7 May 2012

Berayah Tapi Tak Berbapak


Satu hari, di dua kota berbeda, dua wanita berhati mulia tak sanggup menahan tetes air mata setelah mendapat kabar dari putri tercintanya. 

Wanita pertama adalah seorang ibu yang sudah memasuki usia senja. Yang kedua juga seorang ibu, namun belasan tahun lebih muda dari wanita pertama. 

Bukan hanya usia dan tempat tinggal mereka yang beda, tapi makna dari tangisan merekapun jauh berbeda. 

Wanita pertama tak sanggup menahan air mata bahagia setelah mendengar kabar dari putri bungsunya. Betapa tidak, setelah hampir sepuluh tahun menunggu, akhirnya ia akan segera menimang cucu. “Subhanallah wal hamdulillah. Terima kasih ya Allah, Engkau telah mengabulkan doa dan harapanku,” bergetar ia mengungkapkan kebahagiaan hatinya. 


Berbeda dengan yang dialami wanita kedua. Berita yang sampai kepadanya sama dengan yang diterima oleh wanita pertama, tapi berbeda ceritanya. Air mata tiada henti mengalir dari kedua mata sayunya. Bagaimanalah tidak, ia akan mempunyai seorang cucu dari putri tunggalnya yang belum menikah. “Astaghfirulloh! Ampuni anakku ya Allah. Ampuni dia…,” gemetar ia menahan duka dan laranya. Hancur luluh hati dan juga harapannya. 


Meski sang laki-laki bersedia bertanggungjawab, namun bukan sekedar itu yang jadi permasalahan. Meski nantinya mereka menikah, tidak lantas selesai semua persoalan. Bayi itu! Bayi yang tak berdosa itu akan terlahir sebagai anak yang ‘berayah tapi tak berbapak’.

Secara biologis, laki-laki itu memang ayahnya tapi secara syara’, ia bukan bapaknya. Bayi yang terlahir dari hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Ia hanya hanya mempunyai hubungan itu dengan ibunya dan juga keluarga ibunya.

Dan jika sang bayi nanti lahir berjenis kelamin perempuan, siapa yang akan menjadi wali bila kelak ia menikah? Laki-laki itu tiada sah menjadi wali nikahnya. Bagaimana menjelaskan padanya, mengapa wali hakim yang menikahkan sedangkan sang ayah masih hidup,sehat dan bahkan dekat di sampingnya. Bagaimana membuat ia mengerti tentang jati dirinya, masa lalu kedua orang tuanya? Haruskah ia berduka disaat yang seharusnya bahagia? Ia memang tak menanggung dosa perbuatan orang tuanya, tapi dia akan merasakan dampak buruk yang ditimbulkannya. 

Hanya sebatas itu? Tidak! Kelak bila salah satu dari mereka ( anak atau ayah ) meninggal dunia, mereka tiada saling mewarisi. Bukan tak mendapatkan harta yang menjadi kekhawatiran, tapi bagaimana bila mereka memakan harta yang bukan menjadi haknya?

Dan bila teringat itu semua, semakin hancur luluh hati dan perasaan wanita ini. Entah berapa kali sudah ia tak sadarkan diri. 

***

Wahai diri, pikirlah seribu kali lagi, bahkan lebih dari itu sebelum bertindak. Manusia memang tiada lepas dari salah dan khilaf, tapi jangan jadikan keduanya sebagai alasan dan pembenaran terhadap setiap dosa yang dilakukan. Benar bahwa Allah Maha Pengampun. Sebesar dan sebanyak apapun dosa dilakukan, asal sungguh-sungguh bertaubat, insya Allah akan dimaafkan. Tapi apakah masih ada kesempatan, itu yang harus direnungkan!. 

Wahai diri, jagalah diri, hati dan terutama iman. Jangan teritpu oleh syetan yang menjerumuskan manusia dengan mengatasnamakan cinta, keindahan dan juga kenikmatan. Dari semua yang setan janjikan, tiada satupun mereka propagandakan kecuali agar manusia mau menemaninya di neraka.

Wahai diri, ingatlah tidak semua dosa hanya akan terbalas di akhirat. Jangan jadikan syetan sebagai kawan, jangan dengarkan bujuk rayunya, jangan turuti tipu dayanya, atau akan kau rasakan betapa panas dan pedihnya siksa neraka, yang bahkan bukan tidak mungkin bila sudah harus kau terima 'dp' nya di dunia. 

Ya Allah, bimbinglah aku untuk mendekat pada segala sesuatu yang dapat mendekatkanku kepada Mu. Dan kuatkanlah aku untuk menjauh dari segala sesuatu yang dapat menjauhkanku dari Mu.


Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri