21 Feb 2012

Tidak Selalu Pintar, Tidak Selalu Benar

Tulisan ini pertama kali publish di Cangkir Kupi nya Pak Dmilano, namun sengaja saya publish kembali di sini dengan harapan bisa memberikan manfaat yang lebih luas lagi, mengingat pentingnya pesan dan pelajaran yang tersimpan di dalamnya.

Belajar kelompok atau belajar bersama, hampir semua kita pernah melakukannya. Baik saat masih duduk di bangku SD, SMP, SLTA maupun ketika sudah berstatus mahasiswa. Begitupun yang kini sering dilakukan putriku, Sabila. Bersama beberapa teman sekelasnya, ia belajar kelompok secara bergiliran. Menjelang ujian akhir nasional yang tinggal beberapa bulan, banyak tugas dan latihan yang harus mereka kerjakan. Ini yang mengawali obrolanku dengan Fulan, beberapa hari lalu, usai makan siang. Obrolan singkat yang menggugah kesadaran dan memberiku pelajaran.

“Belajar bersama memang banyak manfaat positifnya walau terkadang jadi ajang keributan.” Komentar Fulan.

“Keributan?”  tanyaku, heran.


“Ya, keributan. Seperti yang terjadi di rumah kemarin malam. Seperti biasa, anakku yang nomor dua belajar bersama tiga orang temannya. Malam itu giliran di rumahku. Tiga puluh menit pertama mereka masih serius mengerjakan PR matematika. Tapi keributan mulai muncul ketika salah satu dari mereka mendapati cara pengerjaan temannya yang berbeda, walaupun hasil akhirnya sama. Tak terima dikatakan caranya salah, teman yang diprotes balas memprotes, ngotot bahwa cara yang ia pakai sudah benar. Mereka berdua saling ngotot. Masing-masing kekeuhbahwa cara yang ia pakai adalah satu-satunya cara yang benar.” 


“Terus siapa yang mendamaikan? Kamu?” tanyaku penasaran.

“Bukan! Aku hanya mengamati mereka dari teras. Terus terang aku juga penasaran, ingin tahu bagaimana mereka mengatasi masalah ini.” Jawab Fulan, cengengesan. “Melihat kedua temannya terus saja ribut, saling menyalahkan, anakku berinisiatif memanggil Faiz, putra sulungku. Selama ini ia memang bisa diandalkan untuk mengatasi hal-hal semacam ini. Diam-diam aku ikut menyimak bagaimana Faiz menjelaskan pada mereka bahwa soal matematika yang mereka ributkan sebenarnya bisa dikerjakan dengan beberapa cara, dan cara yang mereka pakai dua-duanya benar. Tinggal pilih mana yang lebih mudah.”
 
“Mereka bisa mengerti?”

Alhamdulillah!Lima belas menit setelah itu tak terdengar mereka ribut-ribut lagi. Bahkan sesekali dua anak yang tadi berseteru tertawa cekikikan, saling menggoda, jahil. Dan usai mengerjakan PR mereka sempat main game bersama, seakan tak pernah ada keributan sebelumnya. Ah, dasar anak-anak! Hal yang kecil mereka besar-besarkan! Tak tahu kalau dua-duanya benar, hanya karena tak sama, lantas diributkan!” Fulan terkekeh, mengenang kerusuhan kecil di rumahnya malam itu. 

“Bukan hanya anak-anak, tapi kita juga!” sergahku.

“Kita?” Fulan menatapku. Hei, kita baru saja kenal beberapa tahun yang lalu, bagaimana mungkin kita pernah belajar bersama, meributkan soal matematika, hal-hal sepele seperti teman-teman anakku?, begitu kira-kira arti tatapan matanya.

“Ya, kita!” jawabku santai. “Kita yang sudah berpuluh tahun meninggalkan masa anak-anak, tapi kelakuannya seringkali masih kanak-kanak. Merasa paling pintar, paling benar.” 

“Mm…iya juga ya! Tapi bukan kita berdua yang kamu maksud, kan?”

“Kadang-kadang!”

Fulan tertawa, manggut-manggut. 

“Yang kamu bilang ada benarnya juga. Sering kita lihat orang berdebat, baik yang mengatasnamakan pribadi atau mewakili kelompok. Awalnya memang terlihat sopan, santun, saling memberikan masukan dan pandangan yang sifatnya membangun. Tapi ketika titik perbedaan mulai terlihat, kalimat berikutnya mulai menghujat. Saling tuding, saling serang. Mengeluarkan pernyataan seolah-olah yang berseberangan pandangan dengannya adalah salah dan rendah, dan pemahamannyalah yang yang paling benar. Bahkan saling adu otot, adu jotos. Astaghfirulloh!Ini bukan hanya terjadi di media massa, tapi juga di sekitar kita. Dan pelakunya bukan lagi anak-anak, tapi mereka yang sudah berkeluarga, sudah beranak pinak. Padahal yang sama itu belum tentu benar, dan yang berbeda belum tentu salah atau lebih rendah.” Panjang lebar Fulan  berkomentar.

Aku bergeming ketika Fulan jahil melambai-lambaikan tangan di depan mukaku. Aku tidak sedang melamun, justru aku sedang merenungkan kata-katanya. Ada benarnya juga, bahwa usia bukan jaminan seseorang bisa bersikap dan bertindak secara dewasa. Juga yang tinggi sekolahnya belum jaminan selalu bijak dalam bersikap maupun bertindak. Seringkali justru nafsunya yang berbicara, merasa paling pintar, otomatis pendapatnyalah yang paling benar. Padahal tidak tertutup kemungkinan orang lain yang berbeda dengannya juga benar, atau bahkan sesungguhnya ia tidak lebih pintar dari mereka.

“Kita masuk yuk, sebentar lagi waktu istirahat habis. Kamu nda mau kan si boss nyuruh OB mengantarkan laporanmu ke sini?” ajak si Fulan. Mungkin ia kesal karena dua menit terakhir aku hanya diam, sibuk menyimpulkan apa yang baru saja kami bicarakan. 

Ternyata benar, usia bukan jaminan seseorang menjadi dewasa, baik dalam berbicara, bersikap maupun bertindak. Dan jika anak-anak begitu mudah melupakan pertengkaran sebelumnya, orang tua justru sering sebaliknya. Perbedaan pendapat, pandangan dan pemahaman adalah sebuah keniscayaan dan seharusnya kita menghargainya karena kita tidak selau pintar, dan juga tidak selalu benar. Dalam beberapa hal kita pintar, tapi tidak di segala hal. Dalam beberapa hal kita benar, tapi tidak di setiap hal.

*gambar dipinjam dari http://pahoman.org


Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri