12 Jun 2012

Ikhlas Sih, Tapi...

Satu hari Annisa pulang sekolah dengan wajah mengkal. Ia menggeleng pelan saat Ayah bertanya mengapa kejora tak terlihat di kedua matanya.

“Ayolah cerita,” bujuk Ayah. Menjamin bahwa ia siap menjadi pendengar yang baik, meyakinkan bahwa masalah akan menjadi lebih ringan bila Annisa mau berbagi.

Lima menit berikutnya, takzim Ayah menyimak penuturan Annisa yang ternyata kecewa dengan sikap salah satu teman sekolahnya.

“Itu berarti kamu belum ikhlas.” Ayah berkomentar.

"Ikhlas kok, Yah!” tukas Annisa.


Ayah menggeleng tegas. “Tidak akan ada rasa kecewa jika kamu benar-benar ikhlas, anakku. Kamu memang tidak mengharap temanmu berbagi bekal seperti yang biasa kamu lakukan padanya. Tapi rasa kecewa di hatimu lantaran ia tak menunggumu untuk pulang bersama, yang kamu kaitkan dengan kebaikanmu selama ini, itu yang menandakan kamu belum sepenuhnya ikhlas. Ada kata ‘tapi’ dibelakang kata ikhlas yang kau katakan. Sebelumnya kalian tidak bersepakat untuk pulang bersama kan? Kamu tidak meminta, diapun tak menjanjikan. Jika kamu merasa yakin kalau temanmu akan menunggu karena kamu sering berbagi bekal dengannya, itu kekeliruanmu. Sudahlah, jangan nodai kebaikan yang telah dilakukan dengan ketidakikhlasan. Jangan kurangi pahala kebaikan dengan berbagai harapan, walau sekedar pengertian. Sangat mungkin bila ia pulang lebih dulu, dengan teman lainnya, karena mereka ada satu keperluan.” Panjang lebar Ayah menjelaskan, mencoba menenangkan.

Begitulah, ikhlas memang mudah dikatakan, tapi tidak selalu mudah dilakukan. Tidak hanya bagi anak-anak, kita yang usianya berkali lipat dari mereka terkadang juga demikian. Tanpa kita sadari nilai keikhlasan terkikis perlahan oleh harapan dan keyakinan yang berujung pada rasa kecewa karena tidak menjadi kenyataan.

Ada kata ‘tapi’ setelah ikhlas, ini yang kadang terjadi. Kita memang tidak mengharapkan orang memberikan atau melakukan hal yang sama seperti yang kita berikan / kerjakan, tapi ada hal lain dari mereka yang kita inginkan, misalnya pengertian. Inilah salah satu jebakan yang disipakan setan. Ketika mereka tak mampu mencegah dan menghalangi manusia berbuat kebaikan, maka dengan segala upaya mereka  jebak manusia dengan menyelipkan harapan-harapan lain dari kebaikan yang dikerjakan hingga ketika itu tidak terlaksana, maka kecewalah yang kemudian dirasa.

Dari penggalan cerita di atas, dapat kita petik pelajaran bahwa ketika kita sudah melakukan satu kebaikan, maka selanjutnya kita harus tetap pertahankan keikhlasan, waspada terhadap perangkap setan yang pantang menyerah menjerumuskan manusia agar menjadi teman-teman mereka, salah satunya dengan mengaburkan nilai ikhlas, menambahkan kata ‘tapi’ di belakangnya.





Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri