30 Jul 2012

Membangun 'Menara' Sabila #3

Jika ada yang bisa membuat kita menangis, tertawa, bergantian dan bahkan bersamaan, maka ia adalah anak-anak, dengan segala kepolosannya. Demikian pula Sabila.

Tak terasa, sebulan sudah Sabila membangun ‘menara’nya di pondok pesantren modern Daar El Qolam, Jayanti, Tangerang. Hingga masa libur akhir Ramadhan nanti, aku menjenguknya seminggu sekali. Barulah setelah lebaran, kunjungan dilakukan dua minggu hingga sebulan sekali agar ia bisa lebih cepat mandiri.

Alhamdulillah, dari empat kali kunjungan, Sabila terlihat sehat dan ceria. Kalaupun ada sedikit keluhan, sejauh ini karena ia masih dalam masa penyesuaian. Kegiatan yang serba terjadwal mulai mandi, makan, sekolah, sholat berjamaah dan kegiatan bersama lainnya menuntut ia harus cepat menyesuaikan diri.




Selain keluhan yang umum kudengar dari santriwati lainnya, pada kunjungan ketiga kemarin secara pribadi Sabila sempat curhat tentang teman sekamarnya yang terkesan bossy, senang mengatur, menyuruh dan menuntut semua keinginannya terpenuhi. Seperti yang pernah dipesankan pimpinan ponpes agar jangan menelan mentah-mentah semua yang dikeluhkan anak-anak karena bisa jadi yang mereka keluhkan adalah bagian dari program pengajaran dan pengasuhan yang diterapkan di ponpes Daar El Qolam, maka aku berusaha hanya menjadi pendengar yang baik bagi Sabila. 

Dan tanpa bermaksud mendukung penilaian Sabila terhadap teman sekamarnya, kukatakan padanya bahwa dimanapun tempatnya, akan selalu ada orang-orang yang tak sesuai dengan keinginan kita. Jangan langsung dan selalu menyalahkan mereka, ada kalanya kitalah yang harus merubah, termasuk pemahaman dan penilaian kepada mereka. Bagaimanapun mereka, janganlah merasa kita selalu lebih baik dari mereka, interospeksi diri, ambil pelajaran agar yang tidak kita sukai justru kita ikuti. Jika tak bisa merubah perilaku tidak baik mereka, pastikan kita tidak terpengaruh, salah satunya dengan fokus pada tujuan, untuk apa kita berada di pondok pesantren modern terbesar di Tangerang ini. Alhamdulillah, senyum di bibirnya memberi tanda bahwa ia bisa mengerti dan semangatnya tumbuh kembali.

Seperti halnya sekolah lain, di pondok pesantren ini juga ada masa orientasi santri. Bedanya, kegiatan yang dilakukan di ponpes ini tidaklah se’nyleneh’ kegiatan yang pernah kudengar di beberapa sekolah ( seperti menyuruh siswanya berpakaian tidak biasa, membawa peralatan termasuk makanan yang tidak terduga hingga kegiatan-kegiatan yang cenderung bukan mengenalkan siswa terhadap sekolah dan lingkungannya, tapi malah bisa menimbulkan trauma atau parahnya dendam, kelak kepada adik-adik kelasnya). 

Berdasarkan penuturan Sabila, selama masa orientasi ini para santri dikelompokkan berdasarkan asal daerah masing-masing. Sabila masuk dalam consulate ( aku lebih mudah menyebutnya kontingen ) Tangerang. Selain menjadi juara untuk lomba senam unik dan pentas drama, consulate Sabila juga menjadi juara umum tahun ini. Alhamdulillah

Ada satu hal yang mengundang pertanyaanku, di drama Surat Kecil Untuk Tuhan yang mereka tampilkan, ia kebagian peran apa? Ia katakan bahwa awalnya ia diminta memerankan tokoh Keke ( deg! Ada desir aneh dalam dadaku ) tapi tak jadi karena ia menolaknya. 

“Kenapa?” tanyaku penasaran. 

“Habis yang jadi Andi ( pacar Keke dalam kisah tersebut ) perempuan sih!” jawabnya polos.

Sungguh, untuk beberapa saat aku bingung, haruskan tertawa atau sebaliknya. Satu hal yang kucamkan dalam hati, Sabila sudah bukan kanak-kanak lagi, ia sudah mulai tumbuh sebagai remaja!Semoga menyekolahkan di ponpes ini adalah keputusan yang tepat. Insya Allah.

Dari empat kali kunjungan, aku masih melihat air mata beberapa teman Sabila, baik saat mereka menelpon ( dengan meminjam handphone dari wali santri temannya yang sedung menjenguk ) atau ketika hendak ditinggal pulang orang tua masing-masing. Bagaimana dengan Sabila? Bukan kata Sabila, tapi menurut penuturan teman sekamarnya, Sabila satu-satunya yang tak pernah menangis. Benarkah? Ya, setidaknya untuk urusan jauh dari keluarga, Sabila belum pernah menitikan air mata. Tapi diluar itu, sebenarnya Sabila pernah menangis juga.

“Kenapa?”  Kali ini aku bukan hanya penasaran, tapi sesungguhnya bercampur cemas.

Bukan, bukan karena hal-hal yang kucemaskan Sabila menangis.  Semua karena tayangan slide yang mereka saksikan usai sholat taraweh di awal Ramadhan kemarin. 

“Kamu teringat almarhumah?” hati-hati aku bertanya, khawatir mengusik perasaannya, dan terutama juga perasaanku sendiri.

“Aku ingat, tapi bukan karena itu aku menangis dua kali,” jawabnya, membuatku semakin penasaran.

Tangisan pertama adalah karena ia terbawa suasana. Bagaimanalah tidak, meski secara pribadi Sabila pernah berada pada posisi dan situasi seperti ini, menyaksikan orang yang sangat dicintai dibungkus kain kafan, dipikul dengan keranda hingga dimasukkan ke liang lahat dan ditimbun tanah, tapi tayangan seperti ini sungguh bukanlah sesuatu yang bisa membuat siapapun tersenyum, apalagi tertawa. Maka, di asrama Sabila pun menangis untuk pertama kalinya.

“Lalu tangismu yang kedua?” meski sibuk menata hati, aku tak sabar menunggu cerita selanjutnya.

Setelah mampu menata hati dan emosi, seperti dulu ia berdamai dengan kenyataan, tanpa disadari tangan kanannya yang semula bertumpu di lantai, reflek menyeka matanya. Sayang, tanpa ia sadari, ada butiran debu masuk ke mata sebelah kanannya. Semakin dikucek, semakin perihlah ia. Coba meminta bantuan teman untuk meniupkan matanya, nihil hasilnya.

“Kenapa Defa menolak meniupkan matamu?” tanyaku tak percaya. Defa adalah teman sekamarnya, ranjang mereka bersebalahan, tak mungkin ia tak mau membantu, kecuali ada hal lain yang tak kuperkirakan.

Maka dengan santai Sabila berkata. “Bagaimanalah Defa akan membantu meniup mataku, sedangkan dia masih sibuk dengan tangisnya.”

Aku, adik ipar ( adik almarhumah ) yang ikut menjenguk Sabila bersama suaminya spontan terkekeh mendengar jawaban Sabila. Sungguh, jika ada yang mampu membuat kita menangis dan tertawa dalam waktu yang bersamaan, maka mereka adalah anak-anak kita, dengan segala kepolosannya.

Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri