6 Aug 2012

? + ? = 10

Di awal Ramadhan, beberapa rekan kerja Fulan terlihat serius dalam obrolan. Perbedaan penatapan awal Ramadhan yang mereka bicarakan. Dua hari kemudian, mereka kembali terlibat dalam obrolan.  Kali ini beda jumlah rokaat sholat tarawih yang mereka permasalahkan. Dan terakhir, kemarin, mereka membahas tentang bacaan qunut di rokaat terakhir sholat witir yang dilakukan setelah pertengahan Ramadhan. 


Mentah, selalu tak ada kesimpulan atau yang bisa memberi jawaban yang memuaskan. Selalu begitu. Selain minim ilmu, bagi mereka semua perbedaan ini lebih menarik untuk diperdebatkan ketimbang dipelajari dan  dipahami. 

Adalah Fulan, yang akhirnya turun tangan, memberikan pemahaman dan pengertian bagaimana menyikapi perbedaan. Tak perlu diperdebatkan, masing-masing memiliki dasar. Tidak menutup kemungkinan, meski berbeda tapi sama-sama benar. Kita yang tak berpengetahuan tak perlu ikut-ikutan menghujat dan menghakimi. Ikuti saja yang mana yang diyakini.

“Penentuan awal dan akhir puasa bisa dilakukan dengan dua cara yaitu  hisab dan rukyat. Tidak bisa dipungkiri, meski pemerintah telah membentuk badan hisab dan rukyat yang khusus menangani hal ini, masih saja terdapat perbedaan penetapan awal dan akhir Ramadhan. Saya pribadi memilih untuk tidak ambil pusing. Saya tidak menguasai ilmu falaq, juga tidak mempunyai alat untuk melihat hilal. Karenanya saya mengikuti mana yang lebih saya percaya, tak masalah walau kemudian dengan tetangga saya berbeda. Saya kembalikan kepada Allah, karena Dia lah yang berhak menilai puasa saya.” Demikian jawaban Fulan saat seorang rekan bertanya mana yang ia ikuti atas perbedaan penetawan awal puasa.

Fulan juga menambahkan, “Ada kesalah kaprahan di masyarakat yang perlu diluruskan. Angapan bahwa yang berpuasa lebih awal pastilah termasuk golongan atau organisasi keagamaan ini, sedang yang lain termasuk golongan atau organisasi keagamaan yang itu. Haruskah atas nama organisasi atau golongannya, seseorang mengingkari hasil penglihatan dan atau perhitungannya hanya karena sama dengan mereka yang organisasi atau golongannya berbeda? Bagi saya tak ada masalah bila ‘kebetulan’ apa yang saya yakini ternyata sama dengan organisasi yang lain. Apalah arti organisasi di mata Allah?”

Menanggapi jumlah rokaat sholat tarawih, Fulan memberi jawaban, “Saya heran dengan orang yang masih mempermasalahkan hal ini. Delapan atau dua puluh, dua-duanya memiliki dasar dan insya Allah, dua-duanya benar. Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Rosululloh sholat tarawih delapan rokaat, tapi tidak serta merta salah ketika sekarang banyak yang mengerjakan dua puluh rokaat atau menjadi dua puluh tiga dengan witir karena ini mengikuti sahabat beliau, Umar bin Khattab. Bukan tanpa dasar beliau dan sahabat lainnya melakukan hal ini. Ingatlah, dari mereka - Khulafa ar Rasyidin – pula kita tahu tata cara ibadah yang dilakukan Rosululloh. Pilihlah yang mana yang lebih baik bagimu. Tentunya jangan karena alasan malas lalu kita memilih yang sedikit sebab meski Rosululloh melakukan sholat tarawih delapan rokaat, lamanya jauh melebihi sekarang yang dua puluh rokaat. Surat yang beliau baca panjang-panjang, tidak seperti kebanyakan sekarang yang sudah pendek masih dipercepat pula.”

“Sangat disayangkan jika sampai hari ini, karena keawaman kita yang enggan belajar agama, masih meributkan jumlah rokaat sholat tarawih, tapi tidak mau peduli untuk mengingatkan orang lain yang tidak tarawih atau lebih parahnya, karena bingung – yang dibikin sendiri - akhirnya ikut-ikutan tidak tarawih, baik sendiri di rumah, apalagi berjamaah di masjid dan mushola.  Bagaimanapun, dengan masing-masing memiliki dasar pemikiran, ulama memperkenalkan istilah ganawu’ al-ibadah, yaitu keragaman cara beribadah yang diajarkan atau dipraktikan Nabi saw. , dimana semuanya benar, insya Allah. Saya terkesan dengan sebuah analogi yang pernah saya baca bahwa dalam rincian ibadah, yang ditanyakan bukan ‘berapa hasil penambahan lima tambah lima?’, karena yang ini jawabannya tentulah sepuluh, tapi yang ditanyakan  ‘sepuluh hasil berapa ditambah berapa?’ Tentu saja ada banyak jawaban yang benar untuk pertanyaan ini.”

“Jadi untuk apa diributkan bila ada yang membaca qunut pada rokaat terakhir sholat witir mulaii pertengahan Ramadhan. Sama halnya membaca qunut saat sholat shubuh, ada banyak riwayat yang menyebutkan bahwa nabi melakukannya, dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya. Pun membaca qunut di sholat witir, ada banyak sahabat yang meriwayatkannya meski tidak menutup kemungkinan ada sahabat yang tidak tahu atau tidak melihat sehingga mereka tidak meriwayatkan hal yang sama. Lakukanlah, insya Allah akan mendapat pahala, atau kalaupun ditinggalkan, tidak berdosa karena ia hanyalah sunah.”

“Sebenarnya orang yang mau mempelajari agama tidak akan heran bila menemukan perbedaan-perbedaan semacam ini. Tidak perlu dipermasalahkan, ikuti saja yang mana yang lebih diyakini, karena salah satu kunci ibadah adalah  harus yakin saat mengerjakannya. Janganlah dengan keterbatasan ilmu dan wawasan, lalu membuat satu pernyataan yang tidak pada kapasitasnya. Bagaimanapun, berapa di tambah berapa agar ketemu sepuluh, maka akan ada lebih dari satu jawaban yang benar. Jika masing-masing menyadari, semestinya bila nanti ada perbedaan penetapan Idul Fithri, tak ada lagi perdebatan apalagi gesekan. Janganlah karena keawaman, kita dipecah belahkan,  apalagi menggunakan keawaman itu untuk memecah belah. Pelajari agama ini lebih mendalam, agar kita tidak kagetan manakala menemukan perbedaan atau keragaman cara beribadah yang pernah Nabi ajarkan atau praktikan.” Fulan mengakhiri pendapatnya.

Bagaiaman pendapat sahabat? Tidak menutup kemungkinan jika masih ada perbedaan, dan kalau itu yang terjadi, semoga tulisan ini bisa memberi masukan, seperti kata Fulan, tanpa harus menimbulkan gesekan.

Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri