2 Oct 2012

Membangun 'Menara' Sabila #5

Seperti halnya membangun menara sungguhan, akan ada panas, hujan dan angin yang datang mengujinya. Maka demikian pula dalam membangun impianmu, Anakku…


Sejak aturan menjenguk santri/santriwati maksimal  dua kali dalam sebulan diberlakukan, aku dan buliknya Sabila ( adik almarhumah ) sepakat berbagi waktu, dua minggu sekali, bergantian. Sengaja aku mengambil jatah akhir bulan karena saat-saat seperti ini bukan hanya Sabila, tapi juga bagian administrasi ponpes yang menginginkan aku datang, melunasi SPP dan biaya pemondokan selama sebulan ke depan.

Dan hari Sabtu, 29 September 2012 kemarin adalah kali pertama aku menjenguk Sabila setelah sebulan sebelumnya kuantar, usai libur lebaran. Ada banyak perbekalan pesanan Sabila yang harus aku siapkan, terlupa bahwa setiap akhir bulan pusat perbelanjaan selalu dipadati pembeli, antrian panjang di setiap kasirnya, membuat hampir satu jam aku tertahan di sana, sehingga kedatanganku terlambat setengah jam dari waktu biasanya.




Ada perubahan cukup mencolok yang kutemukan saat pertama bertemu putri semata wayangku. Dibandingkan saat kuantar sebulan yang lalu, wajahnya terlihat lebih tirus, meski sebenarnya itu hanya mengembalikan ia pada postur aslinya. 

Dari pertemuan yang berlangsung selama dua jam, itupun terbagi dalam dua sesi, sesi pertama  antara pukul 12.30 – 13.30, sesi kedua pukul 16.00 – 17.00, ada beberapa ‘laporan’ yang Sabila sampaikan.

Dia terlihat bersemangat saat mengatakan bahwa ia mengikuti empat kegiatan ekstra kurikuler; pramuka, dokter cilik, kaligrafi dan juga hasta karya. Meski menurutku terlalu banyak, tapi aku sengaja tidak melarangnya, hanya mengingatkan untuk mengelola waktu dengan baik agar tak sampai mengganggu kegiatan belajar utamanya. 

Ceria di wajahnya sedikit berkurang saat aku bertanya nilai pelajarannya. Ada satu mata pelajaran, yaitu matematika yang ia harus bekerja lebih keras untuk bisa menguasainya. Aku maklum ketika ia menyampaikan hal yang membuatnya sulit berkonsentrasi. Sama sepertiku saat sekolah dulu, ia akan lebih mudah berkonsentrasi bila belajar sendiri. Tidak harus sepi, tapi belajar bersama justru tidak banyak membantunya. Mungkin sebagian besar orang akan mengatakan belajar bersama lebih baik, tapi fakta membuktikan bahwa aku, yang kini menurun pada Sabila, lebih bisa konsentrasi belajar bila sendiri, dalam situasi dan kondisi yang tidak benar-benar sepi, tapi juga tidak gaduh sekali. 

Hal kedua yang membuat kejora di matanya sedikit meredup, adalah ketika ia patah-patah bercerita, ada seorang santriwati, teman asramanya ( beda kamar )  yang setiap kali melihat wajahnya selalu membuat ia teringat dengan seseorang. Tak berhenti sampai di situ, ingatannya pada seseorang tersebutlah yang mengantarkan ingatannya padaku. Jika ini terlanjur terjadi, satu hal yang ia ingini, pulang. Bahkan, saking tak ingin terganggu belajarnya, Sabila selalu berusaha menghindar dari menatap wajah sang santriwati, menjaga jarak agar tak sering-sering berdekatan. 

Sabila, Anakku…
jika di sela-sela praktikum komputer kau sempat membaca postingan ini, ingat baik-baik pesanku. Seperti halnya membangun sebuah menara sungguhan, panas, hujan dan angin seringkali menjadi kendala yang menyebabkan proses pembangunannya tertunda. Demikian juga dalam membangun menara ( impianmu ), akan ada hal-hal yang akan menguji keteguhan dan ketangguhanmu. Aku memaklumi perasaanmu. Seringkali seseorang yang dirindukan justru yang membuat air mata terjatuh. Tapi tetap tegak dan tegarlah, Anakku. Ambil ‘hangatnya matahari’, ‘dinginnya hujan’ dan ‘sejuknya angin yang berhembus’ untuk menambah semangatmu, bukan melemahkan ikhtiarmu. 

Percayalah Anakku, meski ada 'hal lain' yang aku pikirkan, sungguh itu tak menggeser posisimu dari hati dan juga pikiranku. Sebagaimana membangun sebuah menara sungguhan, ada pihak yang bertindak selaku perancang, pelaksana dan juga penyandang dana. Kita sudah memilih sekolah ini untuk membantu pembangunan menaramu, kita percaya pada rancangan mereka, karenanya kau selaku pelaksana, lanjutkan pembangunan ini dengan sebaik dan semaksimal mungkin. Aku yang dalam urusan ini berlaku sebagai penyandang dana, penyuplai apa yang kau butuhkan dan kau inginkan, berjanji akan berupaya semaksimal mungkin, sebaik mungkin untuk mendukungmu, walau karenanya ada konsekuensi yang harus kutanggung. Menaramu harus tegak menjulang, menggantikan menaraku yang sampai saat ini masih sebatas angan.

Tegar dan tegaklah berdiri, Anakku. Tunjukan bahwa ketabahan yang selama ini kubanggakan masih menjadi milikmu. Aku tahu, hatimu bukanlah terbuat dari batu, maka kumaklumi jika ada saatnya kau merasa ingin aku ada, seperti teman-temanmu yang selalu ceria berkata bahwa ia dijenguk bapak dan ibunya. 

Anakku, jika kau baca tulisan ini, pastikan bukan air mata yang tercipta, tapi sebuah senyum, seindah senyum yang pernah kita lihat bersama, sesaat sebelum tanah yang basah menutup tatapan kita padanya. Kita pernah mengalami masa-masa sulit bersama, maka dengan memaksimalkan upaya, menyertainya dengan doa serta mempertahankan kesabaran dan keikhlasan, maka mimpi itu akan menjadi nyata. Menaramu akan menjulang, setinggi yang kau inginkan. Kau terbiasa berdamai dengan keadaan, karenanya kali ini, insya Allah, kaupun bisa.

Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri