17 Aug 2010

Anugerah Ramadhan, Amanah Kemerdekaan

Pagi yang cerah, secerah wajah Bu’e yang sumringah, semeriah pakaian Bu’e yang bercorak bunga-bunga warna merah.

“ Bulan Agustus tahun ini terasa lebih istimewa yo Pa’e, berbarengan dengan bulan puasa” Bu’e membuka pembicaraan sambil memandangi ratusan bendera merah putih dari plastik yang terpasang pada tali panjang, melintang dari satu rumah ke rumah lainnya.

“ Iya Bu’e, dua anugerah dari Allah SWT yang harus kita syukuri, bukan saja dalam ucapan, tapi juga dalam tindakan dan perbuatan” jawab Pa’e sambil mengencangkan ikatan bendera kain pada tiang bambu dan memasang bendera seukuran taplak meja itu tepat di depan rumahnya. Pa’e memandang puas pada hasil kerjanya dan bangga pada sang merah putih yang kini berkibar ditiup semilir angin pagi.


“ Biasanya kalau acara tujuh belasan warga di sekitar sini mengadakan lomba panjat pinang, balap karung, makan kerupuk dan permainan khas tujuh belasan lainnya. Tapi tahun ini kayaknya tidak ada yo Pa’e, masa puasa-puasa mau lomba makan kerupuk? Atau waktunya yang digeser jadi malam hari, selesai sholat tarawih? Tapi apa nda kemalaman? “ Bu’e menyangkal pertanyaannya sendiri.

Bu’e beranjak ke arah Pa’e, berdiri tepat disamping kiri Pa’e yang masih terkagum-kagum dengan warna merah putih yang kini mendominasi halaman mereka dan juga halaman warga lainnya. Jika dilihat sekilas, mereka seperti sedang mengikuti upacara bendera, hanya saja kedua tangan mereka tidak terangkat layaknya orang sedang memberi hormat. Sebaliknya, tangan Bu’e justru menggandeng tangan kiri Pa’e. Bu’e menciptakan sebuah pemandangan nasionalis romantis. Hihihi..

“ Segala macam perlombaan dan permainan khas tujuh belasan itu kan hanya sekedar untuk memeriahkan, boleh saja dilakukan tapi tetap saja bukan suatu kewajiban “ Pa’e menjawab pelan, tapi itu menandakan bahwa Pa’e mendengar apa yang tadi Bu’e katakan. Digandeng seperti itu Pa’e tak berusaha melepaskan tangan Bu’e, justru sebaliknya Pa’e menikmati betul suasana syahdu seperti itu, bergandengan tangan di bawah kibaran bendera merah putih. Pa’e terobsesi kisah para pahlawan dalam film-film perjuangan yang disambut kekasihnya sepulang dari medan perang. Hihihi

“ Memperingati hari kemedekaan, semestinya menyadarkan kita akan besarnya anugerah yang telah Allah berikan kepada bangsa kita. Mengungkapkan rasa syukur dan bahagia melalui berbagai lomba, permainan dan hiburan boleh-boleh saja, tapi cara dan porsinya jangan berlebihan. Jauh lebih penting adalah mengingati perjuangan para pahlawan yang telah berkorban bukan saja harta dan tenaga, tapi juga jiwa dan raga. Mengenang perjuangan berat mereka untuk memerdekakan negeri ini dari tindasan para penjajah selama beratus-ratus tahun lamanya.” Pa’e terhenti sejenak, mengatur nafasnya yang terpicu semangat patriotiknya. Sambil tetap menggandeng tangan Pa’e, Bu’e diam dan terlihat ‘khusyuk’ seperti sedang mendengarkan pidato pembina upacara.

Setelah berhasil menguasai emosinya, Pa’e pun melanjutkan ‘orasi’nya.

“ Aku justru merasa khawatir dengan aneka lomba, permainan dan hiburan itu bisa membuat peringatan hari kemerdekaan hanya dimaknai dengan lomba balap karung, makan kerupuk, panjat pinang dan tradisi khas tujuh belasan lainnya. Sejak pagi, semua orang semangat, semua orang larut dalam kegembiraan dan kemeriahan. Ketika sore datang, kemeriahan berakhir, mereka pulang ke rumah tanpa membawa apapun kecuali badan yang lelah dan mungkin beberapa hadiah. Tak lebih dari itu karena yang ada dalam benak mereka peringatan hari kemerdekaan adalah meriah dan hadiah. Jangan tanyakan bagaimana perjuangan dan pengorbanan para pahlawan. Semuanya menjadi kabur, menjadi tidak penting seperti pudarnya warna merah dan putih pada bendera-bendera plastik yang dibiarkan tergeletak tak berarti di setiap sudut halaman, pinggir jalan dan memenuhi tempat sampah. Yang mereka tahu negeri ini sudah merdeka, bagaimana proses mencapai kemerdekaan, mereka tak tahu atau bahkan tak mau tahu. Jika ini sampai benar-benar terjadi, di alam sana para pejuang kita akan menangis “ Pa’e menghela nafas panjang. Dadanya terasa sesak, tarikan nafasnya terasa berat.

Pa’e melepaskan tangannya dari gandengan Bu’e. Beberapa anak kecil mengendarai sepeda berhias kertas warna-warni melintas di depan mereka. Beberapa diantaranya sempat melihat Pa’e dan Bu’e masih bergandengan tangan. Tapi mereka berlalu tak perduli, sama tak perdulinya ketika roda-roda sepeda mereka melindas satu bendera merah putih yang jatuh dari salah satu sepeda mereka. Pa’e mendesah. ‘Dasar anak-anak jaman sekarang!’, Pa’e membatin.

Pa’e beranjak menuju bangku kayu tua di teras rumah. Dengan setia Bu’e mengikut di belakangnya, persis pembina upacara dan ajudannya ketika meninggalkan lapangan upacara. Ketika mereka duduk, bangku tua itu menimbulkan suara berderit, reyot.

“ Kalau dikaitkan dengan bulan suci Ramadhan, apa yang semestinya kita lakukan dalam rangka memperingati hari kemerdekaan ? “ Bu’e mengajukan satu pertanyaan.

“ Banyak Bu’e, banyak sekali!”

“ Misalnya Pa’e?”

“ Ya misalnya anggaran yang biasanya digunakan untuk mengadakan lomba dan hiburan, dibelikan bahan makanan atau pakaian untuk kemudian dibagikan kepada yang membutuhkan, kaum duafa , mereka yang kehidupannya belum merdeka meskipun tinggal di negeri yang sudah merdeka. Atau jika tetap ingin mempertahankan tradisi tujuh belasan, maka hadiah yang diberikan berkaitan dengan keperluan ramadhan seperti perlengkapan sholat, kue-kue, kurma atau sirup. Tapi kalau menurutku sih tahun ini kesempatan yang tepat untuk merubah tradisi tujuh belasan yang terkadang hanya hura-hura menjadi sebuah kegiatan sosial yang lebih berdampak nyata kepada masyarakat, seperti membantu panti-panti sosial atau juga membantu keluarga para pejuang yang tidak semuanya merasakan kemerdekaan yang telah leluhurnya persembahkan. Cukuplah perlombaan dan hiburan sekedarnya saja, jangan jadikan yang utama. Dan karna bulan Agustus tahun ini berbarengan dengan bulan suci Ramadhan, semestinya kita bisa mencontoh semangat para pejuang untuk kita berjuang menegakan agama Allah. Kita teladani ‘semangat 45’ mereka untuh beribadah. Jangan hanya semangat untuk urusan dunia, untuk urusan akhiratpun seharusnya kita lebih semangat. Untuk merebut kemedekaan, para pejuang berusaha keras, berkorban apa saja, maka semestinya untuk meraih ‘kemerdekaan akhirat’ kita juga harus berusaha keras, jangan malas”

“ Betul Pa’e! “

“ Kemerdekaan bangsa ini adalah anugerah sekaligus amanah. Diberikan Allah kepada bangsa kita atas kemurahan Nya, sebagai imbalan atas perjuangan yang panjang dan menyakitkan. Allah menganugerahkan nikmat ini hingga sekarang sebagai bukti kemurahan Nya pada kita semua. Kita memang tidak perlu lagi berjuang melawan penjajah, tapi kita mendapat amanah untuk menjaga kemerdekaan ini, mengisinya dengan penuh tanggung jawab. Kemerdekaan ini harus kita serahkan kepada generasi penerus dalam keadaan utuh, seperti para pahlawan mempersembahkannya kepada kita. Tidak benar jika kita mengartikan merdeka sebagai alasan untuk melakukan apapun yang kita suka. Merdeka bukan berarti bebas tanpa batas. Merdeka adalah sebuah nikmat, semakin kita syukuri maka Allah akan semakin menambahnya. Jangan ingkari nikmat ini, jangan hianati pahlawan dan jangan nodai kemerdekaan. Isi kemerdekaan ini dengan pembangunan yang dilandasi keimanan. Semoga Allah memberkahi negeri ini, tetap memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia tercinta, dan orang-orang yang menyalah artikan, menyalah gunakan makna kemerdekaan segera sadar dan memperbaiki diri demi kemajuan negeri ini”

“ Amin!” jawab Bu’e cepat.

Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri