30 Jan 2013

Membangun ‘Menara’ Sabila #7

Sama sepertimu, anakku, kamipun ingin merasakan kebersamaan ini lebih lama, tapi karena cita-cita, amanah, tugas dan juga tanggung jawab, kita harus berpisah sementara.

Hujan yang turun tadi pagi menghadirkan kembali kenangan saat aku mengantar Sabila ke asrama pondok pesantren modern Daar El Qolam 3, sehari setelah acara walimah di Jakarta, pertengahan Januari yang lalu. Sama seperti saat mengantarnya sehari setelah kami menikah, sepanjang perjalanan tak sejengkalpun tanah yang kering dari air hujan. Begitupun saat aku menjemput dia, dua minggu sebelumnya. 


Kamis, 13 Desember 2012. Hujan sudah mulai reda saat aku tiba di muka gerbang Kampus Dza Izza, pondok pesantren modern Daar El Qolam 3. Selesai mengurus perijinan di bagian pengasuhan, aku segera membawa pulang Sabila ke tempat kostku yang baru. Sesuai kesepakatan, setidaknya selama dua hari Sabila akan tinggal di sana. Selebihnya, akan diputuskan nanti, apakah ia akan menghabiskan liburan bersamaku atau tinggal bersama Bulik atau Budhenya.

Tapi memang manusia hanya bisa berencana dan berupaya, Allah lah yang menentukan alur dan akhir ceritanya. Tak lebih dari delapan jam Sabila bertahan di kamar kostku yang walau menurutku cukup nyaman, namun tidak untuknya. Ketika aku harus kembali ke tempat kostku yang lama untuk melengkapi beberapa persayaratan numpang nikah, Sabila memutuskan untuk ikut, dan tak pernah kembali lagi. Aku mengabulkan keinginan Sabila untuk tinggal bersama Buliknya.

Minggu, 16 Desember 2012. Aku mengenal Sabila seperti aku melihat diri sendiri di kaca. Karenanya aku tak memaksa ketika sambil tersipu malu, ia menggeleng pelan saat calon umminya mengajak makan bersama, usai acara khitbah, di hari keempat liburan semesternya. Juga ketika ia meminta ijin untuk ikut pulang bersama rombongan, menolak ajakan kami ke salon untuk memilih baju pengantin yang akan kami kenakan di pelaminan. Berbagai kejadian, juga ujian, sedikit banyak turut membentuk karakter Sabila menjadi lebih dewasa dari usianya. Untuk urusan tertentu, Sabila memilih tidak selalu beserta kami yang karenanya bisa memicu orang untuk bertanya, ‘siapa dia?’.

Minggu, 23 Desember 2012. Seminggu setelah acara khitbah, di hari ke 11 libur semesternya,  Sabila kembali menunjukan ‘kedewasaannya’.  Senyumnya mengembang, kejora di wajahnya terlihat cemerlang melihat aku bersanding dengan seseorang yang kini resmi menjadi umi - baru - nya.  Ia bahkan selalu ringan langkah saat berkali-kali kami meminta ia naik ke pelaminan, photo bersama, baik bertiga  maupun dengan keluarga dan tamu undangan lainnya.

Senin, 24 Desember 2012. Senyum yang sehari sebelumnya terus mengembang, kejora yang terlihat cemerlang, ternyata hanya bisa kami saksikan hingga sehari kemudian. Meski tak ada air mata, kami sama-sama menahan rasa saat mengantar Sabila kembali ke pondok pesantrennya. Liburan semester telah usai, esok hari kegiatan belajar mengajar semester dua segera dimulai. Beserta Mbah Kakung, Mbah Putri, Bude Okta, Bude Arum, Rara dan juga Dhika, dan tentu saja ummi – baru – nya, kami antar Sabila kembali ke pondok untuk meneruskan pembangunan ‘menara’nya.

Sabtu, 12 Januari 2013. Hujan yang lebat kembali mengguyurku di setengah perjalanan saat aku berangkat menjemput Sabila yang hanya mendapatkan ijin tiga hari untuk menghadiri resepsi pernikahan kami di Jakarta. Beruntung hujan sudah reda saat aku membawanya ke rumah kontrakanku yang baru. Berbeda dengan tanggapan tentang tempat kostku sebelumnya, kali ini senyum sumringah Sabila tunjukkan, menjadi pertanda bahwa dia betah tinggal di rumah bercat light green, mirip dengan warna yang mendominasi asrama dan pesantrennya.

Minggu, 13 Januari 2013. Hujan belum sempurna reda saat acara resepsi pernikahan kami dimulai. Meski tamu yang datang tak sebanyak yang kami undang, karena hujan dan berbagai alasan dan kepentingan, acara yang disetting dengan nuansa warna ungu malam itu alhamdulillah berjalan sesuai dengan yang kami rencanakan, ikhtiarkan dan juga harapkan. Satu hal yang membuat hati kami bertambah bahagia sekaligus bangga, sepanjang dan seusai acara, Sabila bisa mengerti, menempatkan diri pada yang semestinya.

Selasa, 15 Januari 2013. Entah hujan yang keberapa sejak kami mantap mengayunkan langkah, menjemput berkah, pagi itu hujan kembali turun dengan lebat seolah tak peduli pada kami yang menggigil kedinginan. Dilepas tatap cemas umminya, aku antar Sabila kembali ke asrama. Tak banyak bicara, sesekali aku memastikan Sabila di belakang baik-baik saja. Masing-masing kami larut dalam pikiran. Mencoba mengurai kenangan, indahnya kebersamaan yang telah lama kami dambakan. Sungguh, sama sepertinya, dalam hati kecilkupun tak mudah menerima perpisahan ini. Kami yang selama ini terpisah, kemudian Allah kumpulkan, lalu kembali terpisahkan. Jika bukan karena tugas, tanggung jawab, amanah dan juga keinginan, tentu perpisahan ini lebih berat dirasakan.

Anakku, meski badan kita berjauhan, sesungguhnya hati dan pikiran kita berdekatan, bergetar dan  bergerak ke arah yang sama, terbangunnya 'menara-menara'.



Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri