6 Jun 2012

Kisah Di Balik Buah Tangan

Satu hari kami kedatangan tamu, masih terhitung kerabat jauhku. Sabila, putriku, terlihat senang dengan kedatangan mereka yang mengajak serta balitanya kecuali pada sekantong buah-buahan yang mereka bawa. Meski tanpa kata, aku bisa membaca kalimat tidak suka yang terpancar dari tatap matanya. Beruntung sang tamu tidak menyadarinya. 

“Jangan kau cela hanya karena kau tak suka dan tak mau memakannya,” aku mengingatkan sesaat setelah sang tamu berpamitan. “Buah-buahan itu bagus untuk kesehatan, cobalah dulu, nanti pasti ketagihan” aku menambahkan.

Tak ada jawaban. Dengan ujung mata kulihat ia siaga, berjaga-jaga jika aku iseng menggodanya, menggelindingkan salah satu buah ke arahnya. Entah apa sebabnya, sejak kecil ia phobia dengan buah, apapun jenisnya. Senyumnya mengembang saat kusodorkan selembar uang, “kamu beli jajan sendiri!” Dua menit berikutnya ia telah kembali dengan berbagai jajanan kesukaannya.

“Jangan pernah menyepelekan pemberian orang. Walau terlihat sederhana, walau tak seberapa, harga maupun jumlahnya, bukan tidak mungkin perjuangan dan pengorbanan besar harus mereka lakukan demi bisa membawa buah tangan,” aku melanjutkan nasihatku yang belum selesai.


Aku menggeleng saat ia bertanya apakah sang tamu cerita bagaimana perjuangan mereka untuk mendapatkan buah-buahan itu.

“Tentu saja tidak!” jawabku gemas. “Tapi kau harus dengar cerita ini.” 

Setelah piring, gelas dan toples selesai kubereskan, kuceritakan padanya satu kisah nyata dari orang yang kukenal, dimana darinya aku mendapat satu pelajaran sekaligus kesadaran agar jangan sekalipun mengecilkan pemberian orang lain, apapun bentuknya, berapapun jumlah maupun harganya.

Adalah Fulan dan Fulanah, sepasang suami istri yang rela berkeliling kampung, mendatangi lebih dari lima warung demi mendapatkan jajanan yang layak untuk mereka bawa saat bersilaturahim ke rumah kerabatnya. Hari itu adalah hari terakhir bulan Ramadhan sehingga banyak warung dan toko yang sudah tutup, ditinggal mudik pemiliknya. Tak akan mereka berputar-putar hingga ke seberang kampung bila mereka memiliki cukup uang. Masih ada minimarket dan supermarket yang tetap buka hingga larut malam. Bukannya lupa, tapi mereka sadar kalau uang yang mereka miliki tak akan cukup membeli jajanan supermarket untuk tujuh keluarga kerebat mereka. 

Mereka terus mencari hingga akhirnya sampai di pasar kampung sebelah. Sama, di pasar inipun sudah banyak kios yang tutup. Untunglah ada satu kios jajanan yang masih buka, walaupun stok yang ada sudah tak memberikan banyaik pilihan. Setelah lebih dari tiga kali bertanya, akhirnya sang istri menemukan jajanan yang pantas mereka bawa sebagai buah tangan, walaupun uang yang mereka miliki hanya mampu membeli sebanyak dua kilogram. Tak kurang akal, dengan sedikit malu-malu, sang istri berbisik kepada sang penjual agar yang dua kilo tersebut dibagi menjadi delapan bagian, masing-masing 250 gram. 

Lega, senyum bahagia menghiasi wajah keduanya. Mereka pulang membawa delapan bungkus jajanan. Satu untuk mereka suguhkan pada tamu yang datang, tujuh lainnya untuk dibawa saat bersilaturahim esok hari. Biarlah sedikit, yang terpenting mereka bisa berbagi. Walau bukan sebuah keharusan, tapi jika dengan buah tangan bisa membuat orang lain senang, sungguh merekapun senang. 

"Ingatlah olehmu, syukuri selalu pemberian orang lain, sesederhana apapun, berapapun jumlah maupun harganya. Jangan lihat yang diberikan, tapi lihatlah ketulusan dan keikhlasannya. Hargailah perjuangan dan pengorbanan yang telah dilakukan sebab bukan tidak mungkin yang menurut kita terlihat sederhana namun ternyata memerlukan perjuangan dan pengorbanan yang tidak sedikit, seperti yang dilakukan Fulan dan Fulanah."



Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri