31 Jan 2011

Tak Takut Dokter Lagi

Mencegah lebih baik dari pada mengobati! Seringkali kita mendengar atau membaca slogan ini. Bagi sebagian orang, pesan bijak ini malah sudah dianggap basi.

“Ah, itu sih akal-akalan dokter saja. Dikit-dikit ke dokter. Ujung-ujungnya kita juga yang harus keluar duit. Memangnya dokter mana yang mau dibayar dengan ucapan terima kasih!” Kurang lebih, demikian ungkapan mereka yang karena keterbatasan ekonomi seringkali menjadikan masalah kesehatan kurang diperhatikan. Mendatangi dokter, memeriksakan diri dan berkonsultasi dalam rangka penceagahan,  nyaris tak  ada dalam anggaran karena jelas ini sebuah pemborosan. 

 
Sehat itu mahal! Hal ini juga dipahami berbeda oleh masyarakat. Untuk sehat harus keluar biaya yang mahal. Memang ada benarnya, namun tidak seperti itu saja mengartikannya. Sehat memang mahal karena dengan kondisi badan yang sehat, kita bisa melakukan banyak hal. Bayangkan, apapun menjadi tidak begitu berarti ketika sehat badan maupun pikiran tidak kita miliki.

Ada juga, yang karena rasa takut berlebihan menjadikan dokter dan medis sebagai dua hal yang sangat dihindari. Ketakutan berlebih ini bisa bermula dari beberapa alasan yang berbeda. Meski terkadang tak masuk akal, namun kenyataan di masyarakat memang ada. Almarhumah istriku, salah satu contohnya.

Almarhumah istriku sulit sekali diajak mendatangi dokter bukan semata karena masalah biaya, tapi karena ia sangat takut bertemu dokter dan berurusan dengan dunia medis. Sebuah alasan yang bisa kumengerti karena akupun termasuk demikian pada mulanya. Tapi vonis dokter yang sangat mengejutkan, bahwa gagal ginjal istriku sudah memasuki stadium 5, perlahan merubah cara pandangku tentang dokter dan dunia medis.

Seperti kusebutkan dalam beberapa postingan sebelumnya, istriku meninggal akibat gagal ginjal yang terakhir ditangani medis sudah memasuki stadium terminal. ( Semoga dengan kasih sayang Nya, Allah SWT menerima almarhumah dan menjadikannya ahli syurga. Amin ).

Hikmah yang pertama kupetik dari kejadian ini adalah, bahwa istriku bukanlah sepenuhnya milikku, Allah lah pemilik yang sejati. Seperti disebutkan dalam Al Quran, setiap yang bernyawa akan merasakan mati, maka sakit hanyalah salah satu dari sekian cara maut menjemput. Selain itu, hikmah dan pelajaran tentang keikhlasan, kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan menjadi peninggalan berharga bagi kami sekeluarga. Dan yang selama ini hampir tak pernah kusebutkan, adalah satu perubahan cara pandang kami kepada dunia medis. Kini, kami mulai tak takut dokter lagi.

Sebelumnya, hampir seluruh anggota kelurga besar kami takut berhubungan dengan dokter dan dunia medis. Mendatangi dokter, adalah beban tambahan atas sakit yang sedang dirasakan. Bukan selalu persoalan biaya, tapi rasa takut yang selalu membayangi. Jangan-jangan nanti aku sakit ini-itu, harus begini- begitu, dan mau tidak mau harus operasi. Oh, no! Bayangan-bayangan menyeramkan yang kami ciptakan sendiri memantapkan kami untuk sedikit mungkin bersentuhan dengan dunia medis. Dan dampak dari ketakutan ini adalah kami tidak bisa mendeteksi lebih dini tentang penyakit apa yang kami hadapi.

Kembali ke cerita sakit yang dialami almarhumah istriku. Aku tidak bermaksud mengungkit kenangan pahit, juga tak ingin menyesali apa yang sudah kami jalani. Aku hanya berharap ini bisa memberikan peringatan kepada diri pribadi, juga berbagi pengalaman dengan pembaca sekalian.

Akhir tahun 2009, secara mengejutkan tekanan darah almarhumah istriku diketahui mencapai 200/110. Sebuah angka yang sangat mencengangkan, sekaligus mencemaskan. Khususnya bagi yang bisa memahami apa arti dari angka-angka ini. Aku masih sangat ingat, sang dokter yang memeriksa saat itu terlihat cemas dengan keadaan istriku yang –anehnya – sama tidak merasakan keluhan seperti yang ditanyakan sang dokter. Saat itu kami datang karena keluhan lambung, penyakit yang sudah lama dideritanya. Tak pernah ia punya riwayat darah tinggi, justru sebaliknya. Semasa gadis, almarhumah sering mengalami darah rendah.

Waktu terus berlalu. Dua minggu sekali kami rutin periksa ke klinik yang ditunjuk perusahaan. Sebuah klinik kecil dengan dokter umum yang jaga secara bergiliran. Tapi inilah klinik satu-satunya yang mau ia datangi. Itupun masih dengan syarat tambahan, harus dengan dokter Sion, yang sudah dianggap layaknya dokter pribadi. Ia rela menahan sakit demi menunggu jadwal dokter pribadinya yang jaga.

Dari sekian kali pemeriksaan, satu ketika dokter menganjurkan almarhumah untuk menjalani tes darah. Sang dokter merasa ada sesuatu yang tidak biasa pada tekanan darahnya yang selalu jauh diatas normal meskipun sudah dicoba diturunkan dengan berbagai obat dari dosis rendah sampai dosis yang tinggi.

Adalah istriku, sama seperti keluarga besarku dan termasuk juga aku. Anjuran dokter untuk memeriksakan darah dan mendatangi dokter spesialis penyakit dalam adalah sebuah beban tambahan dari sakit yang sedang dirasakan. Alasannya klasik, kami takut kalau-kalau vonis dokter nantinya menyebutkan bahwa kami sakit ini, harus begini dan mau tidak mau harus operasi. Satu ketakutan yang tak masuk akal bagi orang lain, tapi sangat logis menurut kami.

Begitulah, surat pengantar dari dokter klinik untuk berkonsultasi dengan dokter special sekaligus memeriksakan darah, hanya kami simpan. Lebih dari enam bulan almarhumah istriku bertahan dengan hanya rutin berobat ke klinik dan mengkonsumsi obat penurun darah tinggi yang kubeli sendiri di apotik. Tak bisa memaksa, sang dokterpun tak bisa berbuat banyak kecuali menghibur dan terus meyakinkan agar almarhumah mau memeriksakan diri ke dokter specialis penyakit dalam, meskipun hasilnya nihil. Begitupun kami, tak ingin kami menambah beban batinnya, kami ikuti apa kemauannya, termasuk mencoba berikthiar ke pengobatan alternatif.

Akhir bulan Juli 2010, satu keadaan memaksa istriku pasrah untuk kularikan ke rumah sakit. Dari Hasil pemeriksaan darah, rontgen, tes urine dan USG abdomen, dokter Ray Cosa, Sp Pd yang menanganinya menyebutkan bahwa kedua ginjal istriku bukan saja sudah mengecil secara ukuran tapi juga fungsinya. Saat itu istriku sudah bisa dipastikan mengalami gagal ginjal stadium 4 sampai 5, padahal tidak ada stadium 6. Inalillahi wa inailihi roji’un.

Sakit yang dialami istriku adalah bagian dari takdir, itu kami yakin. Tapi mungkin tidak akan separah itu apabila kami mewaspadai sejak dini. Keawaman dan kekurang pedulian kami terhadap informasi kesehatan, ketakutan kami akan dunia medis – yang mungkin dianggap sebagian orang tidak beralasan - menghantarkan kami pada satu kondisi yang secara medis sudah tidak bisa disembuhkan kecuali dibantu dengan jalan cuci darah atau transplantasi ginjal yang bukan saja akan memakan biaya yang sangat besar, juga waktu yang lama dan resiko yang tidak bisa dipastikan. Intinya, tanpa kami sadari, kami telah melewatkan kesempatan pencegahan dengan begitu saja. Kami baru sadar ketika didepan kami tak lagi memberikan banyak pilihan.

Selagi dalam kandungan, manusia sudah ditetapkan takdirnya oleh Allah SWT. Umur, rejeki, jodoh dan juga kapan, dimana dan dengan jalan apa maut akan menjemputnya. Begitupun dengan istriku, Allah sudah menetapkan hari Minggu, 10 Oktober 2010 sebagai hari kembalinya dengan sebab gagal ginjal stadium terminal.

Namun, dibalik ketetapan ini ada satu pelajaran berharga yang kami petik dari riwayat kesehatan almarhumah. Ternyata anggapan kami tentang kesan ‘seram dan menakutkan’ dokter dan dunia medis adalah terlalu berlebihan. Benar bahwa dokter atau medis bukanlah penentu hidup mati seseorang, tapi mendatangi dokter dan medis adalah sebuah ikhtiar bagi manusia untuk sembuh dari sakit. Agama membolehkan kita untuk berikhtiar selain bersabar atas sakit yang kita rasakan.

Sejak kejadian ini, perlahan kami merubah cara pandang kami terhadap dokter dan dunia medis. Kami tak lagi menganggap sepele keluhan-keluhan yang kami rasakan. Misalnya ketika kami merasakan ketidak nyamanan di perut dan lambung, kami tak serta merta mengatakan itu adalah maagh. Ini menjadi perhatian kami karena sebelum divonis gagal ginjal, kami ( termasuk almarhumah ) mengganggap keluhan yang dirasakan seperti tidak nafsu makan, sering mual dan muntah, pucat dan kurang darah efek dari maaghnya yang sudah kronis.

Perubahan yang kami rasakan sepeninggal almarhumah adalah kami tak takut doktker lagi. Kami sadar sepenuhnya bahwa sehat itu mahal dan mencegah lebih baik daripada mengobati. Kalau kami mau jujur, dari sekian dokter yang kami datangi tidaklah seseram yang kami bayangkan, justru dari merekalah kita tahu apa yang sebenarnya kami derita, dan bagaimana cara dan upaya yang semestinya kami lakukan. Dokter dan paramedis adalah tempat yang tepat kami datangi karena mereka yang tahu lebih banyak tentang ilmu kesehatan. Kami tak mau sembarangan lagi mengikuti saran dari tetangga kiri dan kanan, padahal mereka yang menyarankan tidak semuanya mempunyai pengetahuan tentang ilmu kesehatan.

Setelah rangkaian ujian yang berat dan menyakitkan kami jalani, kami berusaha untuk tidak terjatuh di lubang yang sama untuk kedua kali. Kami ingin sehat, bukan saja sehat adalah aset yang mahal, juga karena dengan sehat kami bisa melakukan banyak hal. Bahkan mencapai khusyuk dalam beribadah menjadi sulit bila kondisi badan sedang sakit. Kami ingin keluarga kami selalu dalam kondisi sehat, maka selain memperhatikan dan menjalankan pola hidup sehat, kini kami tak takut dokter lagi. Paramedis adalah sebuah ikhtiar selain berdoa dan bersabar.

Artikel ini diikutkan dalam kontes Aku Ingin Sehat yang diadakan oleh Kakaakin.

Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri