23 Dec 2011

Kesalahan Ketiga

Tujuh hari. Lelaki itu benar-benar menepati janji. Janji yang ia ucapkan pada diri sendiri, di depan dua gundukan tanah, dimana putra dan putrinya kini terkubur berdampingan.

Duka dan sesal yang mendalam, itulah yang kini lelaki itu rasakan. Kedua buah hatinya pergi menghadap Illahi tanpa satupun kehadirannya di sisi. Lima tahun lalu, Allah mengutus malaikat-Nya untuk menjemput si Sulung. Demam berdarah Allah tentukan sebagai penyebabnya. Seminggu sebelum kejadian, sebenarnya sang istri sudah mengabarkan bahwa si Sulung demam tinggi dan selalu menyebut ayah dalam setiap igauannya. Sayang, bukan kehadiran yang ia persembahkan, tapi uang yang ia kirimkan. Kewajiban pada seseorang yang telah memberinya lembaran dolar setiap bulan, menjadi alasan mengapa ia tak datang, segera setelah sang istri mengabarkan. Ia terlupa bahwa selalu ada pengecualian atas nama kemanusiaan. Dan itu ia lewatkan begitu saja tanpa pernah mencobanya.

Tiga tahun berlalu, kembali sang malaikat datang menjemput si Bungsu, satu-satunya yang masih tersisa. Dengan jalan berbeda, sang malaikat meninggalkan luka yang sama. Sebuah kecelekaan menjadi jalan bagi si Bungsu untuk menghadap Sang Maha Pemilik Segalanya, termasuk cinta. Lima hari berjuang, satu kenyataan bahwa dokter hanyalah manusia yang lemah, Allahlah yang Maha Kuasa. Di usianya yang juga masih belia, si Bungsu kembali ke pangkuan Sang Maha Pemilik Cinta.



Seandainya saja lelaki itu tak menunda kepulangannya, maka saat si Bungsu berjuang mempertahankan hidup ia bisa mendampingi, memberikan rasa aman dan nyaman yang saat itu sangat si Bungsu butuhkan. Tapi kini semua menjadi percuma. Tak lama setelah itu, sang majikan - orang yang selama ini ia bela, ia prioritaskan - justru memutuskan hubungan kerja tanpa merasa perlu memberikan sedikitpun penjelasan. Bahkan, tak ada waktu untuk sekedar mendengar keluhannya. Dua kali ia menunda kepulangannya dan kini ia telah kehilangan nyawa kedua buah hatinya, tak cukupkah itu menjadi bukti kesetiaannya?

“Sebentar lagi adzan Maghrib berkumandang, sebaiknya Anda pulang sekarang!”

Tak perlu memalingkan muka, lelaki itu tahu suara siapa yang telah mengembalikan secara paksa pikiran yang tak pernah berada satu tempat dengan badannya. Bukan istrinya, tak mungkin perempuan itu berani melanggar larangannya, menyusul ke makam. Tak mungkin, atau bahkan sebenarnya sang istri sudah tak peduli dengan apa yang ia lakukan.

“Besok, atau kapanpun Anda bisa kembali lagi kesini “ suara itu terdengar lagi.

“Kau tidak tahu apa yang ada dalam hatiku!” untuk pertama kalinya, lelaki itu menjawab, setelah tujuh kali sang penjaga makam mengingatkan hal yang sama.

“Tentu saja, saya tidak berada di posisi Anda. Bahkan, maaf, saya tidak ingin sakalipun berada di sana“ jawab sang penjaga makam dengan tenang.

Merasa kali ini mendapat tanggapan, sang penjaga makampun tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Ia harus menyadarkan lelaki itu bahwa apa yang dilakukannya percuma, bahkan nyaris sia-sia.

“Saya tidak melarang Anda datang ke sini setiap hari, itu hak Anda. Tapi perlu diingat bahwa itu bukanlah sebuah kewajiban. Anda bisa saja mendoakan mereka dari manapun Anda berada. Anda tak harus meninggalkan kewajiban Anda lainnya hanya untuk menyesali diri di sini. Tak mungkin yang telah pergi akan kembali, meski setiap hari anda menunggunya di sini“

Perlahan lelaki itu membalikan badannya. Lancang benar sang penjaga makam menceramahinya. Tapi hati kecilnya membenarkan itu semua.

Ketika tatapan mereka saling beradu, hati sang penjaga makam berdesir. Ia hafal jadwal kehadiran dan kepulangan lelaki itu di makam selama tujuh hari terakhir, tapi baru kali ini ia melihat muka pucatnya. Tatapan mata sembabnya, sama sekali tak bercahaya, kosong dan hampa.

“Anakku…” merasa trenyuh , sang penjaga makam merubah panggilannya. “ Yang terjadi pada putra dan putrimu adalah takdir, yang sudah tertulis sebelum mereka terlahir ke dunia ini. Kapan, di mana, bagaimana dan dengan cara apa mereka akan kembali kepada Sang Penciptanya “

“Seharusnya aku pulang, ada di sisi anak-anakku saat mereka berjuang melawan maut!”

“Ada atau tidaknya dirimu saat itu, tak akan merubah keadaan, bila memang sudah saatnya”

“Aku terlalu mengejar masa depan, hingga lupa apa yang seharusnya aku lakukan di masa sekarang! “

“Aku percaya, kepergianmu sampai ke luar negeri adalah untuk masa depan keluargamu, anak-anakmu. Hanya saja, caramu memandang dunia lebih dari semestinya. Dan jika ini kau anggap sebagai kesalahan, cukuplah dua kali kau melakukannya, jangan sampai terjadi kesalahan ketiga. “

“Untuk apa aku bangun rumah yang megah, tabungan berisi ribuan dolar dan jutaan rupiah, bila mereka yang seharusnya menikmati justru telah mendahului “

“Anakku…tak ada yang sia-sia, tak ada yang percuma, kecuali manusia yang sering memperlakukannya demikian. Allah telah memberikan hasil pada kerja kerasmu. Banyak hal yang bisa kamu lakukan dengan harta yang telah kau dapatkan selama ini. Gunakanlah untuk beriibadah, bantulah anak-anak yatim yang sangat membutuhkan uluran tangan dermawan, juga mereka para fakir dan miskin yang ada di sekitar rumahmu. Mudah-mudahan dengan jalan demikian, Allah masih memberikan kesempatan kepada kalian untuk kembali diberikan keturunan “

“Masihkah ada kesempatan untuk itu?” jelas sekali kalau lelaki itu merasa ragu.

“Insya Allah. Jangan mudah menyerah, jangan berputus asa dan tetaplah berbaik sangka pada Allah SWT. Jangan hadapi satu masalah dengan menimbulkan masalah yang baru. Penyesalan berkepanjangan tiada guna kalau tidak bisa mengambil pelajaran untuk kemudian memperbaiki diri. Pulanglah sekarang, jangan biarkan istrimu larut dan hancur dalam kekalutan. Selamatkan dia. Terlalu berat sudah ia menanggung kepedihan ini, jangan kau tambahi dengan sikapmu selama tujuh hari terakhir ini. Saya tidak menyuruhmu melupakan, tapi ambilah pelajaran dari kesalahan yang telah kau lakukan, masih ada kesempatan, yakinlah akan kasih sayang Allah “

Penuh kelembutan, sang penjaga makam itu memegang pundak sang lelaki, menuntunnya untuk berdiri.

“Anakku, satu lagi yang harus kau ingat. Tak harus setiap hari kau kesini. Benar bahwa berziarah mengingatkan kita akan kematian, tapi jangan sampai meninggalkan kewajiban lainnya. Kau bisa mendoakan mereka kapanpun, dari manapun kau berada, asalkan kau ikhlas dan bersungguh-sungguh melakukannya. Persiapkan masa depan, ambil pelajaran dari masa lalu dan jangan lupa untuk menikmati masa sekarang. Sesungguhnya, akupun mengambil pelajaran darimu “

“ Terima kasih, Pak “ dari sekian kali pembicaraan, inilah satu-satunya ucapan lelaki itu yang tidak diucapkan dengan nada tinggi. Hatinya kini terbuka, secercah cahaya harapan terlihat olehnya.

Kedua laki-laki yang terpaut usia puluhan tahun itupun saling berangkulan. Ada sebuah kedamaian perlahan menyusup ke dalam relung hati sang lelaki. Dan tanpa ia sadari, lelaki tua dalam pelukannya perlahan mengusap air yang menggenang di kedua sudut mata tuanya.


Catatan:
Kisah ini fiktif belaka, kesamaan cerita tentu bukahlah hal yang disengaja, namun demikian mudah-mudahan ada hikmah dan pelajaran bermanfaat yang terkandung di dalamnya.

*Gambar pinjam di http://dimasariefsetiawan.blogspot.com

Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri