“Bagaimana
rencana pernikahan kalian, sudah sejauh mana persiapannya?” itu pertanyaan
pertamaku setelah saling menanyakan kabar.
“Alhamdulillah,
sudah sembilan puluh persen.”
“Syukurlah.
Masih ada cukup waktu untuk menggenapi sisanya.”
“Insya
Allah! Tapi…“
“Tapi
kenapa?”
“Salah
satu dari orang tua kami menginginkan kami menikah di hari berdasarkan hasil perhitungan
mereka.”
Aku
ber-oh pelan. Aku bisa merasakan dilema yang sedang ia hadapi, karena akupun
pernah berada di situasi, kondisi dan posisi yang sama. Tak mudah merubah
pendirian orang tua dengan perhitungan-perhitungannya. Tapi mengikuti –
perhitungan – mereka, hati tetap tak bisa terima.
“Menurutmu
aku harus bagaimana?”
Tak
perlu kusarankan ia untuk melakukan pendekatan kepada orang tua, menyampaikan
rasa keberatan atas keyakinan bahwa jodoh, mati dan rejeki bisa diprediksi
berdasarkan hari lahir. Ia sudah berusaha berbagai cara untuk mengingatkan dan
menyadarkan bahwa langkah yang mereka tempuh adalah keliru, tidak ada dalil
ataupun contohnya.
“Kalau boleh aku menyarankan, dengan mengucap
bismillah, ikutilah orang tuamu, menikahlah pada hari itu,” aku mencoba memberi
solusi.
“Mengikuti
perhitungan yang jelas-jelas tidak ada dalil dan contohnya?” suara di seberang
terdengar tak percaya.
“Bukan!
Bukan begitu maksudku.” Aku mencoba menjelaskan. “Restu dari orang tua
sangatlah penting bagi anak, terlebih yang hendak membangun rumah tangga.
Sakinah, mawadah, warahmah bukan sekedar rangkaian kata, tapi benar-benar menjadi
nyata, salah satunya apabila ada ridho dan restu dari orang tua. Sayangi dan
hormati orang tua, bagaimanapun ridho Allah ada pada mereka. Ketika kita tak sependapat
atau bahkan ketika mereka keliru, sampaikan dan ingatkan mereka dengan santun.
Jangan arogan walaupun atas nama kebaikan dan kebenaran. Kalaupun akhirnya tetap tak sejalan dan
sepemikiran, hormat pada mereka janganlah sampai ditiadakan.”
Lengang,
tak terdengar jawaban dari seberang, hingga akhirnya aku yang kembali melanjutkan
pembicaraan.
“Sungguh,
aku pun tak percaya, sangat menyayangkan kebiasaan orang-orang tua kita yang memprediksi
jodoh, mati dan rejeki berdasarkan hari lahir, termasuk mengotak-atik hari,
weton atau apalah untuk menentukan kapan pernikahan boleh dan bisa
dilangsungkan. “
Aku berhenti sejenak, merapihkan kertas yang
tercecer di dekat pc jadulku.
“Yang
aku maksudkan, tetap tunjukkan bakti dan hormatmu kepada orang tua, jangan
berlaku kasar pada keduanya. Jika sampai saat ini kau masih saja berkutat di
masalah itu, barangkali ada yang terlupa darimu. Dulu pernah kau bilang, agar tidak merepotkan tamu-tamu, kalian ingin
melangsungkan pernikahan dan walimahan di hari libur. Bukankah pilihan orang
tuamu juga pas hari libur? Satu lagi, kau sendiri bilang berkali-kali, bahwa
Allah menciptakan hari, semuanya adalah baik. Itu berarti hari yang dipilih
orang tuamu – memang - termasuk hari baik. Iya, kan? “
Masih
tak ada jawaban. Hanya terdengar suara hembusan nafas berat dari seberang sana.
“Ada
banyak hal penting lain yang perlu kalian siapkan agar pernikahan kalian dapat
berjalan sesuai dengan yang direncanakan, diikhtiarkan dan juga diharapkan.
Jangan karena berkutat pada satu hal, lantas membuat banyak hal penting lainnya
menjadi terabaikan yang kemungkinan dapat merusak atau setidaknya mengurangi
kesan pada moment bahagia kalian. Raihlah ridho orang tua, dapatkan restu dari
mereka, hormati keduanya dan tunjukan bukti baktimu padanya. Insya Allah, hari
dan tanggal hasil perhitungan mereka adalah termasuk hari baik, karena memang
Allah menciptakan hari tiada yang buruk, semuanya baik. Yang terpenting adalah niat
dalam hatimu.”