23 Jul 2010

Jangan Asingkan Aku!

“ Ma! Aku…” Aku tak sempat mengucapkan apa yang sudah kupikirkan sejak tadi malam. Kata-kataku terhenti oleh sebuah jawaban yang menuntut pengertianku. Sayangnya, justru membuatku sangat kecewa.
“ Sayang, kita bicara nanti malam saja ya! Sekarang mama sama papa harus buru-buru berangkat. Sudah siang, nanti mama sama papa telat! “

Aku tahu kalau jawaban itu yang akan kuterima. Selalu begitu, seperti hari-hari yang lalu. Terburu-buru mereka menginggalkanku. Bahkan seringkali tak sempat lagi menoleh ke arahku.


Selembar uang sepuluh ribu kini ada dalam genggamanku. Selalu saja senjata ini yang dipakai untuk menahan ucapanku, permintaanku. Tepatnya protesku. Inikah wujud dari kata sayang yang sering mereka ucapkan? Apa peduliku, uang ini sudah ada di tanganku, jadi hakku. Aku habiskan atau aku simpan, mama papa tak pernah menanyakan hal itu.

“ Danang!” sebuah sapaan lembut membuyarkan lamunanku, meredakan kekecewaanku. “ Ayo ganti baju seragam dulu, terus sarapan. Nanti sekolah diantar sama Pak Dhe ya, kan hari ini Pak Dhe lagi libur. “ lanjut pemilik suara lembut itu sambil menuntunku. Aku merasakan ketulusan dibalik suara itu. Suara seseorang yang akrab kupanggil Bu Dhe.

Apa yang terjadi selanjutnya, aku sudah hafal. Pertama dia akan mengambil tas dari pundakku, membuka jaketku dan membantuku melepas sepatu. Selesai dengan rutininas pertama, Bu Dhe kemudian mengganti baju rumahku dengan seragam sekolah. Setelah menyisir rambutku dengan rapi, Bu Dhe mengambil sepiring nasi dan menyuapiku dengan telaten. Aku hafal semua kebiasaan Bu Dhe, seakan Bu Dhe adalah orang tua kandungku.

Bu Dhe dan Pak Dhe. Aku tahu itu hanya panggilanku untuknya. Saudara bukan, tetanggapun jauh. Yang jelas, aku baru mengenalnya tiga tahun yang lalu. Tiga tahun usiaku saat itu. Bu Dhe dan Pak Dhe adalah orang kedua yang dipilih mama papaku untuk merawatku, karena orang pertama terlalu sering berhutang pada mama dan juga papa. Mama dan papa sering membicarakan ini di depanku.

“ PR nya sudah selesai dikerjakan? “ tanya perempuan baik hati yang bila kuperhatikan tak kalah cantik dari mama ini usai menyuapkan sarapan terakhirku. Tanpa berkata, aku ambil buku PR dari tasku. Kubuka halaman kelima dan kusodorkan buku itu padanya, masih tanpa kata-kata.

“ Bagus, betul semua! Kamu sendiri kan yang mengerjakan?” tanyanya sambil melihat ke arahku. Aku tak berani menatap mata teduh itu. Aku tak menjawab. Aku mencoba tersenyum, tapi bukan senyum kebanggaan. Dan aku yakin perempuan baik hati ini tahu maksudku.

Hampir tak ada waktu bagi mama dan papa untuk mengajariku. Jika aku sengaja tak mengerjakan PR di rumah Bu Dhe, itu salah satu caraku untuk menarik perhatian mama dan papa. Tapi rupanya mama dan papa lebih senang memberikan jawaban daripada berpanjang lebar menerangkan bagaimana cara mengerjakannya. Mungkin bagi mereka belajar itu di sekolah, sedangkan rumah untuk istirahat dan melepas lelah.

“ Danang, kita berangkat sekarang yuk! Dari sekolah, nanti Pak Dhe mau mampir ke tempat Oom Agus, mudah-mudahan hari ini dia juga libur “ seorang laki-laki tak lebih tua dari papaku keluar sambil membawa kunci motor di tangan kanannya.

Sementara aku memakai sepatu, laki-laki yang akrab kupanggil Pak Dhe memanaskan mesin motornya. Dan sebelum berangkat, lagi-lagi aku hafal apa yang akan dilakukan Bu Dhe selanjutnya. Belajar yang tekun ya, nda boleh nakal di sekolah. Uang sakunya jangan dibawa semua, takut hilang. Jangan jajan sembarangan, nanti bisa sakit. Aku hafal betul sederet pesan itu, karena sepulang sekolah nanti, Bu dhe akan mengecek apakah aku mematuhi pesan itu atau tidak. Satu hal yang nyaris tak pernah dilakukan mama dan papa.

**

“ Sayang, kemarin mau ngomong apa ?” Tanya mama sambil sibuk berdandan. Dari gerakannya, aku tahu mama sebenarnya tak punya banyak waktu.

“ Nggak kok Ma “ Aku terpaksa berbohong. Percuma, aku merasa itu akan sia-sia dan menambah kekecewaanku saja.

Terkadang aku berpikir ingin menyusul kakakku, ikut dengan kakek dan nenek di kampung. Tapi, mama dan papa tak mengijinkan, dan sebenarnya akupun berharap tak mengalami hal itu. Jauh dari mama papa, mencoba mendapatkan pengganti kasih sayang mereka dengan kasih sayang kakek dan nenek. Semestinya aku beruntung, setiap hari aku bisa bertemu mama papa, meski tak pernah merasa bersama.

Pertemuanku singkat dan rutin. Terjadwal secara tetap dan membosankan. Bangun pagi-pagi bagiku sudah tak asing lagi. Papa dan mama sudah siap ketika aku menjadwal pelajaran. Sebenarnya aku tidak selalu tahu jadwal pelajaran hari ini karena aku lebih senang memasukan semua buku pelajaran. Tak apalah berat, yang penting tak ada buku yang ketinggalan. Setelah sedikit mengomel, kamipun berangkat. Hampir tak pernah ada acara sarapan pagi bersama di rumah. Mama dan papa sarapan pagi di tempat kerja yang entah seperti apa, sementara aku sarapan di tempat Bu Dhe.

Delapan jam, bahkan tak jarang dua belas jam atau malah lebih, mama dan papa sibuk dengan pekerjaannya. Dan selama itu pula aku makan, belajar, nonton tivi, main, mandi bersama keluarga Bu Dhe dan Pak Dhe. Dan bila aku bosan duduk di depan pintu, menunggu kedatangan mama atau papa untuk menjemputku, aku sering tertidur.

Samar, setengah sadar aku bisa merasakan sesorang menggendongku, memangku dan membawaku melaju menembus jalanan malam yang sudah mulai sepi. Sering aku tak peduli, aku teruskan tidurku atau pura-pura masih tidur saat aku digendong dan dibaringkan di kasur di rumahku. Hampir sama tak pedulinya mama dan papa dengan sekolahku, dengan makan dan jajanku seharian ini.

**

Ma! Pa! Aku tahu kalian melakukan semua ini adalah demi masa depan keluarga. Itu berarti demi masa depanku juga. Aku tahu mama dan papa telah kehabisan tenaga bahkan juga waktu demi sebuah cita-cita yang aku yakin tak lepas dari kepentinganku juga. Tapi Ma! Pa! Aku hanya ingin sesekali mama dan papa memikirkan apa yang aku inginkan dan aku butuhkan. Mungkin cara pandang kita berbeda, tapi tentunya ada hal-hal yang sama.

Aku rasa, Mama dan Papa terlalu memikirkan masa depan, hingga terlupa bahwa masa anak-anakku tak mungkin bisa diulang. Ma! Pa! Aku senang saat kalian memberiku uang, tapi sebenarnya sesekali aku ingin kalian berikan perhatian, kasih sayang.

Orang mungkin akan melihatku anak yang beruntung. Pakaian, mainan, makanan, apa yang tak bisa aku dapatkan. Tapi Ma! Pa! Terkadang aku merasa kakak lebih beruntung dariku. Dia mendapatkan perhatian dan kasih sayang kakek dan nenek, meski bukan dari orang tua kandung, tapi paling tidak kakek dan nenek adalah keluarga kita juga. Tidak sepertiku. Bu Dhe memang sayang padaku, Begitupun Pak Dhe juga sayang padaku. Tapi mereka bukan keluarga kita, mereka orang lain yang peduli denganku.

Ma! Pa! Maafkan aku jika terkadang aku merasa asing dengan kalian. Entahlah, apakah kalian merasakan hal itu.

Ma! Pa! Sebenarnya kemarin aku ingin mengatakan bahwa hari ini, aku ingin satu diantar kalian jika tak memungkin dua-duanya, jangan bekerja. Untuk hari ini saja. Aku ingin hari ini mandi, makan, berangkat dan pulang sekolah, belajar, bermain dan tidur siang ditemani mama atau papa. Ibu guru bilang, hari ini hari anak nasional. Bukankah itu hariku juga ?

Tapi, sudahlah Ma! Pa! sekarang sudah terlambat! Aku tak ingin mimpiku itu justru akan memicu kemarahanmu. Aku rasa yang terbaik sekarang adalah, aku harus menunjukan sikap manis di hadapan kalian. Antar aku ke tempat Bu Dhe seperti biasa, kemudian mama dan papa berangkat kerja, juga seperti biasa seakan hari ini sama dengan hari-hari yang lainnya. Aku sudah terbiasa dan tidak asing dengan rutinitas seperti ini. Aku justru akan menjadi asing jika bukan ini yang terjadi.

***

Ide dari cerita pendek ini didapat dari sebuah pengamatan terhadap seroang anak belia yang melewati sebagian besar waktunya dengan sang pengasuh karena kesibukan orang tuanya yang bekerja. Nyata, sesuatu yang benar-benar ada namun terkadang bahkan seringkali terlupa. Alasan masa depan, terkadang membuat para orang tua terlupa akan masa sekarang, terlupa bahwa masa kanak-kanak tak akan pernah bisa diulang. Terlupa bahwa masa kanak-kanak adalah modal untuk menghadapi masa dewasa mereka. Jangan terlalu berharap terang, bila masa kanak-kanak harus dilewati dengan kelam.

Postingan ini bukan untuk menghakimi pihak-pihak tertentu. Bagaimanapun, setiap pribadi memiliki alasan dan pandangan berbeda. juga setiap pilihan ada konsekuensi yang harus dijalankan. Ini lebih kepada mengingatkan diri sendiri bahwa anak memiliki hak untuk menikmati masa dan usia mereka. Jangan kita selaku orang dewasa mengambil keputusan, sementara mereka yang belia harus menganggung resikonya.

Postingan ini khusus dibuat untuk mengikuti ajakan Pak Iwan melakukan posting bersama memperingati hari anak nasional, 23 Juli dengan tema Gerakan Nasional Indonesia Sayang Anak. Mari hargai hak anak, dan tunaikan kewajiban kita selaku orang tua. Berikan apa yang mereka butuhkan, harapkan, dan inginkan dengan bijak. Tetap pikirkan masa depan, namun jangan lupa untuk menikmati masa sekarang.









Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri