20 Jan 2012

Saweran Kecebong 3 Warna: Pelaminan Kosong

Dalam kisah ini, aku memang bukan tokoh sentral, tapi aku tahu secara detail karena aku hampir selalu ada di setiap bagian penting dari kisah mengharukan ini.

Adalah Putra dan Putri, sebut saja demikian, tokoh utama dalam kisah ini. Keduanya masih ada hubungan kerabat denganku. Meski kutahu mereka tak keberatan bila kutuliskan kisahnya, namun aku harus menghormati mereka dan keluarga besarnya dengan tidak menyebutkan nama asli, semoga tidak mengurangi hikmah dan pelajaran yang dapat kita petik dari kejadian yang menguras air mata ini.

Bagai buah simalakama, ujian yang datang memberikan pilihan yang tidak mudah bagi Putra maupun Putri. Sepuluh hari menjelang pernikahan mereka, tiba-tiba Putra dilarikan ke rumah sakit dan harus menjalani operasi karena batu ginjal yang menyumbat saluran kemihnya. Dokter  yang diberitahu perihal rencana pernikahan Putra, mengingatkan bahwa butuh waktu  cukup lama, hingga berbulan-bulan untuk mengembalikan kondisi kesehatan Putra seperti sedia kala.


Indah yang mereka bayangkan tak menjadi kenyataan. Malam pertama yang diimpikan, bulan madu yang didambakan terpaksa tertunda hingga berbulan lamanya. Bahkan sekedar duduk bersanding di pelaminanpun ternyata hanya mimpi belaka.



Apakah pernikahan mereka gagal? Tidak, pernikahan itu tak pernah gagal. Tidak juga diundur seperti usulan yang sempat diajukan pihak keluarga Putra. Ratusan undangan yang sudah terlanjur disebar, memaksa pihak keluarga Putri melaksanakan pernikahan sesuai kesepakatan awal meski dengan cara yang tidak lazim. Pihak pengantin perempuan yang akan mendatangi pihak pengantin laki-laki. 

Tujuh hari menjalani perawatan intensif di rumah sakit Sultan Agung  Semarang, tiga hari menjelang hari H, dokter mengijinkan Putra untuk dibawa pulang dengan catatan harus kontrol tiga hari berikutnya. Ini berarti tepat di hari H pernikahannya. Tak ada pilihan, maka acara ijab qobulpun dijadwalkan bada’ Ashar agar pagi harinya Putra bisa ke rumah sakit untuk melakukan kontrol pasca operasi. 

Sesuai rencana, Selasa, 26 Juni 2007 menjelang subuh rombongan keluarga Putri, termasuk aku, tiba di kediaman keluarga Putra. Dua jam berikutnya, Putri, aku dan dua orang lainnya ikut mengantar Putra yang masih terbaring lemah untuk melakukan kontrol di rumah sakit. Puluhan kilometer, dari Pati menuju Semarang terasa semakin jauh karena selama di perjalanan Putra seringkali mengeluh sakit di pinggangnya. 

Tapi seperti yang sering terjadi, ujian demi ujian datang secara bertubi-tubi, silih berganti. Jelas-jelas di surat yang kami bawa tertulis bahwa hari dan jam itu Putra harus kontrol, hanya dengan mengucap kata maaf, pihak rumah sakit mengatakan bahwa mereka salah memberikan jadwal. Kami diminta datang kembali keesokan harinya karena siang itu sang dokter sedang praktek di rumah sakit lain dan tidak bisa diganggu sama sekali. Sedikitpun mereka tak memperhitungkan kondisi Putra yang sudah sedemikian payah. 

Diliputi rasa kecewa dan juga marah, kami segera memacu kendaraan, kembali ke Pati, mengejar waktu agar tidak terlambat sampai di rumah. Pak penghulu dan beberapa tamu undangan sudah berkumpul ketika rombongan kami sampai di rumah. Hanya ada waktu tigapuluh menit bagi Putra dan Putri untuk bersiap-siap, sekedar membersihkan diri dan berganti pakaian  lalu mengikuti prosesi ijab qobul yang sesungguhnya sangat mereka nanti-nanti. 

Pernikahan yang sangat sederhana. Bahkan pak penghulu yang sudah diberitahu pihak keluarga perihal sakit  yang Putra alami, merasa tak perlu berpanjang kata, langsung pada intinya. Ledekan yang biasanya dilontarkan kepada kedua calon mempelai, ia lupakan. Mendengar kisah Putra saja sudah terharu, manalah tega menggoda mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang kocak namun seringkali menjebak.

Waktu seakan bergerak sangat lambat ketika kedua mempelai keluar dari kamar masing-masing. Kelelahan jelas terlihat di wajah keduanya. Namun inilah saat terpenting bagi keduanya. Putri terlihat cantik mengenakan kebaya putih, sementara Putra hanya mengenakan baju putih lengan panjang tanpa jas. Bagaimanalah berpikir untuk mengenakan jas, untuk keluar dari kamar saja ia harus dipapah oleh dua orang kerabatnya. 

Sunyi, suasana ruang tamu yang digunakan untuk prosesi ijab qobul mendadak sunyi oleh pemandangan ini. Beberapa hadirin mulai tak bisa menahan air mata manakala Putra dengan suara bergetar menjawab ijab yang pak penghulu ucapkan. Dan tangis haru seluruh hadirin sempurna tertumpah ketika dua menit berikutnya Putra yang sudah tidak bisa menahan sakit berusaha kembali ke kamarnya dengan merangkak. Benar-benar merangkak. Seperti tersihir, semua hadirin terdiam, terpaku di tempat duduknya masing-masing yang memang diatur secara lesehan. Hingga beberapa detik berikutnya, dua orang kerabat yang duduk tak jauh dari Putra bergerak cepat, menggotong tubuh Putra yang terkulai lemah. Aku yang ikut masuk ke dalam kamar, semenit berikutnya, gemetar melihat warna merah segar di dalam ember.  Kemih Putra bercampur darah. Luka pasca operasi, diperparah perjalanan marathon seharian ini serta emosi yang campur aduk, membuat kondisi Putra kembali ke titik terendah. 

Apakah kisah ini telah berakhir? Belum! Dua jam setelah pernikahan Putra dan Putri, rombongan keluarga Putri terpaksa harus kembali ke Kebumen karena esok pagi acara resepsi akan diadakan. Ratusan tamu undangan akan datang, meski mereka hanya melihat kursi pelaminan yang kosong. Tak ada Putra dan Putri duduk bersanding di sana, karena saat itu mereka justru sedang berada di rumah sakit Sultan Agung untuk menjalani perawatan lanjutan. 

Tepat ketika tamu pertama datang, Putri menelponku dan memberitahu bahwa Putra baru saja masuk ruang gawat darurat. Terbata Putri memintaku untuk menyampaikan permohonan maaf kepada kedua orang tuanya karena mereka tak bisa hadir menyambut tamu undangan. Jika suara Putri terdengar tegar, justru aku yang tak bisa menahan air mata manakala kusampaikan pesan  ini pada orang tua Putri. Terpaku mereka duduk di kursi penjemput tamu. Badan mereka memang ada di sana, tapi kuyakin hati dan pikirannya sedikitpun tak bisa lepas dari anak dan menantunya. Meski senyum terlihat di bibir mereka, tapi kutahu pasti hati mereka menjerit, menangis. Aku bisa memahami kondisi ini. Bukan hal mudah membatalkan acara ini karena ratusan undangan sudah terlanjur disebar. Bagaimanalah menariknya kembali, satu-persatu.

Esok hari, sebelum tenda selesai dibongkar, ayah dan ibu Putri segera meluncur ke Semarang, menemui anak dan menantunya yang masih terbaring lemah. Seminggu kemudian, Putra sudah diperbolehkan pulang, tapi Putri tak bisa terus menemaninya karena ia harus kembali ke Tangerang. Cuti tambahan yang diberikan atasannya telah habis, dan ia harus kembali masuk bekerja. Tiga bulan berikutnya Putra baru bisa menyusul Putri ke Tangerang. Apa yang terjadi selanjutnya, berapa lama mereka harus menunggu untuk bisa menikmati indahnya bulan madu, tentu saja aku tidak tahu. Keterlibatanku dalam kisah mengharukan mereka sesungguhnya telah berakhir ketika  tenda hajatan selesai dibongkar,  semua perlengkapan dirapihkan dan dibawa pulang pemiliknya. 

***

Hidup ini memang tak lepas dari ujian. Bahkan seringkali ujian datang bertubi-tubi, silih berganti. Yang terbaik adalah ikhlas menerima dan sabar menjalani. Seperti yang kulihat pada Putra dan Putri. Meski seluruh hadirin tak kuasa menahan air mata, sesungguhnya mereka tetap tegar. Tak sebutirpun air mata meleleh dari mata keduanya. Bukan habis oleh beratnya ujian yang menerpa mereka, tapi keyakinan bahwa apapun yang terjadi adalah karena Allah yang menginginkan dan mengizinkan, dengan satu tujuan. Tak akan pernah ada ujian yang Allah berikan melebihi batas kemampuan. Ketika setiap ujian diterima dengan ikhlas, dijalani dengan sabar, maka Allah tidak akan menyia-nyiakan. Ada kebahagiaan dan kemuliaan yang Allah siapkan bagi setiap hambaNya yang senantiasa sabar dan syukur dalam setiap kesempatan dan keadaan.

Seperti halnya umur dan rejeki, jodoh adalah juga rahasia Illahi. Walau beratnya ujian menghadang, tapi tak ada yang bisa menghalangi ketika Allah sudah menghendaki.


“(nama sampeyan) berpartisipasi dalam ‘Saweran Kecebong 3 Warna’ yang didalangi oleh Jeng Soes-Jeng Dewi-Jeng Nia, disponsori oleh Jeng Anggie, Desa Boneka, dan Kios108”

Read more at:
http://keluargazulfadhli.blogspot.com/2012/01/saweran-kecebong-3-warna.html
Diambil dari tulisan aslinya di http://keluargazulfadhli.blogspot.com/
Abi Sabila berpartisipasi dalam ‘Saweran Kecebong 3 Warna’ yang didalangi oleh Jeng Soes-Jeng Dewi-Jeng Nia, disponsori oleh Jeng Anggie, Desa Boneka, dan Kios108

Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri