14 Mar 2011

Kenapa Kamu Tidak Mencontek?

Butuh waktu cukup lama bagi Genduk untuk memutuskan, apakah ia akan memberitahu hasil ulangan matematikanya pada Pa’e atau diam saja, toh Pa’e juga tidak bertanya. Bahkan, sepertinya Pa’e tidak tahu kalau siang tadi ada ulangan matematika. Meski Genduk tahu Pa’e tak mudah marah, tetap saja ia ragu dan malu untuk memperlihatkan nilai enam di lembar ulangannya.

Apapun reaksi Pa’e nanti, akhirnya Genduk berketetapan untuk memperlihatkan hasil ulangannya.

“ Enam ?”

Genduk benar, empat huruf ini memang tidak diucapkan Pa’e dengan nada tinggi. Tapi Genduk terlanjur kecewa, kecewa pada hasil ulangannya sendiri.

“ Kok kamu hanya mendapatkan nilai enam ?” Pa’e mengulang pertanyaannya. “ Semalam kamu tidak belajar ?”

“ Belajar, Pa’e. Tapi empat soal yang tidak bisa aku jawab memang belum pernah diajarkan “ jawab Genduk masih dalam posisinya, tertunduk. Ia memang telah berusaha keras untuk mengerjakan sepuluh soal yang diberikan, namun kenyataannya ia hanya mampu menjawab enam soal dengan benar.

Pa’e mengamati kembali kertas ulangan yang tadi sempat ditaruhnya. Kali ini Pa’e lebih fokus pada jawaban yang salah. Genduk ada benarnya, soal-soal itu terlalu sulit untuk ukuran Genduk. Pa’e sendiri mengakui butuh melipat dahi lebih rapat lagi untuk bisa menyelesaikan soal itu dengan benar. Pa’e juga membenarkan bahwa pelajaran terakhir yang pernah Genduk tanyakan belum sampai pada bab ini.

“ Tapi kok ada temanmu yang dapat nilai sepuluh ?“ Pa’e melirik ke arah Genduk. Sebenarnya pertanyaan ini hanya asal-asalan saja, trik untuk mengetahui apakah ada teman Genduk yang bisa mengerjakan soal-soal itu dengan benar.

Ndak ada, Pa’e!” protes Genduk. “ Nilai tertinggi hanya delapan, tidak ada yang sepuluh “

“ Nah, tuh ada yang bisa mengerjakan. Berarti kamu yang belajarnya kurang “

Meski tidak sepenuhnya benar, tebakan Pa’e ternyata tak meleset, ada siswa lain yang bisa mengerjakan soal itu dengan benar. Dan kalau Genduk tidak bisa, berarti masalahnya ada pada Genduk sendiri.

“ Ya jelas bisa, wong dia nyontek !”

“ Lho..lho…kok malah jadi menfitnah gitu? Jangan suka meng kambing hitam kan orang lain !” Pa’e mengingatkan.

“ Aku nda menfitnah, Pa’e. Aku lihat sendiri kalau dia itu nyontek waktu ulangan. Teman-teman juga banyak yang lihat, tapi nda ada yang berani melaporkan ke Bu Guru!”

Meski Pa’e nda bermaksud menuduh, Genduk tak terima jika ia dianggap mengkambing hitamkan orang lain, apalagi menfitnah. Genduk tahu, kedua hal itu tidak baik dan berdosa bila ia melakukannya.

“ Kenapa kamu tidak ikut mencontek?”

“ Pa’e menyuruh aku mencontek?! Genduk balik bertanya.

“ Lho, apa bertanya itu sama dengan menyuruh? Aku kan cuma tanya, kenapa kamu tidak mencontek ?”

“ Pa’e mau nilai ulanganku bagus, tapi dari hasil mencontek ?”

“ Tentu saja tidak! Aku tak pernah ridho kalau kamu mencontek. Lebih baik nilai bagus tapi hasil belajar sendiri dari pada nilai jelek tapi hasil nyontek !”

“ Kebalik, Pa’e. Lebih baik nilai sedikit tapi hasil usaha sendiri daripada nilai banyak tapi hasil dari mencontek “ Genduk meluruskan.

“ Jadi, kamu sudah merasa puas, meski dapat nilai jelek?”

“ Ya, tidak juga!”

“ Nah, itu dia. Orang boleh berprinsip lebih baik nilai lima tapi hasil usaha sendiri dari pada nilai sepuluh tapi hasil mencontek, tapi aku lebih senang dapat nilai sepuluh hasil belajar sendiri daripada nilai lima hasil dari mencontek.” Pa’e keukeuh bahwa tidak ada yang keliru dengan prinsipnya, hanya berbeda dari yang biasa. “ Makanya jangan puas jadi yang biasa-biasa saja, terjebak pada prinsip lama. Kalau yang baru lebih baik, kenapa harus mempertahankan kebiasaan lama ?”

Genduk diam, entah paham atau justru sebaliknya.

“ Tapi Pa’e tidak marah kan, nilai ulanganku kali ini dapat enam?”

“ Aku pasti marah jika kamu berbohong. Kamu tahu itu kan? Kalau kamu sudah jujur, tapi aku masih marah juga, terus mesti bagaimana biar aku tidak marah?”

“ Jadi, Pa’e tidak marah kan?” Genduk memastikan.

“ Kalau agak kecewa, memang iya. Tapi aku percaya pada kejujuranmu, juga usahamu untuk mengerjakan soal-soal ini dengan kemampuanmu sendiri. Tak ada alasan untuk memarahimu. Ini peringatan buat kamu, kalau belajar jangan hanya terpaku pada apa yang sudah diajarkan. Tak ada salahnya kamu pelajari juga bab-bab lainnya yang belum diajarkan, paling tidak kamu baca dulu sehingga pas Bu Guru sampai pada bab itu, kamu sudah mempunyai gambaran, tinggal menanyakan mana yang kamu belum pahami. Dan terbukti kan, kali ini bu Guru memberikan soal-soal dari bab yang belum diajarkan? Bu Guru mungkin lupa kalau bab itu belum pernah diterangkan, tapi bisa saja beliau sengaja, ingin tahu sejauh mana kalian belajar di rumah. Apakah buku-buku paket yang harganya tidak murah itu benar-benar dipelajari, atau hanya sekedar dibawa dari rumah ke sekolah, dan sebaliknya.”

“ Nggih, Pa’e!”

“ Kalau ada yang tidak bisa kamu pahami, jangan diam saja. Tanya sama bu Guru di sekolah, minta dijelaskan lagi “

“ Kalau di rumah?”

“ Lha kok pakai nanya, ya sama siapa lagi?”

“ Kalau Pa’e tidak bisa?”

“ Ya, kita pelajari bersama-sama !”


Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri