5 Jul 2012

Membangun ‘Menara’ Sabila #2

Bukan dari orang lain aku belajar ketabahan dan ketegaran, tapi dari putriku, Sabila. 
Sabtu, 30 Juni 2012
Tepat pukul delapan, ditemani kakak, adik ipar dan dua keponakan, kami mengantar Sabila ke pondok pesantren modern Daar El Qolam, Gintung, Jayanti, Balaraja yang berjarak 34 km dari tempat tinggal kami di Jatiuwung, Tangerang. Sempat mengalami macet di beberapa titik, 90 menit kemudian kami tiba di gerbang pondok, disambut puluhan santri berseragam, yang mengingatkanku pada sosok Alif dan keempat sahabatnya dalam kisah Negeri 5 Menara yang ditulis oleh A. Fuadi. Meski di tempat berbeda, namun semangat dan suasana ponpes ini mengingatkan pada Pondok Madani-nya Alif.  Jika di sana Alif dan sahabatnya mempunyai 5 menara, maka di ponpes ini Sabila mendirikan satu menara ( cita-cita ).


Tiba di aula, aku dan Sabila bergerak cepat, melakukan registrasi, mendatangi pos-pos yang semuanya disusun sedemikian rupa sehingga memudahkan santri dan walinya mengurus administrasi sebelum masuk asrama. Keceriaan terlihat di wajah Sabila sepanjang kami mengurus semua persyaratan. Sesekali kami bercanda, saling menggoda. Dan keceriaannya tidak berkurang saat seorang wali santri akhirnya bertanya, di mana ibunya? Sabila bahkan ikut tersenyum saat kujelaskan mengapa tidak seperti santri yang lain, kami hanya terlihat berdua.

Selesai urusan di Darqo 1, kami segera menuju ke ponpes Daar El Qolam 3 untuk mengurus persyaratan lainnya sekaligus registrasi kamar asrama. Seperti yang kutuliskan sebelumnya bahwa awalnya Sabila mendaftarkan diri untuk program excellent class di Darqo ( sebutan untuk ponpes ini ) 2, tapi karena ada nilai yang kurang, maka direkomendasikan ke kelas regular di Darqo 1. Dua minggu sebelum tanggal masuk asrama, pihak ponpes memberitahu bahwa Sabila dan 99 santri lainnya direkomendasikan ke program excellent class ( kelas tambahan ) di Darqo 3.

Setelah semua berkas lengkap, bada’ dzuhur rombongan kami diantar menuju kamar asrama yang akan ditempati Sabila. Di sinilah ‘masalah’ mulai muncul. Jika di Darqo 1 sempat diumumkan bahwa khusus hari pertama santri masuk asrama, wali santri laki-laki diperkenankan masuk ke  asrama putri guna mengurus semua perlengkapan yang dibawa, maka di Darqo 3 tidak bisa sama sekali. Aku dan beberapa wali santri sempat memohon kepada santriwati yang berjaga agar dijinkan masuk ke dalam asrama untuk mengurus perlengkapan yang kami bawa namun dengan ramah dan sopan mereka tetap menolak.

Akhirnya kami mengalah, menyadari bahwa Darqo 3 bukanlah Darqo 1, walau ada kesamaan, namun yang jelas beda jangan disama-samakan. Hanya kaum ibu yang diperbolehkan mengantar santri sampai ke dalam asrama.Beruntung hari itu salah satu kakak perempuanku dan juga adik almarhumah ikut mengantar. Merekalah yang kemudian mengurus perlengkapan yang kami bawa. Dua kardus berisi buku, sepatu, perlengkapan mandi dan cuci serta satu tas besar berisi pakaian. Dari luar asrama, komunikasi dengan mereka kulakukan melalui hp, termasuk menanyakan kondisi kamar dan ranjang yang bakal ditempati Sabila serta memastikan apa yang kami bawa adalah sesuai dengan yang Sabila perlukan. Dari kejauhan aku hanya bisa mengambil gambar gedung asrama yang ditempati Sabila. Inilah gedung asrama yang Sabila tempati.


Asrama A4 Darqo 3
Bukan hanya ucapan, para santriwati senior yang bertugas memandu kedatangan kami bertindak sopan, ramah dan cekatan. Sigap mereka bersama-sama membantu mengangkat kasur yang kami bawa. Pihak pondok hanya menyediakan ranjang tidur, sementara kasur bisa dibeli di panitia penerimaan santri baru atau diperbolehkan membawa sendiri dengan ukuran yang sudah ditentukan. Di sinilah muncul masalah berikutnya. Ukuran kasur yang kami bawa ternyata lebih lebar dari ranjang yang tersedia. Meski saat membeli kasur sudah aku sesuaikan dengan ukuran yang tertera di brosur pendaftaran, tapi ternyata lebarnya melebihi ukuran ranjang. Barangkali pihak panitia salah menuliskan, sementara aku tak lagi mengkonfirmasi sebelum membeli. Tak bisa dipaksakan, akhirnya aku membeli lagi kasur di panitia, dan kasur yang kami bawa hanya ikut jalan-jalan, mengantarkan Sabila saja. Saat kami pulang, ia turut serta.

Setelah semua perlengkapan tinggal di asrama tertata rapi dan dipastikan lengkap, bada’ Ashar aku dan rombongan bersiap-siap untuk pulang. Di sinilah bagian yang berat. Betapa tidak, sejak sejam sebelumnya,  pemandangan mengharukan sudah sedemikian dominan. Peluk dan tangis terlihat dari para santri yang mulai ditinggal orang tua dan kerabat yang ikut mengantarnya. Ada yang sudah bersalaman, cium tangan, pipi kira dan kanan, berpelukan dan saling melambaikan tangan, tapi akhirnya kembali berlari, saling mendatangi, berpelukan dan menangis lagi. Tak perlu ditanya, meski beberapa sempat menahan air mata, tapi situasi seperti ini sungguh membutuhkan ketabahan dan ketegaran tingkat tinggi.

Dan pelajaran tentang tabah dan tegar, tiada aku dapatkan kecuali dari Sabila. Setelah cukup mampu menata hati, kukatakan pada Sabila bahwa kami harus segera berpamitan. Kuminta padanya untuk masuk ke dalam asrama dan membiarkan kami pulang tanpa terlihat olehnya. Ini kupilih karena tak ingin belasan pemandangan yang kusaksikan pada orang lain juga kami lakukan. Sebisa mungkin, jangan ada air mata saat perpisahan itu terjadi.

Menuruti permintaanku, setelah bersalaman dan mencium tangan, menggeleng pelan saat kutawarkan untuk mencium pipi dan memeluknya, Sabila masuk ke dalam asrama. Kali ini bude dan buliknya yang tak bisa membiarkan ia masuk seorang diri. Mereka kembali ikut ke dalam asrama. Tak kurang dari lima belas menit mereka berada di sana, membuatku bertanya, apa yang terjadi? Apakah Sabila menangis atau justru bude dan buliknya yang tak kuasa meninggalkannya. Tak banyak yang bisa kulakukan karena saat itu aku sibuk menghibur hati, menahan air mata agar tak terjatuh, walau gagal juga demi melihat seorang santriwati menangis tersedu, memeluk sang ayah yang duduk di sebelahku. Aku tak menyalahkan siapapun, memang situasi dan kondisi yang mempengaruhi hati untuk melakukan itu.

Hal yang tak terduga adalah selain bude dan buliknya, ternyata Sabila ikut keluar asrama lagi. Tak ada air mata di wajah ketiganya, bahkan terlihat cukup ceria. Dan jika tak kualami sendiri, sulit kupercaya bahwa mataku yang berkaca-kaca seketika kering, bahkan sebuah senyum begitu saja ikut terbentuk di bibirku. Ketabahan dan ketegaran yang Sabila tunjukan sempurna menular, memberi kekuatan, meyakinkan hatiku bahwa Sabila bisa kutinggalkan dan insya Allah, semua akan baik-baik saja.

Tak ada tangis, apalagi sedu sedan, bahkan setetes air matapun tak terjatuh saat perpisahan itu akhirnya terjadi. Hatiku makin mantap setelah tanpa sepengatahuan Sabila, diam-diam aku kembali, melihat dari kejauhan Sabila sedang mencoba membujuk teman sekamarnya yang belum juga mau turun dari pangkuan dan pelukan ayahnya. Subhanallah wal hamdulillah. Terima kasih ya Allah. Sungguh, Maha Sempurna Engkau mengatur semuanya. Jika bukan atas kehendakMu, tiadalah Sabila bisa setabah dan setegar itu.

Berikut adalah foto Sabila dengan salah satu teman barunya, Kanza. Mereka tak sekamar, tapi insya Allah mereka bisa dekat, seperti aku dan ayah Kanza yang langsung akrab sejak menit-menit pertama.


Sabila dan Kanza, teman kamar sebelah 
Selamat tinggal, Nak. Seperti yang kau ucap dalam pidato wisuda kemarin, bahwa dimana ada pertemuan, disitu ada perpisahan, walau sebenarnya tak diinginkan. Demi cita-cita, kita harus terpisah jarak sementara. Kita berkeinginan, Allah memberikan jalan. Inilah jalan kita, Sayang. Manfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Perjuangkan mimpi-mimpimu, tegakkan menaramu, aku akan selalu mendukungmu. Usah kau cemaskan diriku, karena sebenarnya kita tak pernah benar-benar sendiri. Ada Allah bersama kita. Juga dia yang walau tak lagi terlihat mata, namun senantiasa ada di hati kita, selalu ada dalam setiap doa yang kita panjatkan. Dengan pertolongan Nya, semua ujian akan bisa kita jalani. Kita pernah melepas kepergian yang kita cintai untuk selama-lamanya, sedang perpisahan kali ini hanya sementara, maka insya Allah kita pasti bisa.

Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri