25 Apr 2011

Bingkai Cinta

Sebuah cerpen

Bukan satu atau dua kali, sudah seringkali Zul mendapat pertanyaan yang – hampir – sama dari belasan orang yang berbeda.

“ Ini adik atau keponakan ya?”

Terakhir, pertanyaan ini diajukan seorang laki-laki yang tak sengaja bertemu di toko buku, seminggu yang lalu.

Sebenarnya, bisa saja Zul menjawab salah satunya, namun tak pernah ia berfikir menghianati darah dagingnya sendiri demi mengakhiri sebuah percakapan yang tak ia inginkan.

“ Ini Zahra, putri pertama saya! “ Zul selalu bangga menyebut nama Zahra.

Zul sadar, dengan menjawab seperti itu, serangkaian pertanyaan berikutnya siap mengalir dari siapapun yang baru mengenalnya. Termasuk dari laki-laki berbaju biru yang sempat membuat Zul simpatik karena warna biru adalah warna kesukaannya. Sayang, tak jauh berbeda dengan yang lainnya, pertanyaan laki-laki inipun senada. Menikah di usia muda adalah sebuah kesalahan, keterpaksaan atas satu keadaan yang tak diinginkan. Begitu sempit cara pandang mereka, menyamaratakan satu kejadian dengan kejadian lain yang bukan saja berbeda orang, namun juga sebenarnya tak bisa disama-samakan. Astaghfirulloh! Jika ada yang terpaksa menikah di usia muda untuk menutupi aib sang gadis yang terlanjur berbadan dua, sungguh itu bukan Zul dan Fahira.

Seperti bisa ditebak, ketika Zul mengatakan bahwa gadis kecil bermata indah bak permata itu adalah putri pertamanya, siapapun akan menjadi kaget karenanya. Zul hafal betul sederetan pertanyaan yang biasa diajukan terkait ia dan Zahra yang memang lebih pantas sebagai Oom dan keponakan dibanding sebagai bapak dan anak. Zul masih terlalu muda untuk mempunyai anak berumur sebelas tahun seperti Zahra. Tapi itulah kenyataannya, umur dua puluh satu tahun Zul menikah, dan setahun kemudian lahirlah Zahra, putri pertamanya yang memiliki wajah jelita seperti Fahira, gadis ayu berhati lembut yang memikat hatinya sejak kelas dua SMA.

Meski tak terhitung berapa kali Zul menceritakan episode awal pertemuannya dengan Fahira, namun ia tak pernah bosan melakukannya. Inilah episode terindah dalam hidupnya. Bertemu dengan orang yang saling menyinta, sama-sama sebagai cinta pertama. Dan bagi sebagian orang yang baru mengenal cinta setelah separuh perjalanan hidup ia jalani – seperti laki-laki ini – kisah cinta Zul memang tak mudah untuk dipahami.

Jangankan orang lain yang baru pertama kali bertemu, Zul ingat betul reaksi kedua orang tua dan kelima kakaknya ketika ia meminta ayah dan ibu untuk melamarkan Fahira, teman sekelas yang ternyata setelah lulus merantau ke kota yang sama. Bagi orang lain mungkin ini dianggap sebuah kebetulan, tapi bagi Zul dan Fahira ini adalah skenario yang telah Allah tuliskan untuk mereka. Subhanallah!

Meski tidak secara blak-blakan, Zul bisa menangkap keraguan yang ayah, ibu dan saudara-saudaranya. Juga pihak keluarga Fahira, sempat menyangka rencana menikah mereka yagn terkesan mendadak adalah karena satu sebab darurat? Astaghfirulloh! Jika ada orang yang terburu-buru menikah, maka bagi Zul dan Fahira pernikahan yang akan mereka jalani tidaklah karena tergesa-gesa, tapi segera melakukan setelah Allah mengabulkan doa. Sebaliknya, jika ada orang yang selalu menunda-nunda karena merasa belum siap dan berbagai alasan lainnya, maka Zul dan Fahira berpendapat bahwa mereka lebih tidak siap lagi menghadapi besarnya godaan syetan yang memperalat cinta untuk menjerumuskan manusia. Apalagi yang harus dipersiapkan? Saling mencintai, saling menyayangi, saling mengerti dan berjanji untuk terus melakukannya meski ujian berumah tangga tak bisa mereka hindari, cukup menjadi alasan untuk segera menikah, meski sebagian orang meragukannya, namun dengan ridho Allah, mereka yakin dapat membuktikannya.

“ Katanya, nak Zahra ini putri pertama. Apakah itu berarti dik Zul mempunya anak selain Zahra?” Rupanya laki-laki ini semakin penasaran, ingin tahu lebih dalam tentang Zul dan keluarga mudanya.

“ Ya, betul! Alhamdulillah, sekarang saya sudah dinugerahi dua orang anak. Pertama Zahra, dan yang kedua Daffa, bulan depan usianya genap satu tahun “

“ Saya tidak melihat ibunya Zahra, apakah dia terlalu repot untuk ikut menemani dik Zahra jalan-jalan? ”

“ Mm…, tidak juga!” Meski Zul mulai merasa pertanyaan laki-laki ini mulai cenderung menyelidik ketimbang sekedar berbasa-basi, namun Zul tetap berusaha untuk menjawabnya seramah mungkin. “ Sejak Zahra lahir, istri saya sudah terbiasa mengurus anak sendiri. Baginya mengurus anak adalah sebuah kesibukan yang sangat ia nikmati. Kalaupun hari ini ia tidak ikut jalan-jalan, itu karena ia sedang menyelesaikan pesanan kue ulang tahun salah satu pelanggannya. Di tengah kesibukan mengurus keluarga, istri saya menerima pesanan kue dan penganan untuk berbagai acara. Alhamdulillah, hasilnya sangat membantu menghidupi keluarga kami “ Zul melanjutkan.

“ Oh iya, saya jadi ingat! Seminggu lagi Randy, putra saya akan merayakan ulang tahunnya yang ke lima. Seperti tahun lalu, ia minta ulang tahunnya kali ini juga dirayakan secara meriah. Untuk kue ulang tahunnya saja, Randy minta dibuatkan kue yang benar-benar special, baik tampilan maupun rasanya. Beruntung kami tahu tempat yang tepat untuk mendapatkan kue ulang tahun seperti yang Randy inginkan. Sebentar, saya punya kartu namanya. “

Tanpa diminta, laki-laki ini mengeluarkan dompet, mengambil selembar kartu nama dan menyodorkan kepada Zul. Meski tak paham apa yang laki-laki ini inginkan, Zul akhirnya menerima kartu nama yang disodorkan kepadanya.

Meski ada kesan bahwa laki-laki ini ingin mengatakan bahwa sepandai apapun Fahira membuat kue, tidaklah lebih jago dibandingkan ahli kue langganannya, namun Zul tetap berusaha untuk tidak terpancing emosi. Membaca sekilas kartu nama yang kini telah berpindah ke tangannya, Zul hanya tersenyum. Ia hafal betul dengan desain kartu nama di tangannya, nama dan alamat yang tercantum di sana, ia hafal betul. Bahkan, ada puluhan kartu nama serupa tersimpan di laci mejanya.

“ Bapak sudah pernah datang langsung ke rumah pembuat kue ini?” tanya Zul kemudian.

“ Belum, untuk apa? Saya tinggal telfon dan pesanan diantar tepat pada waktunya. Pokoknya, langganan saya benar-benar bisa dihandalkan. “

“ Betul juga sih, tapi tak ada salahnya juga Bapak sekali-sekali datang ke rumah pembuat kue ini, toh alamatnya tidak terlalu jauh dari sini. Sambil bersilaturahmi, bapak bisa memastikan apakah selain penampilan dan rasa, pembuat kue ini juga memperhatikan soal kebersihan.” Zul menyarankan.

“ Mm..iya, ya! Selama ini saya tidak berfikir sampai kesana. Baiklah, nanti saya akan telpon bahwa pesanan saya tidak perlu diantar, tapi kami yang akan mengambilnya sendiri. Dengan demikian, mereka tidak curiga bahwa sebenarnya kami kedatangan kami sekaligus untuk menyelidiki apakah mereka memperhatikan sisi kebersihan.”

“ Sebaiknya memang demikian “

**

Seminggu setelah pembicaraan di toko buku. tibalah hari ulang tahun Randy, putra tunggal laki-laki yang berulang kali membanggakan keluarganya di depan Zul. Keluarga mapan yang dibangun setelah usia mereka dewasa, menginjak kepala tiga, bukan sebuah keluarga yang dibangun di usia muda, seperti yang dilakukan Zul dan Fahira. Sungguh, seandainya laki-laki itu tahu siapa yang akan ia datangi pagi ini, maka ia akan menahan semua kata-katanya, atau bahkan menarik yang sudah terlanjur ia ucapkan dengan angkuhnya.

Sebenarnya Zul sama sekali tak bermaksud ‘menjebak’ laki-laki itu, tapi kebetulan Fahira harus pergi ke luar kota, ada acara pelatihan ibu-ibu PKK dan ia diminta menjadi mengajari mereka membuat kue di sana. Sebelum pergi, Fahira kembali mengingatkan bahwa kue ulang tahun berukuran jumbo itu tidak perlu diantar, karena sang pemesan akan mengambilnya sendiri. Kemarin ia telah mengkonfirmasi melalui telepon. Zul tahu bahwa yang Fahira maksudkan adalah laki-laki yang bertemu dengannya seminggu yang lalu di toko buku, tapi Zul tak berniat memberi tahu Fahira. Biarlah laki-laki itu yang akan mengambil pelajaran, tak perlu Fahira tahu bahwa laki-laki itu telah memandang sebelah mata terhadap rumah tangganya, bahkan mengisyaratkan kecurigaan bahwa perkawinannya dilakukan karena alasan darurat.

Tepat pukul delapan, persis seperti yang disampaikan Fahira, sebuah mobil sedan warna hitam mengkilap memasuki halaman rumah Zul. Zul yang mengintip dari balik jendela di lantai dua bisa melihat jelas seorang laki-laki yang keluar dari mobil mewah itu. Tak lama kemudian, seorang bocah keluar dari dalam mobil dan berlari kecil ke arah sang ayah. Laki-laki itu yang kemarin bertemu di toko buku, dan bocah itu adalah Randy. Tiba-tiba Zul merasa gugup. Sungguh, ia tak bermaksud menjebak siapapun, meski laki-laki itu akhirnya harus merasa malu atas semua ucapannya.

“ Assalamu’alaikum, selamat pagi Pak!” sapa Zul ramah.

Laki-laki yang sedang duduk di teras rumah terkejut demi melihat Zul sudah berdiri tak jauh darinya. Ia terlalu asyik melihat foto-foto kue yang terletak di meja hingga tak menyadari kehadiran Zul.

“ Wa’alaikum salam” agak tergagap laki-laki ini menjawab. “ Sepertinya kita pernah bertemu, kalau tidak salah....... seminggu yang lalu di toko buku. Ya, di toko buku. Apakah dik Zul memesan kue juga di sini?” laki-laki ini kembali menunjukan sifat aslinya, sulit menempatkan orang lain lebih tinggi darinya.

“ Oh tidak! Saya tidak memesan kue di sini. Kapanpun saya mau, saya tinggal minta dibuatkan langsung kepada ahlinya.”

“ Maksudnya?’

“ Pembuat kue yang Bapak pesan, adalah istri saya “

Tak banyak kata yang Zul ucapkan, tapi butuh waktu cukup lama bagi laki-laki ini untuk menetralisir kegugupannya.

**

Adalah Zul, meski tak jarang orang memandang curiga dengan pernikahan dini yang dilakukannya, bahkan tak sedikit yang mengira bahwa menikah di usia muda karena tak kuasa menahan dorongan nafsu belaka, sangat rentan dengan perpecahan, namun itu tak memberikan alasan untuk ia terpancing emosi atau membantah habis-habisan. Cukup ia dan Fahira yang tahu, kedua belah pihak keluarga dan yang terpenting adalah Allah Yang Maha Tahu Segalanya.

Seperti halnya maut dan rejeki, maka jodoh adalah juga sebuah misteri. Tak ada batasan yang pasti kapan harus menikah. Ketika tiba masanya, meski masih terhitung muda, jodoh datang tanpa seorangpun bisa meminta ataupun menolaknya. Apa yang dijalani Zul dan Fahira, adalah kehendak Allah yang telah tertulis sebelum keduanya terlahir ke dunia. Ketika teman seusianya masih sibuk dengan gemerlap dunia dan hiruk pikuk gejolak muda, Zul dan Fahira telah mengambil keputusan membina sebuah rumah tangga berdasarkan saling mencintai, menyayangi dan mengerti. Ketika kaum muda di luar sana terjebak gejolak nafsu membara, terperangkap dalam rasa takut dan hasrat muda, maka Zul dan Fahira bisa menikmati cinta yang sesungguhnya dalam bingkai rumah tangga yang menghalalkan mereka melakukannya kapanpun mereka mau, tanpa rasa takut dan ragu.

Dan bila Allah telah meridhoi, maka keberkahanpun akan terus turun, sepanjang mereka bisa menjaga kesucian cinta yang mereka ikrarkan bersama. Wallohualam!


Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri