9 Jul 2012

Seperti Pakaian


“Ngomongnya sih dulu begitu, di mana ada kamu, di situ ada aku, tapi sekarang nyatanya yang satu kemana, satunya lagi di mana!” 

Entah pengalaman apa yang dimiliki Fulan, terdengar sinis ia mengomentari sebuah lagu yang pernah hits di tahun 80-an yang baru saja diputar di salah satu komputer di ruang kerjaku.

“Saat masih pacaran, berbagai ungkapan dan perumpamaan terdengar indah. Ada yang bilang bagai bunga dan kumbang, tak terpisahkan. Sayangnya banyak bunga yang bernasib malang. Saat masih bermadu banyak kumbang yang datang, ketika habis madunya sang kumbang jalang kembali terbang!”



Bak api terpercik bensin, berbagai komentar terus bersahutan dari rekan-rekan di sekelilingnya. Dari semua komentar yang kadang asal dan berlebihan hingga yang penuh kesungguhan, ada satu yang menggugah kesadaran yaitu ketika salah satu dari mereka mengatakan bahwa suami istri itu hendaknya seperti pakaian.

“Seperti pakaian?” kompak beberapa rekan lain bertanya, penasaran.

Maka dengan penjelasan yang sederhana namun mengena, ia menerangkan maksud sepasang suami istri seharusnya seperti pakaian. 

“Benarkah demikian?” 

Seorang rekan tiba-tiba bertanya padaku yang sedang khidmat menyimak, membuatku sedikit gelagapan.

“Ya, aku sepakat dan sependapat bahwa semestinya suami istri itu layaknya pakaian. Suami istri harus saling menutupi aib pasangannya, menjaga harga diri satu sama lain, bukan sebaliknya, beralasan mencari solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi, kemudian curhat kesana kemari. Akhirnya bukan solusi yang didapatkan tapi rahasia yang harusnya simpan malah jadi bahan pembicaraan. “

Aku berhenti sejenak, mengingat-ingat apa yang tadi kudengar, berusaha menyimpulkan dengan kalimat yang paling sederhana namun tak merubah makna. 

“Ibarat pakaian dan manusia, tidak ada pemisah, begitupun suami istri, hubungan keduanya haruslah erat, tidak ada orang asing diantara keduanya, mencampuri urusannya. Bila kita memilih pakaian menyesuaikan musim atau udara yang dirasa, maka suami istri harus bisa menempati posisi yang tepat pada situasi yang tepat. Saat salah satu tak bisa menahan emosi, janganlah yang satu mengompori tapi berusaha meredamnya dengan kelembutan. Dan jika pakaian bisa menghangatkan badan, maka suami istri harus bisa menghangatkan keluarganya, jauhkan sifat dingin, acuh tak acuh diantara mereka.”

“Yang terakhir, bila pakaian adalah juga perhiasan, maka suami istri seharusnya menjadi perhiasan bagi lainnya. Bukan begitu kesimpulannya?” aku bertanya pada rekan yang pertama mengatakan suami istri layaknya pakaian, memastikan bahwa kesimpulanku, meski ada kurang lebihnya, tidaklah keluar dari apa yang telah dijelaskan dengan panjang lebar.

“Benar! Lalu bagaimana dengan kalian, apakah sudah menjadikan istri masing-masing layaknya pakaian?” 

Ia membenarkan kesimpulanku dan bertanya pada rekan lainnya, tentang kedudukan istri masing-masing di mata mereka. Sayangnya aku tak bisa dan tak berani mengartikan ekspresi yang terlihat di wajah mereka yang cengengesan.   

Bagaimana dengan sahabat? Sepakat dan sependapatkah bahwa kedudukan suami istri bagai pakaian satu sama lain? Dan apakah sudah mengaplikasikannya secara baik dan benar, ayat Al Quran;   هن لباس لکم وانتم لباس لهن “…mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka..” ( QS> Al-Baqarah : 187 )? Insya Allah.


Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri