8 Jan 2011

Jangan Bakar Kebunmu!

Parmin, karyawan yang sudah tiga tahun bekerja di Rumah Makan Sederhana itu hanya diam tertunduk. Sebuah kesalahan yang tak sengaja ia lakukan telah memancing amarah sang majikan. Berkali-kali Parmin meminta maaf, tapi tak juga meredakan amarah sang majikan. Omelan dan bentakan sang majikan terus mengalir, bagaikan tiada habisnya.

Sebenarnya Parmin tak ingin merasa sakit hati, karena apa yang diucapkan sang majikan memang hampir semua benar adanya. Bahwa karena rasa kasihan, maka sang majikan menerimanya menjadi pelayan di rumah makan yang sebenarnya tak perlu menambah karyawan. Bahwa ia sering meminjam uang pada sang majikan untuk dikirim kepada keluarganya, namun tak juga segera mengembalikan hingga sang majikan menganggapnya lunas begitu saja. Bahwa benar sang majikan sering memberi uang tambahan dari gaji yang seharusnya ia terima. Parmin menyadari itu, mengakui semua yang diucapkan sang majikan saat itu.

Tapi yang membuat Parmin sedih bahkan akhirnya sakit hati, sang majikan membongkar semua itu dihadapan banyak karyawan lainnya. Bahkan pengunjung yang tidak berkepentingan dan tidak tahu menahu awal persoalannya, menjadi tahu siapa dan bagaimana dirinya.

Mengapa harus diungkit, jika hanya membuat hati semakin sakit? Kalau memang ikhlas, mengapa semua kini digembar-gemborkan? Tidak hanya tangan kiri yang akhirnya tahu, bahkan semua orang tahu jika tangan kanannya telah berbuat kebaikan. Astaghfirulloh!

Parmin sedikit merasa lega setelah sang majikan menghentikan omelannya. Sebisa mungkin ia menekan rasa sakit hatinya pada sang majikan yang walau bagaimanapun telah banyak berjasa dalam kehidupannya. Ia berusaha untuk ikhlas menerima. Ia telah melakukan kesalahan, dan apa yang dikatakan sang majikan memang benar demikian.

Sementara sang majikan merasa puas telah mengeluarkan semua kekesalannya. Ia sama sekali tak menyadari bahwa bukan saja hati Parmin yang sakit, tapi ‘kebun’ yang ia miliki saat itu sudah habis terbakar, nyaris tak bersisa.

***

Kisah diatas hanyalah fiktif belaka. Namun demikian, dalam konteks yang hampir sama bisa kita temui di kehidupan nyata.

Ibarat sebuah kebun, amal ibadah yang kita kerjakan adalah bibit-bibit yang kita semaikan di atasnya. Macam dan jenisnya, tergantung apa yang kita lakukan, kita tanamkan. Ada jenis pohon yang akan segera berbuah dalam jangka waktu yang relatif singkat. Ada juga yang akan berbuah setelah menunggu dalam jangka waktu yang panjang. Dan ada juga yang berbuah sepanjang waktu, sepanjang musim. Pohon yang seperti ini tumbuh dari bibit bernama sedekah jariyah.

Jika tak diserang hama, bibit-bibit kebaikan akan tumbuh menjadi tunas dan berkembang menjadi pohon yang subur, berbunga dan akhirnya berbuah. Namun bila hama menyerang, atau bila kita tidak pandai dan bersungguh-sungguh merawatnya, maka pohon-pohon tidak akan tumbuh subur, layu sebelum berkembang, bahkan mati sebelum berbuah.

Begitupun amal kebaikan yang kita kerjakan. Mereka ibarat benih-benih yang kita sebar di perkebunan. Niat yang baik dan benar serta keikhlasan yang sempurna, untuk dan hanya mengharap ridho Allah semata adalah bibit unggul untuk kita harapkan buahnya, baik di dunia maupun di akhirat. Tapi, seumpama hama dan penyakit pada tanaman, setan akan selalu berusaha untuk merusak perkebunan kita dengan segala tipu muslihatnya.

Banyak pohon kebajikan yang kita tanam akhirnya tak menghasilkan buah, bahkan mati sebelum berbunga karena kita tak pandai memeliharanya. Niat yang lurus dan keikhlasan pada awalnya menjadi riya dan ujub pada akhirnya.

Seringkali kita tak mampu menjaga keikhlasan dari amal yang telah dikerjakan. Kisah di atas salah satu contohnya. Kebaikan sang majikan, pertolongan yang selalu ia berikan adalah bibit unggul baginya. Kemajuan usahanya adalah salah satu buah yang dihasilkan pohon kebaikannya. Namun sayang, kesalahan yang sejatinya adalah wajar sebagai manusia telah memancing amarahnya. Ia tak mampu mengendalikan emosi, menahan diri dari mengungkit semua yang pernah dia lakukan dengan ketulusan, ia berikan dengan keikhlasan. Kata-katanya telah menyakiti orang lain yang sebenarnya sangat menyadari kebaikan yang telah ia berikan. Kekesalannya, emosinya telah membakar habis pohon-pohon yang mulai berbuah, bahkan hingga ke tunas-tunasnya. Hanguslah kebun kebajikan, terbakar emosi, riya dan takaburnya. Innalilai wa inna ilaihi rojiuun.

Disadari atau tidak, sebenarnya sering kitalah yang menjadi hama dan ancaman bagi pohon-pohon di perkebunan kita sendiri. Setan sedemikian kerasnya berusaha untuk mengalihkan perhatian kita, melalaikan kita, melenakan kita dan menyelipkan rasa takabur ketika menyaksikan pohon-pohon kita tumbuh dengan subur. Setan boleh saja gagal menghalangi niat dan keikhalasan kita berbuat kebaikan, tapi setan tidak akan rela membiarkan amal ibadah kita tumbuh dan berbuah. Sulitnya mempertahankan keikhlasan menjadi kesempatan emas bagi setan untuk merusak amal ibadah manusia. Na’uzubillah!.

Perasaan kecewa manakala orang-orang tak menyadari bahwa apa yang mereka nikmati adalah hasil dari sedekah kita, kerja keras kita. Akan terasa bahagia dan bangga bila ada salah satu dari mereka yang mengatakan bahwa itu adalah hasil pemberian kita. Ini adalah bara yang disiapkan setan, dan akan berkobar menjadi api yang siap membakar habis bila tak segera kita padamkan.

Kita masih sering tergoda untuk mencari cara bagaimana agar orang tahu dan akhirnya mengakui bahwa kebaikan itu terjadi karena kita, campur tangan dan sumbangan kita. Ketika ‘pengakuan tak segera didapatkan, muncullah rasa kesal yang kemudian mendorong untuk mengungkit-ungkit apa yang sudah kita berikan. Tangan kiri yang tadinya dijaga jangan sampai tahu malah ikut memplokamirkan apa yang tangan kanan lakukan. Keikhlasan dan ketulusan yang semula menjadi pupuk, termakan sombong, riya dn takabur. Orang yang tadinya bersyukur dengan kebaikan kita menjadi sakit hati lantaran diungkit dan dipermalukan.

Jika kita masih saja demikian, tak ada buah yang bisa dinantikan karena pohon terlanjur mati sebelum berbunga. Kalaupun tersisa, hanyalah semak belukar yang tak bisa diharapkan apapun darinya , baik batang, daun maupun buahnya. Dan jangan kaget atau menyalahkan siapa-siapa, sebab bisa jadi pohon mati bukan karena hama dan penyakit yang menyerang, tapi karena kita tak pandai menjaga dan merawatnya. Luruskan niat, pertahankan keikhlasan, insya Allah ‘perkebunan’ kita akan menghasilkan apa yang kita harapkan. Amin.

Jangan biarkan nafsu membakar kebun-kebunmu! 

Gambar dipinjam dari sini

Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri