20 Dec 2011

Tiara

Sekali lagi, untuk yang terakhir kalinya Fahri membaca sebuah nama yang tertera di sampul buku, sebelum kemudian menyimpannya di dalam lemari.

Dua nama berbeda, meninggalkan orang-orang yang tercinta dan mencinta, kembali kepada Sang Maha Segalanya dengan jalan yang sama. Gagal ginjal, stadium terminal.

Perih. Selalu itu yang terasa setiap kali mendengar, menyebut nama Tiara, kekasih hatinya. Bahkan, membaca nama Delima di sampul buku itu, mata tajamnya begitu mudah berkaca-kaca.

Seringkali Allah memberikan tanda-tanda peringatan sebelum sesuatu yang besar terjadi. Namun seringkali pula hati yang terlena kemilau dunia tak mampu menangkap tanda kasih sayang yang Allah tunjukan. Bukan sebuah kebetulan ketika seseorang mengirimkan buku tentang perjuangan hidup Delima, penderita gagal ginjal kronis kepada Fahri.

Satu yang tak pernah terbayang, dua bulan setelah membaca buku ini, dokter memvonis Tiara menderita gagal ginjal stadium lima. Bahkan, tiga bulan kemudian stadium itu terus meningkat hingga memasuki stadium terminal. Jika awalnya hanya membaca, Tiara kini harus menjalani beratnya bertahan hidup dengan ginjal yang tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Berbagai pengobatan medis dan alternatif telah ditempuh, tapi Allah berkehendak lain. Dan Fahrilah orang yang paling kehilangan atas kepergian Tiara untuk selama-lamanya.

Ikhlas dan ridho, hanya itu yang mampu Fahri lakukan. Namun demikian, meski ikhlas, meski ridho, meski Fahri mampu meletakkan jasad kekasih hatinya di tempat peristirahatan terakhirnya tanpa setetespun air mata, tapi kerinduan adalah hal yang berbeda. Kepergian Tiara adalah takdir yang sudah tertulis bahkan sebelum Tiara terlahir, tapi seiring berlalunya waktu, rasa rindu itu justru semakin menggebu. Terlalu besar ia menyayang, terlalu dalam ia mencinta, dan terlalu indah cerita cinta yang pernah tercipta.

Pada siapapun Fahri bisa mengatakan bahwa matanya yang sering berkaca-kaca disebabkan kelelahan bekerja berjam-jam di depan komputer. Tapi Fahri tak bisa membohongi diri sendiri, sebenarnya mata itu sering membasah sejak lima bulan yang lalu. Mengenang hembusan nafas terakhir Tiara di waktu Ashar, selalu saja air mata Fahri menggenang.

Sebagai manusia, Fahri tidaklah setabah dan setegar yang terlihat. Keikhlasan, keridhoan tak serta merta menutup pintu air mata karenanya. Tak banyak yang tahu, sesungguhnya Fahri betah duduk berjam-jam di depan komputer, adalah sebuah ‘pelarian’ atas kerinduannya pada Tiara. Tiada lelah menulis, tiada bosan ia bercerita, meski semuanya tentang hal yang sama, Tiara. Tiada jemu menunggu, tiada letih menanti, meski pertemuan itu kini hanya melalui mimpi. Tidak untuk saat ini, tidak di dunia ini, tapi nanti di kehidupan yang abadi.


*Gambar dipinjam dari http://nhae2.blogspot.com

Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri