3 Jan 2012

Suami Ibuku

Bagai mendengar petir di teriknya matahari, kabar ini sungguh mengejutkan, menusuk langsung ke ulu hati. Bagaimanalah tidak, bila laki-laki yang selama ini selalu ia sebut suami ibuku, tak pernah sekalipun ia memanggil Ayah, walau demikian seharusnya, adalah orang yang telah menyelamatkan nyawanya. 

Laki-laki itu yang rela membatalkan pertemuan bisnis masa depannya, memutar langkah, memesan tiket penerbangan pertama ketika baru lima langkah keluar dari pintu bandara. Bersitegang dengan dokter, mamaksa perawat mengambil darahnya lebih banyak dari yang semestinya, demi selembar nyawa yang justru tak pernah menganggap keberadaannya, walau hanya dengan sebelah mata.


Laki-laki itu yang meminta semua orang merahasiakan identitas dirinya demi menjaga agar hati nan keras ini tak menjadi terluka. Laki-laki yang kini terbaring lemah di ruang operasi, berjuang antara hidup dan mati, ternyata adalah orang yang sangat menyayangi, mencintai layaknya ayah kandung sendiri. 

Mengapa, mengapa dan mengapa? Dalam hati gadis itu terus bertanya-tanya. Mengapa harus darah laki-laki itu yang menyelamatkan nyawanya? Mengapa saat kecelakaan itu terjadi, ia tidak dibiarkan mati kehabisan darah saja? Mengapa hanya golongan darah laki-laki itu yang cocok dengannya? Mengapa semua rumah sakit seperti bersekongkol, tiba-tiba kehabisan stock darah yang cocok dengannya? Mengapa ia tak bisa menerima kehadiran laki-laki itu, padahal dia satu-satunya yang mampu mencairkan kebekuan hati sang ibu sejak kematian ayah kandungnya sepuluh tahun yang lalu? Dan mengapa laki-laki itu kini terbaring lemah di ruang operasi, jawaban atas pertanyaan inilah yang meremukkan hati kerasnya. 



“Tadi siang ayahmu menelpon, dia mengajak ibu menemuimu di kost-kostan malam ini. Ayahmu tahu hari ini kamu berulang tahun, karena itu sepulang kerja ayahmu pamit mampir  ke toko komputer dulu, membeli laptop sebagai hadiah untukmu, pengganti laptop lamamu yang hancur saat kecelakaan sebulan yang lalu. Tanpa ayahmu sadari, perampok itu telah mengamati sejak ayahmu masuk ke toko komputer. Ketika ayahmu keluar dari toko, ia mengikuti sampai di parkiran, dan disanalah penusukan itu terjadi.” Perempuan setengah baya itu tak mampu melanjutkan ceritanya. Untuk kesekian kalinya, bulir-bulir air mata berlinang di pipinya. 

Tak ada kata-kata. Gadis itu sempurna diam seribu bahasa. 

“Beruntung seorang petugas parkir memergoki aksi sang perampok, tepat ketika ia menusukkan pisau ke perut ayahmu. Ayahmu tersungkur bersimbah darah, dan perampok itu membawa kabur laptop yang sedianya akan ayahmu serahkan malam ini.” 

“Apakah perampok itu kini sudah tertangkap?” akhirnya sang Gadis bertanya, walau sejatinya ia bingung harus bertanya apa. 

“Alhamdulillah, berkat kesigapan petugas, perampok itu bisa ditangkap sebelum melewati pintu gerbang. Petugas parkir itu pula yang melarikan ayahmu ke rumah sakit ini. Dari handphone ayahmu yang tak ikut diambil perampok, petugas parkir itu mencoba menghubungi nomor dari panggilan terakhir ayahmu, tepat ketika ibu baru selesai sholat maghrib.“ perempuan itu sengaja berkali-kali mengatakan ayahmu agar semata wayangnya ini tersadar, bahwa laki-laki itu adalah ayahnya, meski hanya seorang ayah tiri. 

Hening. Hanya tarikan nafas berat sang gadis terdengar beberapa kali. Sementara perempuan itu sudah kehabisan air matanya. 

Ayah. Seharusnya aku memanggilmu ayah. Tak ada alasan sebenarnya aku bersikeras untuk tak memanggilmu dengan sebutan itu. Aku memang bukan darah dagingmu, kau suami ibuku, tapi itu berarti juga kau ayahku, aku anakmu. Ya Tuhan, selamatkan ayahku. Aku janji, ketika ia sadar nanti, panggilan ayah dari bibirkulah yang akan ia dengar pertama kali. Sang gadis membatin, menyesali semua kekeliruannya, berjanji menebus semua kesalahannya, keangkuhannya, yang kini ia sadari sebenarnya tak beralasan sama sekali. 

Tapi sayang, kesempatan itu tak pernah ada. Berselang detik sejak sang gadis berikrar untuk tak lagi menyebut laki-laki itu dengan sebutan suami ibuku, menggantikannya dengan sebutan ayahku, seorang dokter keluar dari ruang operasi. 

“Keluarga Handoko?!” 

“Bagaimana kondisi ayah saya, Dok?” sang gadis bergegas mendekat. 

“Maaf, anda ini siapanya ya?” 

“Saya anaknya” jawab sang gadis cepat. Ada satu desiran di hati perempuan setangah baya itu saat mendengar putra tunggalnya, untuk pertama kalinya, mengakui Handoko sebagai ayahnya. 

“Sebelumnya kami mohon maaf. Saya beserta tim dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi luka di perut Pak Handoko terlalu parah, beliau banyak kehilangan darah. Sekali lagi maaf, kami harap keluarga tabah menerima kenyataan ini. Ikhlaskan agar beliau tenang di alam sana. Secara pribadi saya mengenal almarhum. Beliau orang yang baik, sangat baik malah. Sayang dengan keluarga, juga kepedulinya kepada terhadap orang lain sangat tinggi. Rupanya Allah lebih menyayangi sehingga beliau dipanggil secepat ini. Saya turut berduka.” 

Senyap. Tubuh sang gadis sempurna bergetar, pandangannya gelap. Dan sebelum terjatuh, sang gadis sempat memanggil lemah, “Ayah..!” 

Catatan: cerita ini fiktif belaka.

sumber gambar: 
http://wasissangpembelajar.blogspot.com

Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri