gembira. 

Dan ketika perpisahan itu harus terjadi ( lagi ), sekuat tenaga aku menata hati, berusaha terlihat tabah di depan Sabila. Tak ingin kesedihanku melemahkan semangat Sabila mengejar cita-citanya. Dan untuk urusan seperti ini, untuk kesekian kali aku belajar darinya. Ia terlihat tegar, bahkan tersenyum melambaikan tangan saat kami berpamitan pulang.

Selamat tinggal, Sayang. Kejarlah cita-citamu, bangun terus menaramu.  Semoga dengan segala ke Maha-annya, Allah mengabulkan impianmu, yang juga menjadi harapanku. Amin.
 

Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri