12 Jun 2011

Sedikit, Tapi Jadi Penyakit

Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit, demikian peribahasa mengatakan. Meski peribahasa ini identik - sering dikaitkan dengan menabung, tapi menurutku bisa diartikan lebih luas lagi, sebagai ajakan sekaligus juga peringatan. Ajakan untuk melakukan kebaikan, juga peringatan untuk menjauhi dan meninggalkan keburukan. 

Sesederhana apapun, sedikit dan sekecil apapun, kebaikan yang dilakukan dengan niat yang lurus dan hati yang tulus ikhlas, insya Allah akan menjadi amal ibadah dengan pahala yang besar. Sebaliknya, sekecil apapun keburukan, bila dilakukan berulang-ulang maka dosanya akan terus bertumpuk. Sedikit, tapi jadi penyakit. 

**

Adzan Isya sudah tiga puluh menit berlalu ketika aku meninggalkan halaman parkir perusahaan tempatku menjemput rizki. Lelah, berbagai tugas mendadak telah memaksa badan dan pikiranku bekerja ekstra. Benar bahwa tubuh ini memiliki keterbatasan. Kerja lebih dari delapan jam dalam sehari membuat tubuh terasa kehabisan energi. Tak ada yang lebih kuinginkan saat itu kecuali segera sampai di rumah, beristirahat dan tentu saja bertemu putri semata wayangku yang telah dua kali mengirimkan sms, bertanya jam berapa aku pulang. 


Tapi keinginanku untuk segera sampai di rumah ternyata harus tertunda lima sampai sepuluh menit kedepan. Kulihat indikator bahan bakar di panel sepeda motorku berkedip, memberi tanda agar segera diisi. Tak hanya aku yang lapar, rupanya sahabat setia yang selalu mengantarku menjemput rizki setiap hari ini juga menuntut haknya. Sabar, tidak akan lama, paling sekitar sepuluh menit, aku membujuk perutku yang juga ikut cari perhatian dengan rasa perih dan bunyinya yang khas, suara cacing kelaparan.

Sedikit lega karena antrian di SPBU malam itu tidak terlalu panjang. Kuhitung hanya ada lima pengendara motor yang sedang antri. Sabar, tidak akan lama, aku kembali mengingatkan diri sendiri. Tepat sebelum aku menghentikan laju motorku, kulihat seorang petugas dengan seragam merahnya yang khas melambaikan tangan, meminta aku berbelok ke arahnya. Meski sebenarnya dikhususkan untuk kendaraan roda empat, tapi daripada antri, petugas tersebut berbaik hati membolehkan aku mengisi di dispenser yang dijaganya. Alhamdulillah. Tak ingin keduluan yang lain, aku langsung membelokkan motorku, menuju sang petugas yang langsung menyambutku dengan senyum dan sapa ramahnya. Tak lama kemudian kudengar dia berkata, dimulai dari nol ya Pak, sambil tangannya mengarah pada panel yang menunjukan sederetan angka nol.

Tak ada yang istimewa, semua berjalan seperti biasa. Hampir tak ada yang menarik perhatianku sampai seorang pengemudi pick up yang antri dibelakangku turun dari mobilnya.

“ Tiga puluh ribu saja! Ada bon yang empat puluh ribu tidak?” tanya laki-laki yang kuingat mengenakan kaos berwarna hitam itu. 

Tak ada yang aneh dengan ucapan pertamanya. Aku tahu yang ia maksudkan, apalagi sang petugas SPBU. Tak perlu ia bertanya lagi berapa liter yang laki-laki itu inginkan. Tapi mengapa ia menanyakan struk pembelian senilai empat puluh ribu, itu yang menarik perhatianku. Aku jelas sekali mendengar laki-lak itu hanya akan mengisi bahan bakar seharga tiga puluh ribu, mengapa ia meminta struk pembelian seharga empat puluh ribu? Apakah dia bermaksud akan menipu? Kulihat sang petugas gugup ketika menjawab, tidak ada!.

Sungguh, tak ingin aku menuduh laki-laki ini memiliki niat buruk seperti yang terlintas dalam benakku setelah mendengar pertanyaannya. Tapi kisah si Fulan yang dikeluarkan dari pekerjaannya gara-gara memalsukan tagihan pembelian bahan bakar, menggusarkan hatiku bahwa laki-laki ini tidak salah bertanya kecuali memang ia sengaja. 

Fulan yang bekerja sebagai supir ekspedisi, beberapa bulan lalu dikeluarkan dari tempatnya bekerja karena terbukti telah memberikan struk pembelian bahan bakar yang aspal, asli tapi palsu. Sang kasir curiga dengan nota-nota yang ia ajukan selalu berbeda jumlahnya untuk tujuan pengiriman yang sama. Tidak terlalu banyak memang selisihnya, antara sepuluh hingga dua puluh ribu dari jumlah yang sudah diperkirakan oleh manajemen perusahaan. Masalahnya adalah kejanggalan ini bukan hanya terjadi satu atau dua, tapi berkali-kali. 

Apakah laki-laki berkaos hitam itu juga melakukan seperti yang dulu dilakukan Fulan? Jika dulu aku hanya mendengar cerita ini dari salah satu sahabat yang bisa kupercaya, maka kini aku melihat orang lain melakukan apa yang dulu sempat kuanggap fitnah belaka. Astaghfirulloh!

Mengapa Fulan – dan juga mungkin laki-laki di pom bensin itu meminta struk yang lebih tinggi dari yang seharusnya? Tentu saja jawabannya adalah untuk keuntungan pribadinya. Dalam melakukan aksinya, ia masih memiliki perhitungan agar tidak mengundang kecurigaan. Ia sengaja meminta struk yang selisih nilainya tidak terlalu jauh dari yang seharusnya. Tapi satu yang tak terpikir atau sengaja ia abaikan adalah meski sedikit, perbuatan mereka tetaplah sebuah pelanggaran yang tentu saja mendatangkan dosa. Mereka terlupa bahwa meski sedikit tapi bisa jadi penyakit.

Jika dalam perjalanan dari tempat kerja aku mulai memikirkan menu makan malam yang akan kupilih untuk kunikmati bersama putri tunggalku, maka setelah dari pom bensin pikiranku terus dibayangi laki-laki pengemudi pick up itu. Juga, sang petugas pom bensin yang terlihat canggung saat mengatakan tidak ada struk pembelian seperti yang diminta laki-laki itu. Apakah tidak ada yang ia katakan itu berarti ia tidak mau bekerja sama dengan pembelinya atau ia mau bekerja sama tapi kebetulan nota yang dimaksud memang tidak ada. Astaghfirulloh! Kenapa aku jadi berburuk sangka pada mereka? Tapi cerita tentang Fulan memberikan jawabannya.

Jika Fulan dikeluarkan dari pekerjaan tanpa mengajukan protes keberatan, sebaliknya ia mengakui semua perbuatannya dengan catatan masalah ini tidak dilanjutkan – cukuplah pemutusan hubungan kerja tidak dengan hormat sebagai imblannya, maka ini membuktikan adanya petugas-petugas nakal yang mau bekerja sama, memberikan struk asli tapi palsu kepada pembelinya yang juga nakal. Bagiamana ini bisa terjadi? Sangat mudah menjelaskannya. Tidak semua pembeli bahan bakar di SPBU meminta struk pembelian mereka. Struk pembelian atau yang laki-laki berkaos hitam itu sebut dengan bon inilah yang kemudian disimpan oleh petugas nakal dan akan diberikan kepada pembeli langganannya yang rela menukar keberkahan rizki dengan sejumlah rupiah yang sangat rendah.

Apa yang didapat oleh petugas pom bensin nakal seperti ini? Entahlah, barangkali sejumlah uang sebagai tanda terima kasih atau bahkan tidak ada sama sekali kecuali ia juga ikut menanggung dosanya. Ia bisa saja mengelak tidak ikut menikmati hasil kejahatan para pembeli nakal dari hasil memalsukan struk pembelian bahan bakar, tapi ia telah membantu kejahatan ini terjadi. Astaghfirulloh, tak ada untung yang didapat kecuali rugi berkali-kali.

Minimnya penghasilannya, tingginya biaya hidup selalu menjadi senjata utama bagi mereka yang lebih tepat disebut memaksakan diri dibanding terpaksa ini. Tapi apakah menambah penghasilan dengan cara menipu itu jalan satu-satunya? Tentu saja bukan!

Kebutuhan hidup dari hari ke hari memang sering tak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh dari kerja keras, membanting tulang dan memeras keringat. Tapi menipu jelas bukan jalan yang benar. Berhemat adalah keharusan yang mestinya dijalankan. Menabung, sedikit demi sedikit untuk cadangan kebutuhan yang seringkali tak pernah terduga. Sedikit uang yang disisihkan setiap hari, akan sangat membantu bila suatu saat ada kebutuhan besar yang tak terduga sebelumnya. Jangan pernah berfikir bahwa penipuan yang dilakukan hanya sedikit, sangat kecil bila dibandingkan dengan yang dilakukan para koruptor negeri ini. Ingatlah bahwa meski sedikit, keburukan itu membawa penyakit. Jika tidak segera ditinggalkan, yang sedikit itu akan menjadi penyakit yang berbahaya, bukan saja membawa sengsara di dunia tapi juga di akhirat. Nauzubillah!

Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri